Tak ada yang menyalahkan cinta, seperti tak ada juga yang menyalahkan pelangi setelah hujan reda. Ia ada untuk menunjukkan kuasa Tuhan dalam melukis kehidupan. seperti itulah cinta, ia hadir dan ia membenarkan segalanya. Segala keindahan.
Aku melihatnya di balik gusaran kabut yang kabur di bawah birunya langit. Pancaran wajahnya sangat jelas tertangkap. Bukan hanya aku, rumput ilalang yang bergoyang pun juga tahu bagaimana Tuhan menjelaskan kecantikannya pada dunia. Indah yang seindah-indahnya. Jika kalian melihat senja itu indah, dan embun pagi itu menyegarkan—dia telah memiliki keduanya. Walau sebenarnya kecantikan yang ia punyai tidak dapat tergambarkan oleh kecantikan apapun.
Aku belum pernah mengenal perempuan yang satu ini, walau sudah berkali-kali aku melihatnya duduk di danau menemani Minggu yang membiru. Aku tak berani menyapanya—hanya sekadar menatap dan menikmati keindahannya lewat dua bola mata yang telanjang. Dia selalu membawa kanvas dan beberapa cat warna—aku menebak dia adalah seorang pelukis. Tapi dia hanya melukis danau itu—tak ada yang lain, hanya danau. Aku tidak bisa menebak lebih. Dan itu sesuatu yang ganjil dalam hatiku—aku ingin mengenalnya lebih dekat.
Dia duduk di bawah pohon berjarak sepuluh meter dari danau. dan aku mempunyai cara tersendiri untuk dapat mengenalnya. Aku harus mengenalnya. Walau hanya sekadar tahu jenis suaranya.
Aku memberanikan diri untuk terus mondar-mandir di depan danau itu, dengan maksud dia akan terganggu oleh tingkah lakuku. Sesekali aku bersiul tidak jelas, menendang-nendang batu dan juga seringkali mengganggui kelinci-kelinci putih di pinggir danau—itulah cara seorang pengecut sepertiku untuk dapat dikenal.
Aku melihatnya tersenyum melihat tingkahku—tidak terganggu—malah semakin asik dia menorehkan warna di atas kanvasnya. Sepertinya cara ini tidak akan berhasil. Satu-satunya cara adalah menghampirinya dan mencoba berkenalan. Kurasa angin sepoi-sepoi ini merestui segala usahaku. Anggukan pohon menyahut gerutuku.
“Boleh aku duduk di sini?” aku gemetar, walau akhirnya kuberanikan juga duduk di sampingnya. “Kenalkan namaku Dewa,” aku mengulurkan tangan.
“Namaku Melati, silahkan duduk,” ia menjawab dengan senyuman manis berseri.
Namanya Melati, sama seperti harumnya. Harum bunga melati yang menyejukkan. Dan kini aku sudah mengenal suaranya, lembut dan penuh makna. matanya hanya tertuju pada danau itu—terlihat dari kaca-kaca di matanya. Ketika semakin kudekatkan pandangan pada lukisannya. Aku melihat diriku yang tadi mondar-mandir tidak jelas dan mengganggui kelinci. Dia menggambarku.
“Kenapa kau melukisku?”
“Tidak, aku tidak melukismu.”
Setelah kuperhatikan lagi, benar ia tidak menggambarku dan hanya menggambar danau. Tapi apa yang kusaksikan tadi tidak mungkin bohong. Aku melihat kehidupan di lukisannya
“Kenapa kau terus saja melukis danau itu?”
“Aku tidak melukis danau. Aku melukis kehidupan.”
Entahlah apa yang dikatakannya itu—menurutku terlalu filosofis. Tapi sekali lagi aku melihat kehidupan dilukisannya, ada kelinci yang meloncat-loncat, semut berbondong-bondong, aku seperti melihat layar televisi. Benar-benar hidup. Aku tak berani bertanya padanya. Karena aku yakin dia akan melontarkan suatu kata yang filosofis lagi.
