Ia bangun di tengah malam yang menggigil, sekadar melantunkan do’a dan amin untuk sebuah keajaiban. Ketakutannya terus menderu jiwa, menyerobot ke selipan jari yang menghitung dzikir. Tetes air mata mengalir melewati liku-liku keriputnya. Ia hanyalah wanita tua yang menjual do’a pada Tuhan yang pemurah.
***
“Jangan antarkan aku ke sekolah! Biar aku berangkat naik angkot. Aku tak mau setiap kali hanya menjadi lelucon teman-teman.” Siti berkata dengan penuh ketegasan dengan intonasi yang benar-benar serius pada ibunya.
“Baik. Ini uang sakumu,” Elina mengambil dompet di selipan lemarinya. “Kalau mereka menjadikanmu lelucon lagi, bilang saja kamu akan beli ibu baru,” suara parau Elina terlalu lemah untuk menembus hati Siti, siswa kelas 5 SD yang begitu polos dan keras.
***
Siti memang tak suka diantarkan wanita yang menyebut dirinya sebagai “ibu”. Karena akhir-akhir ini ia selalu diejek teman-temannya terlebih mengejek Elina, ibu Siti.
Semua ejekan itu berawal ketika teman-temannya yang usil menanyakan suatu hal yang seharusnya tak perlu dipertanyakan—karena sudah jelas jawabannya.
“Siti, mana ibu kamu? Masa’ setiap hari diantar nenekmu terus?” temannya yang lain terus menimpali dengan pertanyaan yang malah mengherankan hati Siti “Iya Siti, jangan-jangan kamu tidak punya ibu ya? tapi kamu kok punya nenek?” saat itu Siti menjawab dengan tegas dan penuh kepercayaan diri
“Aku punya ibu. Yang setiap hari mengantar itu bukan nenek tapi ibuku!”
Temannya malah tertawa terbahak-bahak. Mereka keheranan dan kemudian melancarkan ejekan “Hahahaha, ibumu kok sudah tua? Kalau punya ibu seperti aku dong, masih cantik, masih muda.”
“Kalau sudah tua namanya nenek bukan ibu.”
Mereka terus mengejek Siti dan juga memeperagakan sebuah peran, bagaimana seorang nenek tua menggendong anaknya lalu berkata “Ayo kita pergi ke pasar nak, nanti nenek belikan lopis buat kamu,” tapi nenek itu jatuh tersungkur karena punggungnya sudah semakin rapuh. Nenek itu berkata lagi “Kamu jalan sendiri ya nak, nenek mau tidur saja.” Anak-anak itu tertawa sangat lantang. Hingga masing-masing memegangi perutnya yang semakin sakit karena desakan tawa. Mereka seperti mendapatkan kebahagiaan ketika Siti menunduk malu dan kesal tapi tak berani melawan.
Siti seperti ditelanjangi dan tersibak tubuhnya penuh dengan borok penyakit—malu tapi tak bisa melawan. Ia tak meneruskan perdebatan itu, karena air mata menyerobot tanpa ijin lewat sela-sela matanya. Dadanya terasa sesak. Jantungnya berdebar lebih kuat dan ia lari ke dalam kamar mandi—menikmati tangis yang teramat sakit untuk anak seusianya.
Ketika pulang langsung saja ia menanyai ibunya dengan nada yang serius setengah menangis.
“Sebenarnya ibu itu ibuku atau nenekku?”
Pertanyaan Siti Seperti sebuah jarum kecil yang menusuk hati Elina.
“Jelas aku ibumu,” Elina keheranan. “Mengapa bertanya begitu?”
“Kata teman-temanku, ibu atau anda adalah nenekku karena sudah tua. Tolong beri tahu di mana ibuku? Aku ingin bertemu …”
Elina mendekap anak perempuannya erat-erat. Pertanyaan Siti lama-kelamaan menjadi isak tangis yang tak terbendung. Dekapan Elina seolah-olah berkata “aku adalah ibumu, dan hanya aku yang akan menjadi ibumu”.
Dalam dekapan, suara Siti menyerobot lagi.
“Jangan ke sekolah lagi ya buk?”
Dengan anggukan mengiyakan Elina menjawab pertanyaan Siti. Lalu memeluknya lagi. Memeluk dengan sangat erat. Airmatanya mulai menitik. Ia tak sanggup menahan gejolak hati yang begitu memukul dirinya. Di satu sisi memang benar ia sudah tua. Tapi di sisi lain ia memang ibunya. Ibu yang mengandung sembilan bulan lamanya, dengan berbagai cobaan, rasa sakit, dan hinaan yang menderu. Akhirnya Siti lahir. Di saat Elina sudah kehilangan suaminya yang mati tertabrak angkot.
