Memulai Ramadhan dan mengakhirinya adalah termasuk masalah ibadah, yang tata caranya bersifat tauqifiyah, yaitu berdasarkan dalil dan MENGIKUTI apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud melihat dalam hadits tersebut adalah melihat fisik bulan, bukan "melihat" dalam arti kata "hisab".
Allah Ta'ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ"Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: 'Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.' " (Al Baqarah: 189)
Ketika menafsirkan ayat ini, al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
Abu Ja’far meriwayatkan dari Ar-Rabi’, dari Abul Aliyah, telah sampai sebuah hadits kepada kami bahwa mereka pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa Allah menciptakan hilal (bulan sabit)?” Maka Allah menurunkan firman-Nya, “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia.” Maksudnya, Allah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu puasa kaum Muslim dan waktu berbuka mereka, bilangan idah istri-istri, dan tanda waktu agama (ibadah haji) mereka.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Atha, Ad-Dhahak, Qatadah, As-Saddi, dan Ar-Rabi’ ibnu Annas.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu Abu Rawwad dari Nafi’, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, “Allah menjadikan bulan sabit sebagai penentu waktu bagi manusia. Maka berpuasalah kalian karena melihatnya (memulai Ramadhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (mengakhiri Ramadhan). Maka apabila awan menutupi kalian, maka genapkanlah (bulan Sya’ban) menjadi 30 hari.”
*(Dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir, Juz 2)