“Mbah, ada sayur nangka Ndak ?!” Teriak Bu Darjo dari balik jendela rumahnya. Bibir Mbah Kijah serta merta tersenyum lebar meski tak lagi dihiasi satu gigipun. Setengah tergopoh ia memasuki pekarangan rumah Bu Darjo.
“Ada Bu, masih segar dan bagus loch. Dimasak santan dan dicampur daun melinjo bisa tambah enak” Tuturnya berpromosi. Bu Darjo pun segera sibuk memilih sayuran dalam bakul Mbah Kijah.
“Aku ambil sekalian kelapa sama terongnya ya “
“Silahkan bu, terima kasih” Jawabnya ramah sambil membungkus sayuran Bu Darjo.
“Mbah Kijah, aku dengar Dahayu mau dibawa Pak Abdil ke Malaysia ya ?” Tanya Bu Darjo tiba-tiba. Mata tua Mbah Kijah serta merta terkejut.
“Tidak kok Bu, aku tidak pernah memberi izin padanya”
“Iya, jangan Mbah. Sudah banyak korban ! Apa Dahayu tahu kalau Ibunya dulu…” Kalimat Bu Darjo segera di hentikan oleh isyarat tangan Mbah Kijah.
“Ssssst, mohon jangan pernah bicarakan itu lagi. Kasihan Dahayu”
Bu Darjo pun tersenyum maklum. Lalu segera membayar pesanan sayurannya.
Setelah pamit, Mbah Kijah keluar dari pekarangan Bu Darjo dengan semangat terbelah. Hati lelahnya mendadak berduka. Ada luka masa lalu yang perlahan terkuak. Tiba tiba ia merasa bakul sayurannya terasa berat. Mbah Kijah berjalan semakin pelan. Hari ini semangatnya hampir tersedot kekubangan masa lalu yang kelam. Ada bulir bening yang berusaha ditahannya. Namur kaki renta itu terus menjejaki jalan setapak desa dan menjajakan sayurannya dengan suara parau.
Saat sore menjelang Mbah Kijah pun pulang kerumah dengan badan yang terasa lebih lelah dari biasanya. Ia melihat Dahayu telah menyiapkan teh panas dan ubi rebus di meja. Namun sosok Dahayu tak terlihat seperti biasanya.