Setting penelitian dalam melihat tawuran antar kampung ini yaitu di Kabupaten dan Kota Bima; antara lain di rumah penduduk, di tempat tongkrongan anak muda (pinggir jalan, balai-balai, persimpangan jalan, gang dan lain-lain), di tempat keramaian (pertandingan bola, voli, pesta dangdutan, organ tunggal dan lain-lain) yang mempertemukan masyarakat antar kampung, di tempat terjadinya perkelahian dan tawuran, di terminal bus, di sekolah dan kampus, di kendaraan tradisional (andong) dan bus antar desa, antar kecamatan dan antar kabupaten-kota. Maka, penulis bisa mendapatkan perspektif utuh dari berbagai kalangan masyarakat terhadap persoalan tawuran antar kampung yang terjadi di Bima.
Untuk memperoleh data dan pemahaman komprehensif, penulis melakukan penelitian selama empat bulan di Bima (bulan Februari-Mei 2015), termasuk menggali perspekstif dari wilayah lain seperti Lombok dan Mataram sebagai ibukota NTB.
Â
Hasil Penelitian
Sistem kekerabatan di Bima berbasis klan dengan sistem bilateral dan menggunakan garis keturunan bapak (patrilineal). Berbasis klan karena garis keturunan berdasarkan strata dan kategori tertentu. Ada beberapa kategori strata sosial di Bima berdasarkan garis keturunan yaitu keturunan Ruma, Dae, Ama, Aba, Uba, Pua, Ince, Teta, Lalu dan Muma.
Dae adalah keturunan bangsawan kerajaan Bima. Tingkat kebangsawanan orang berketurunan Dae disebut Rato sehingga ada istilah ‘Ruma ra Rato’. Artinya, orang berketurunan bangsawan totok. Ruma adalah kasta tertinggi yang merupakan keturunan langsung dari raja/sultan dan tingkat kedua adalah Rato.
Untuk rakyat yang tidak memiliki darah bangsawan, tetapi memiliki jabatan di kerajaan Bima biasanya dipanggil (berklan) Uba. Selain pejabat kerajaan, Uba adalah orang-orang yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan kemampuannya oleh kerajaan. Keturunan rakyat biasa adalah Ama (laki-laki) dan Ina (perempuan). Ama dan Ina adalah klan asli keturunan Bima yang dahulu bermukim di Desa Donggo tanpa campuran dari luar. Termasuk Baba yang merupakan golongan rakyat biasa. Biasanya, mereka adalah petani dan nelayan.
Sementara para pendekar dan mubalig yang mengawal kepulangan Sultan Abdul Kahir dari Makassar ke Bima (tahun 1605) merupakan orang Melayu berjulukan datuk. Orang-orang Melayu itulah asal-muasal keturunan (klan) Ince (encik) di Bima.
Klan Pua yang berasal dari Bugis (Kasta bangsawan, ‘Puang’ dalam bahasa Bugis) tidak memiliki prestige di Bima. Ketika mereka datang ke Bima sebagai pedagang, maka mereka hanya orang biasa, bukan bangsawan. Pua di masyarakat Bima yaitu orang-orang asal Bugis yang menetap di wilayah pesisir seperti Karumbu, Sape dan lain-lain. Begitu pula dengan klan istimewa orang Lombok; klan Lalu merupakan keturunan bangsawan di Lombok, tetapi di Bima tidak dipandang sebagai klan yang lebih istimewa dari Dae. Dalam hal ini, nilai prestige suatu klan tergantung dari kedudukan mereka di istana Kerajaan Bima.
Secara horizontal, masyarakat Bima terbagi atas sejumlah ‘dari’ yang berjumlah 44 (Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahuddin, 2002).[1] Dari empat puluh empat dari yang memiliki hubungan dengan sultan, gelar Lalu dan Teta diperoleh dari kedudukannya di istana. Lalu adalah keturunan panglima perang, sedangkan Teta adalah keturunan abdi dalem istana.
Selain Teta, Ince, Lalu dan Pua, salah satu klan keturunan yang berasal dari luar (orang asing) yaitu Aba. Aba adalah orang Bima keturunan Arab atau Arab Melayu. Pasangan Aba adalah Umi, tetapi jika belum naik haji, orang Bima tidak akan pernah memanggil Umi. Kecuali memang di lingkungan keluarga Arab sendiri. Panggilan umum untuk orang Bima keturunan Arab adalah Habe.