***
Di sekolah, Siti masih terus saja diejek teman-temannya, padahal dia sudah tidak diantarkan ibunya. Ada saja bahan ejekan yang disemburkan teman-teman nakal Siti.
“Siti, kok berangkat sendirian? Mana nenek kamu?”
“Kamu malu ya diantarkan nenek kamu? Hahahaha.” Teman-temannya tertawa dengan mimik wajah mengejek.
Akhirnya Siti bangun dari diamnya dan mengatakan sesuatu hal yang begitu mengejutkan.
“Aku akan beli ibu baru!”
Teman-temannya mendadak diam. Suasana hening. Angin yang sepoi-sepoi mendinginkan suasana. Tapi mendadak salah satu temannya berbicara dengan nada menantang.
“Kamu mau beli di mana? Tidak ada yang menjual ibu!”
“Kamu gila ya?”
“Ibuku, yang bilang jika aku akan dibelikan ibu baru!”
Suasana henyak lagi. Anak-anak yang semula mengejek Siti itu terheran. Kepolosan merekalah yang membuat bertanya-tanya tentang bagaimana Siti bisa membeli ibu baru. Dimana membelinya? Berapa harganya? Mereka bingung. Sementara Siti berjalan acuh meninggalkan mereka.
Sesampainya di rumah, Siti langsung menyambar ibunya yang masih sibuk mencuci baju di kamar mandi. Ia ingin menanyakan, apakah ibunya jadi membelikan ibu baru untuknya
“Jadi kan bu, beli ibu barunya?” Siti memeluk ibunya dari belakang, dengan rasa penuh harap.
“Jadi, sabar ya.” Elina menghentikan sejenak kesibukannya, untuk sekadar menarik nafas panjang. Senyuman getir Elina mengiringi setiap ucapan yang keluar dari bibir rapuhnya. Entah dia harus bagaimana. Dia hanya pasrah pada Sang Maha Pemurah.
Di tengah malam yang dingin menusuk, Elina mengirimkan tahajudnya. Kepasrahan pada Tuhan mengiringi setiap sujudnya. Yang ia inginkan adalah kebahagiaan anaknya. Setiap tetes air matanya mengiringi putaran tasbih yang berputar. Malam pun mulai bergolak. Tuhan menyusun rencana. Dan Elina terus berdo’a sampai pagi bangun dari hitamnya malam, sampai embun yang perlahan mengering diterpa angin.
Keajaiban datang.
Ayam berkokok dengan lantang membangunkan Siti dari mimpi yang indah. Mentari menyambut senyum mungilnya. Dan sesosok wanita cantik, muda dan bersinar tampak di hadapannya. Siti hanya melongo. Dia seperti melihat malaikat yang dulu sering ia baca di buku-buku dongeng atau film-film kartun.
“Pasti anda ibu baruku ya?”
“Iya, cepat mandi, lalu sarapan.” Senyum wanita itu memancarkan kekaguman yang sangat pada Siti.
Tanpa sepatah kata pun, Siti bergegas mandi. Seperti ada angin baru yang menyalakan unggun semangatnya.
Tak lama kemudian Siti menyelesaikan mandinya dan bergegas ke meja makan. Dengan rambut yang agak basah dan wangi bedak di badan, Siti nampaknya tidak sabar untuk makan bersama ibu barunya.
“Ibu nanti antarkan Siti ke sekolah ya?”
Wanita itu hanya tersenyum tanda mengiyakan.
Siti berjalan menuju sekolah bersama ibu barunya. Ia nampak sangat ceria. Senyumnya yang melebar seolah tak mau berubah. Dengan rambutnya yang dikuncrit. Ia benar-benar elok. Orang-orang di pinggir jalan sesekali melihati dia. Kemudian tersenyum. Siti seolah membawa kebahagiaan bagi setiap orang. Ibu baru Siti hanya tersenyum sembari menggandeng tangan Siti yang tak bisa diam.
Sesampainya di sekolah Siti seolah tak ingin berpisah dengan ibu barunya. Ia ingin terus bersama ibu barunya. Lalu ibu baru Siti jongkok dan kemudian mencium kening Siti. Dan dengan pelukan perpisahan Siti berjalan meninggalkan ibunya
Siti menghampiri temannya yang setiap hari mengejek dan kini hanya diam melongo.
“Bagaimana ibu baruku? Cantik bukan?”
“Jadi itu ibu barumu?”
“Tentu.”.
Anak-anak nakal itu merautkan wajah keheranan. Mereka seolah tidak percaya dan masih mengamati ibu Siti dari kejauhan. Dengan beberapa kali mengucek mata dan menelan ludah, mereka pastikan itu adalah ibu Siti yang biasanya. Seorang wanita tua dengan senyum keriputnya.
Sementara Siti sudah berjalan riang ke kelasnya. Sambil bernyanyi lagu kegembiraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H