Ada juga panggilan khusus untuk orang yang sudah naik haji yaitu Abu (laki-laki) dan Umi (perempuan). Panggilan Abu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah naik haji, kalau belum naik haji tidak boleh. Abu dan Umi tidak bisa diwariskan, hanya sebagai titel. Titel haji sangat dihormati di Bima sehingga setiap orang yang sudah naik haji harus dicantumkan ‘H’ (haji) di depan namannya, jika tidak, yang bersangkutan akan marah. Namun, klan keturunan tetap melekat pada setiap orang. Orang berketurunan bangsawan tidak mau melepas statusnya, biasanya titel haji dan panggilan klannya digabung misalnya Muma Haji, Dae Haji, Teta Haji dan lain-lain. Orang yang berketurunan Ama/ Baba akan mengalami peningkatan status ketika sudah menyandang gelar haji (Abu). Mereka tidak lagi dipanggil Ama/ Baba, tetapi dipanggil Abu/ Aji/ Haji.
Seluruh orang Bima berada dalam kategori garis keturunan (klan). Orang yang berketurunan Dae harus dipanggil Dae. Orang yang berketurunan Dae akan marah jika tidak dipanggil dengan Dae. Walaupun ada penyimpangan yang terjadi dalam kategori klan, kontrol sosial bekerja dalam menstruktur dan meluruskan identitas klan di masyarakat.
Saya sendiri adalah keturunan klan Dae (saya tidak mengetahui garis keturunan saya sampai ke Raja Bima yang mana), yang jelas, semua saudara yang memiliki hubungan darah dengan ayah saya berjulukan Dae. Keturunan ayah saya menyebar di Kecamatan Woha dan beberapa kecamatan lainnya. Semua orang yang bermukim di desa saya (Desa Rabakodo) memiliki riwayat keturunan yang sama dengan ayah saya, kecuali para pendatang. Maka, saya pun dipanggil Dae Lia (Mulyadin; nama panggilan Lia) oleh orang-orang di kampung saya.
Panggilan nama berdasarkan klan masih tetap kuat sampai sekarang di Bima, walaupun tinggi atau rendahnya klan seseorang tidak berbanding lurus dengan kemasyuran atau kekayaan yang dimiliki. Namun, tingginya klan memiliki nilai kewibawaan tersendiri yang tidak dapat diraih secara materi. Dalam perkawinan, mencari bibit, bebet dan bobot seseorang atas latar belakang klan masih sangat diperhatikan.
Lantaran kuatnya sistem klan tersebut, maka berpotensi menjadi konflik sosial di dalam masyarakat. Konflik lahir sebagai pertentangan atau perjuangan individu atau kelompok untuk memperoleh pengakuan status atas klan superior mereka yang berujung pada hasrat merebut pengaruh di masyarakat. Sementara klan biasa akan berusaha memantapkan kekuasaan dan penguasaan terhadap sumber daya untuk tetap bisa bersaing. Pada saat yang sama masing-masing pihak yang bertentangan berusaha melenyapkan pengaruh dan kekuasaan pihak lawannya seperti yang dijelaskan oleh Lewis A. Coser. Dalam memantapkan dan melenyapkan pengaruh itulah sesungguhnya konflik eksis di antara individu dalam masyarakat Bima.
Konflik antar individu tersebut menjadi penyumbang terjadinya konflik antar kelompok atau tawuran antar kampung. Konflik yang terjadi terus menerus dalam skala individual akan membentuk struktur konflik di masyarakat. Artinya, pertentangan-pertentangan yang terjadi menjadi jejaring relasi dan interaksi yang melatarbelakangi konflik sebagai fenomena partikular pada tempat dan waktu tertentu (di Bima).
Dalam hubungan kekerabatan, bagi orang Bima, kerabat adalah orang yang memiliki hubungan darah, sementara hubungan kekerabatan atas ikatan perkawinan memiliki batas tertentu. Banyak kasus dimana kerabat atas ikatan pernikahan ataupun kerabat satu kakek-nenek yang tidak saling mengenal satu sama lain karena berbeda kampung. Jangankan menjalin keintiman untuk mencurahkan kasih sayang dengan kerabat, saling kenal juga tidak. Maka, ketika ada persinggungan, tidak heran antara kerabat saling menyerang dan bahkan saling membunuh.
Hubungan kekerabatan atas ikatan pernikahan terputus sampai kepada mereka yang menjadi pasangan kerabat kita (misal suami/istri sepupu atau bahkan suami/istri saudara kadung), sementara kerabat mereka tidak masuk menjadi bagian keluarga dalam lingkaran kekerabatan kita. Misalnya, hubungan saya dengan kakak saya satu bapak bernama Ismail (Dae Mo’i). Saya hanya mengenal istri Dae Mo’i, tidak mengenal sama sekali siapa saja kerabat istrinya tersebut. Begitu juga dengan kerabat suami/istri kakak kandung saya yang lain, tidak terjalin keintiman, bahkan tidak saling mengenal.
Definisi kekerabatan juga saya dapatkan ketika saya berbincang dengan Ua Hajijah (kakak perempuan ayah saya). Ua menceritakan kondisi anak saudara suaminya yang sedang sakit, sekilas saya mendengar bahwa orang yang diceritakannya itu (si A) adalah anak saudara kakek saya. Lantas saya menawarkan diri untuk berkunjung ke rumah si A bersamanya, ua pun mengiyakan. Namun, ketika perbincangan berselang, ua berkata, “Boleh saja berkunjung, tapi si A itu orang lain (bukan kerabat saya).” Saya kemudian sadar bahwa si A yang ua ceritakan itu adalah kerabat dari suaminya, artinya saya tidak memiliki hubungan kekerabatan dengannya.
Pada saat saya wawancara, banyak orang Bima menjelaskan arti hubungan kekerabatan. Mereka menyebut bahwa sesama Islam adalah saudara, bahkan sesama manusia adalah saudara karena lahir dari keturunan yang sama yaitu Adam dan Hawa, apalagi hubungan saudara karena pernikahan. Mereka meyakini hal itu, tetapi tidak menjalin hubungan sebagaimana ungkapan tersebut. Mereka menyebut bahwa sentimen identitas kampung mengalahkan keyakinan mereka terhadap hubungan kekerabatan yang mereka miliki karena memang ada persoalan dalam kekerabatan mereka.
Persolan dalam sistem kekerabatan orang Bima yaitu unfixed identity of kinship atau identitas kekerabatan yang tidak tepat atau ambigu. Ada kesalahan atau ketidaktepatan dalam menempatkan identitas dalam kekerabatan. Seolah-olah identitas kekerabatan itu tidak penting sehingga bisa diubah atau diposisikan tidak tepat.