Senja sudah terlewat dan ia pun pergi dengan begitu saja. Tanpa sepatah kata pun. Aku memandangi kepergiannya, seperti senja yang kian redup ditelan waktu. Langkah kakinya mengundangku untuk terus menanti kedatangannya. Tapi apakah dia akan datang?
“Melati? Apakah kau akan datang Minggu depan?” aku meneriakinya dari kejauhan. Dan seperti yang kuduga. Dari kejauhan pula dia melemparkan senyuman dan aku tahu itu adalah jawaban kedatangannya. Hati ini sungguh lega ketika senyumannya merekah mempesonakan alam.
Minggu berikutnya, aku pergi ke danau dengan rasa harap bertemu dengannya.
Dalam perjalananku selalu terngiang-ngiang hingga terbayang-bayang olehnya. Dia sungguh membuatku dikecam oleh rindu dan ditenggelamkan oleh cinta. Aku sudah teramat gila karena cinta.
Seperti apa yang kuharap, dia telah datang. Duduk di tempat yang sama, dengan baju yang sama dan melukis kehidupan. Kakiku terasa ringan melangkahkan kaki ke tempatnya.
“Hay Melati, sudah lama kau tiba?”
“Baru saja.”
Aku memandanginya dengan penuh haru. Tak kusangka ada perempuan seindah dirinya. Aku ingin bertanya pada ilalang, siapakah yang mengalahkan indahnya dunia? Aku ingin bertanya para kelinci, siapakah yang membuatmu meloncat-loncat dengan semangat? Dan aku juga ingin memberi pernyataan pada matahari, bahwa kini sudah ada yang mengalahkan kilaunya untuk menghidupi alam. Dia telah membuktikan bahwa ialah karya Tuhan yang tiada dua, tiga maupun seterusnya. Hanya ia seorang.
“Apakah kau tidak bosan melukis danau?” aku sedikit mencairkan suasana. “Barangkali kau mau melukis diriku, aku akan berpose layaknya model.”
Dia tertawa terbahak-bahak, melihatku meluncurkan lelucon yang menurutku sangatlah menyedihkan—lelucon yang tidak lucu sungguh sebuah petaka bagi pembuatnya—tapi ini berhasil.
“Kenapa hanya tertawa, jawablah.”
“Aku tidak pernah melukis danau, aku melukis kehidupan.”
“Oooh iya, aku lupa, apa kau tidak bosan melukis kehidupan?” tanyaku dengan keyakinan yang memudar.
Sekali lagi dia hanya menjawab dengan senyuman, senyuman yang tak menjelaskan apa-apa padaku. Senyuman yang menyimpan berbagai rahasia ganjil. Tapi aku menyadari sesuatu hal, dia menjelaskan makna yang berbeda melalui senyuman. Dia mengungkapkan keindahan yang sempurna. Aku harus berkata apa lagi dialah perempuan yang kini membuatku jatuh cinta, dia dan hanya dia.
Tuhan, kau telah tahu apa yang aku rasakan, dan aku tak bisa membohongi apa yang telah terpatri dalam dada, cinta ini membuatku semakin terkagum kepadamu, kepadanya dan kepada dunia. Jika ia kau kehendakkan untukku maka luruskanlah jalanku. Aku bersaksi pada apa saja yang telah kau ciptakan cintaku padanya tulus benar adanya.
Senja dengan perlahan menutup tirainya. Dan malam telah bangun dari tidurnya. Melati—perempuan yang baru-baru kukenal dengan tapak kaki yang sama seperti kemarin meninggalkan danau. Ia pulang. Untuk kesekian kalinya aku menikmati saat-saat dimana ia meninggalkanku. Meski juga meninggalkan rindu. Oooh, betapa aku ingin hari ini lekas berlalu dan esok lahir kembali. Rinduku kini terus bertumbuh hingga menggelitik, dan geli aku dibuatnya.
