Mohon tunggu...
Anna Maria
Anna Maria Mohon Tunggu... karyawan swasta -

belajar.. belajar... dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

AHLUS SUNNAH MELAKSANAKAN IBADAH BERSAMA ULIL AMRI (PEMERINTAH)

9 September 2011   13:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:06 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di antara AQIDAH AHLUS SUNNAH adalah MELAKSANAKAN IBADAH BERSAMA ULIL AMRI (Pemerintah). Termasuk di dalamnya yaitu mengikuti hari raya yang ditetapkan oleh pemerintah.

Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisaa': 59)

Ahlus Sunnah berbeda dengan Ahlul Bid'ah. Ahlus Sunnah menegakkan ibadah bersama ulil amri, meskipun mereka orang-orang fasiq. Dari zaman Sahabat radhiyallahu 'anhum -dan seterusnya- ulil amri senantiasa memimpin ibadah, baik ibadah shalat, puasa, haji dan yang lainnya.

Ahlus Sunnah berbeda dengan firqah Khawarij yang mengkafirkan penguasa fasiq (zhalim). Kita diperintahkan untuk taat kepada ulil amri meskipun (mereka) fasiq, selama kefasikannya tidak membawa dirinya kepada kekafiran yang jelas.

*(Dikutip dari Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Jakarta).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الصوم يوم تصومون، و الفطر يوم تفطرون، و الأضحى يوم تضحون

"Shaum (puasa) ialah hari ketika kalian berpuasa bersama, juga di hari ketika kalian berhari raya bersama. Dan (Idul) Adlha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) ialah pada hari kamu menyembelih hewan bersama."

[Hadits Shahih. Dikeluarkan oleh Imam-imam : Tirmidzi (No. 693), Abu Dawud (No. 2324), Ibnu Majah (No. 1660), Ad-Daruquthni (2/163-164) dan Baihaqy (4/252) dengan beberapa jalan dari Abi Hurarirah. Dan lafadz ini dari riwayat Imam Tirmidzi. Lihat Silsilah Ash-Shahihah (224), Shahih Al-Jami (3869)]


Imam at-Tirmidzi mengatakan setelah membawakan hadits di atas berkata:

وفسر بعض أهل العلم هذا الحديث فقال: إنما معنى هذا، الصوم والفطر مع الجماعة وعظم الناس

Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan:

"Sesungguhnya makna dari ungkapan tersebut adalah berpuasa dan berhari raya (hendaknya) bersama dengan masyarakat (jama’ah) dan kebanyakan orang.”

(Sunan At-Tirmidzi, Bab ma jaa’a annal fithra yauma tufthiruun wal adh-ha yauma tudhahhuun).

Abul Hasan as-Sindi mengatakan setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Tirmidzi di atas:

“Yang tampak ialah bahwa maksudnya perkara-perkara ini BUKAN WEWENANG SETIAP ORANG. Mereka tidak boleh menyendiri dalam melakukannya (hari raya, puasa, dan kurban, pen). Akan tetapi urusan itu harus dikembalikan kepada imam (pemimpin/pemerintah) dan jama’ah (masyarakat Islam di sekitarnya). Sehingga WAJIB BAGI SETIAP INDIVIDU UNTUK MENGIKUTI KETETAPAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT.

Berdasarkan hal ini, apabila ada seorang saksi yang melihat hilal dan pemerintah menolak persaksiannya, maka dia tidak boleh menetapkan perkara-perkara tersebut untuk dirinya sendiri. Dia wajib untuk mengikuti masyarakat dalam melaksanakan itu semua.” (Hasyiyah as-Sindi ‘ala Ibni Majah, hadits 1650. asy-Syamilah).

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan:

Apabila pemerintah sudah mengumumkan melalui radio atau media yang lainnya mengenai ditetapkannya (masuknya) bulan (hijriyah) maka wajib beramal dengannya untuk menetapkan waktu masuknya bulan dan keluarnya, baik ketika Ramadhan atau bulan yang lain. Karena pengumuman dari pemerintah adalah hujjah syar’iyyah yang harus diamalkan. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memerintahkan Bilal untuk mengumumkan kepada masyarakat penetapan (awal) bulan agar mereka semua berpuasa karena ketika itu masuknya bulan telah terbukti di sisi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau menjadikan pengumuman itu sebagai ketetapan yang harus mereka ikuti untuk melakukan puasa.” (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 16).

*(Dikutip dari http://abu0mushlih.wordpress.com/2009/06/30/menyambut-ramadhan-apa-yang-harus-dipersiapkan/)

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam MELARANG memulai puasa (Ramadhan) HINGGA MELIHAT HILAL dan melaksanakan Idul Fithri HINGGA MELIHAT HILAL, kecuali terhalangnya hilal dari penglihatan sehingga boleh memulai Ramadhan dan mengakhirinya dengan cara menggenapkan bulan Sya'ban dan Ramadhan menjadi 30 hari. Jadi, BUKAN DENGAN HISAB.

Memulai Ramadhan dan mengakhirinya adalah termasuk masalah ibadah, yang tata caranya bersifat tauqifiyah, yaitu berdasarkan dalil dan MENGIKUTI apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Yang dimaksud melihat dalam hadits tersebut adalah melihat fisik bulan, bukan "melihat" dalam arti kata "hisab".

