Kini aku datang mendahului pagi, dengan harap aku bisa menyaksikannya datang dan menyambut dengan senyuman. Embun pagi yang membuatku menggigil tak dapat membekukan niatku. Aku sudah siap bertemu gadis yang aku cinta. Dan aku siap mengatakan padanya.
Satu jam… dua jam… hingga menuju senja, Melati tak kunjung datang. Tak biasanya seperti ini. Hari Minggu tanpa kedatangannya seperti hujan tanpa pelangi. Sungguh suram. Aku harus mencarinya, mencari jejak indahnya. aku lalu bertanya kepada penjaga danau—tentunya ia tahu, Melati selalu datang ke sini. Meski aku tak pernah melihatnya berbicara pada orang lain selain aku.
“Apakah anda tahu, wanita yang duduk di sana setiap Minggu?”
“Wanita siapa? Aku selalu melihatmu duduk sendirian.”
“Melati, namanya Melati,” lanjutku dengan nada menjelaskan. “Dia selalu melukis di depan danau.”
“Oh, Melati? Datanglah ke rumahnya,” dengan wajah iba, ia menjelaskan, “rumahnya ada di pojok sana. Jika kau menemui tikungan dan ada pohon besar, di bawah pohon itulah rumahnya.”
***
“Kamu temannya Melati?” wanita ramah yang ternyata ibu Melati pun menjelaskan, “dia lagi istirahat, silahkan masuk ke kamarnya. Ibu akan membuakan teh.”
Aku membuka kamar yang tak berpintu dan hanya untaian tirai yang menutupinya. Aku mencium aroma semerbak bunga melati yang sangat kuat. Dan itu hanya dimiliki Melati. Tapi aku terkaget melihat apa yang kusaksikan dalam kamarnya. Tak ada Melati. Hanya ada kanvas yang tergambar danau dan punggung seorang wanita yang sedang menunggu. Aku menerka itu adalah Melati. Ya, itu adalah lukisan Melati dan dia melukis dirinya sendiri. Tapi, dimana Melati? Di mana dia?
“Di mana Melati?”
“Dia ada di sini, tapi tidak raganya,” ibu itu melanjutkan, “dua tahun lalu dia tenggelam di danau.” Ibu itu menjelaskan segalanya padaku dengan tetes-tetes air mata yang berderai. Tentang bagaimana Melati hidup, bagaimana Melati yang selalu merindukan senja di danau, bagaimana Melati menunggu kekasihnya, dan bagaimana ketika Melati sendiri yang harus ditelan danau itu.