Aku menyebutnya wanita matahari, yang datang sesudah dibukanya cahaya dan pulang saat senja berkelana. Nampak terik kilaunya selalu menyambut setiap alam. Aku melihat binar-binar keindahan dalam senyumnya. Yang aku yakin tak ada lagi selain dia—dia seorang.
Minggu berikutnya.
Kini aku datang mendahului pagi, dengan harap aku bisa menyaksikannya datang dan menyambut dengan senyuman. Embun pagi yang membuatku menggigil tak dapat membekukan niatku. Aku sudah siap bertemu gadis yang aku cinta. Dan aku siap mengatakan padanya.
Satu jam… dua jam… hingga menuju senja, Melati tak kunjung datang. Tak biasanya seperti ini. Hari Minggu tanpa kedatangannya seperti hujan tanpa pelangi. Sungguh suram. Aku harus mencarinya, mencari jejak indahnya. aku lalu bertanya kepada penjaga danau—tentunya ia tahu, Melati selalu datang ke sini. Meski aku tak pernah melihatnya berbicara pada orang lain selain aku.
“Apakah anda tahu, wanita yang duduk di sana setiap Minggu?”
“Wanita siapa? Aku selalu melihatmu duduk sendirian.”
“Melati, namanya Melati,” lanjutku dengan nada menjelaskan. “Dia selalu melukis di depan danau.”
“Oh, Melati? Datanglah ke rumahnya,” dengan wajah iba, ia menjelaskan, “rumahnya ada di pojok sana. Jika kau menemui tikungan dan ada pohon besar, di bawah pohon itulah rumahnya.”
***
“Kamu temannya Melati?” wanita ramah yang ternyata ibu Melati pun menjelaskan, “dia lagi istirahat, silahkan masuk ke kamarnya. Ibu akan membuakan teh.”
Aku membuka kamar yang tak berpintu dan hanya untaian tirai yang menutupinya. Aku mencium aroma semerbak bunga melati yang sangat kuat. Dan itu hanya dimiliki Melati. Tapi aku terkaget melihat apa yang kusaksikan dalam kamarnya. Tak ada Melati. Hanya ada kanvas yang tergambar danau dan punggung seorang wanita yang sedang menunggu. Aku menerka itu adalah Melati. Ya, itu adalah lukisan Melati dan dia melukis dirinya sendiri. Tapi, dimana Melati? Di mana dia?
“Di mana Melati?”
“Dia ada di sini, tapi tidak raganya,” ibu itu melanjutkan, “dua tahun lalu dia tenggelam di danau.” Ibu itu menjelaskan segalanya padaku dengan tetes-tetes air mata yang berderai. Tentang bagaimana Melati hidup, bagaimana Melati yang selalu merindukan senja di danau, bagaimana Melati menunggu kekasihnya, dan bagaimana ketika Melati sendiri yang harus ditelan danau itu.
Lalu siapa perempuan yang setiap Minggu pagi kulihat? Perempuan yang berhasil mengalahkan kilaunya matahari, mengalahkan sejuknya embun dan memesonakan alam. Siapa perempuan yang selalu melukis kehidupan, yang tak pernah kutahu bagaimana caranya. Lalu siapa perempuan yang membuatku bersaksi pada Tuhan bahwa aku telah mencintainya?
“Perempuan itu adalah aku, Melati. Yang kau adukan keindahannya pada Tuhan, pada ilalang dan pada kelinci yang berlompatan. Perempuan yang membuatmu terkagum tiada kira. Aku Melati. Dan akulah perempuan yang selalu melukis kehidupan. Karena aku merindukan kehidupan yang kau lalui sekarang. Jangan kau tanyakan aku di mana. Aku ada di sini, di danau ini dan melukis kehidupan.
***
“Untunglah kau masih di sini.” Aku menambahkan, “kenapa kau terus saja menggambar kehidupan?”
“Aku merindukan kehidupan.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H