Allah Ta'ala berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ

"Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: 'Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.' " (Al Baqarah: 189)


Ketika menafsirkan ayat ini, al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:

Abu Ja’far meriwayatkan dari Ar-Rabi’, dari Abul Aliyah, telah sampai sebuah hadits kepada kami bahwa mereka pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa Allah menciptakan hilal (bulan sabit)?” Maka Allah menurunkan firman-Nya, “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia.” Maksudnya, Allah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu puasa kaum Muslim dan waktu berbuka mereka, bilangan idah istri-istri, dan tanda waktu agama (ibadah haji) mereka.

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Atha, Ad-Dhahak, Qatadah, As-Saddi, dan Ar-Rabi’ ibnu Annas.

Abdur Razzaq meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu Abu Rawwad dari Nafi’, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, “Allah menjadikan bulan sabit sebagai penentu waktu bagi manusia. Maka berpuasalah kalian karena melihatnya (memulai Ramadhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (mengakhiri Ramadhan). Maka apabila awan menutupi kalian, maka genapkanlah (bulan Sya’ban) menjadi 30 hari.”

*(Dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir, Juz 2)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ

”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” [HR. Bukhari (no. 1907) dan Muslim (no. 1080), dari ‘Abdullah bin ‘Umar]


Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.” [HR. Abu Daud (no. 2342). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih]


Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.” [HR. An Nasai (no. 2116). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih]


Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat. [Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92]

Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab

Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang).

Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا

”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)[1] dan tidak pula mengenal hisab[2]. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” [HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.]


[1] Maksudnya, dulu kitabah (tulis-menulis) amatlah jarang ditemukan. (Lihat Fathul Bari, 4/127).

[2] Yang dimaksud hisab di sini adalah hisab dalam ilmu nujum (perbintangan) dan ilmu tas-yir (astronomi). (Lihat Fathul Bari, 4/127).

Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan:

“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits:

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”

Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.

Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh.

Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan:

“Cukup kesepakatan (ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.”

Ibnu Bazizah pun mengatakan:

“Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam telah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit.” [Fathul Bari, 4/127]

*(Dikutip dari http://muslim.or.id/ramadhan/menentukan-awal-ramadhan-dengan-hilal-dan-hisab.html)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam MELARANG memulai puasa (Ramadhan) dan MELARANG mengakhirinya HINGGA MELIHAT HILAL, kecuali terhalangnya hilal dari penglihatan sehingga boleh memulai Ramadhan dan mengakhirinya dengan cara menggenapkan bulan Sya'ban dan Ramadhan menjadi 30 hari.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Malik dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu Beliau bersabda:

"Janganlah kalian berpuasa (memulai puasa Ramadhan) hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka (berhari raya) hingga kalian melihatnya (hilal). Jika terhalang oleh kalian (hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulannya." (HR. Bukhari)

Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali hafizhahullah berkata:

"Melihat hilal adalah berkaitan dengan penglihatan mata telanjang. TIDAK PERLU berlebih-lebihan dan menyulitkan diri melihat hilal dengan alat-alat teleskop ATAU DENGAN PERHITUNGAN AHLI HISAB YANG MEMALINGKAN KAUM MUSLIMIN DARI SUNNAH Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sehingga sedikitlah kebaikan pada mereka dan bertambah banyaklah keburukan, wal iyadzu billah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’al Fatawa (XXV/207-208):

“Tidak diragukan lagi bahwa telah ditetapkan dalam Sunnah Nabi yang shahih dan kesepakatan Sahabat Nabi bahwa TIDAK BOLEH BERPEGANG PADA HISAB seperti yang disebutkan dalam sebuah riwayat shahih dalam kitab Ash-Shahihain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya kami adalah kaum yang ummi, kami tidak menulis dan tidak memakai ilmu hisab. Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya.’”

Orang yang berpegang kepada hisab dalam penetapan hilal adalah ORANG YANG SESAT dalam pandangan syari’at, orang yang berbuat bid’ah dalam agama dan ia termasuk orang yang keliru dalam logika dan ilmu hisab itu sendiri.

Para ahli astronomi mengetahui bahwa ru’yat hilal tidak dapat ditetapkan dengan hitungan hisab. Paling maksimal, ilmu hisab hanya dapat mengetahui berapa derajat jarak antara hilal dan matahari saat terbenam misalnya. Namun ru’yat tidak dapat ditetapkan dengan derajat tertentu. Sementara ru’yat hilal bergantung kepada perbedaan tajam atau tidaknya pandangan mata, kepada tinggi rendahnya tempat melihat hilal dan kepada cerah tidaknya langit.

Sebagian orang barangkali dapat melihatnya pada 8 derajat, sementara yang lainnya tidak dapat melihatnya pada 12 derajat. Oleh karena itu, ahli hisab berbeda pendapat sangat tajam tentang penetapan busur ru’yat. Para tokoh ilmu hisab seperti Bathliyus tidak memberi penjelasan sepatah kata pun dalam masalah ini, karena tidak ada dalil ilmu hisab yang menetapkannya."

(Dikutip dari Mausuu’ah al-Manaahi asy-Syar’iyyah, edisi Indonesia: Ensiklopedi Larangan, jilid 2, Bab Puasa, hal. 158-160, Larangan No. 275: Janganlah Memulai Puasa Hingga Melihat Hilal, penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Jakarta, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali hafizhahullah)

Semoga Allah Ta'ala meliputi seluruh kaum muslimin terutama yang ada di negeri ini dengan hidayah taufik-Nya dan menyatukan hati kita semua di atas Sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, amin.

Semoga bermanfaat...

-Sahabatmu-

Abu Muhammad Herman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun