Bayu tertawa mendengar ucapan kakak ibunya. Lelaki kecil itu menghentikan gerakan tangannya, lalu memandang pakdenya.
“Mau diinjak-injak Bayu, Pakde?”
“Gelem banget, Le. Lha tapi kamu kan masih belajar.”
“Cuma lagi nggambar kok, Pakde.”
Bayu beranjak dari kursi belajarnya, lalu menghampiri Pakdenya yang terbaring di atas tempat tidurnya.
“Asyiiikk, rajinnya ponakan Pakde. Nanti pakde hadiahi limapuluh ribu rupiah, ya,” Yono membalikkan tubuhnya menjadi posisi tengkurap agar Bayu bisa menginjak-injak tubuhnya.
“Pakde, tahu gak ayah baru aja dikasih keris sama almarhum Mbah Kakung?”
“Hmmm,“ Yono menjawab singkat. Dia lebih tertarik dengan kenikmatan yang didapatkan saat kaki Bayu menginjak-injak punggungnya.
“Kata ayah, dua keris itu ada isinya, seorang laki-laki dan perempuan dengan pakaian Jawa. Wah Bayu jadi ingat cerita Mbah Kakung tentang kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa. Raja-Raja yang gagah perkasa dengan kereta kencananya. Keren sekali pasti ….., “ Bayu terus bercerita sambil kakinya bergerak maju mundur di atas punggung pakdenya.
Yono tak lagi menggubris cerita keponakannya. Rasa kantuk dan capek mengalahkan keceriaan suara keponakannya yang hobi menggambar dan suka bercerita itu.
Bayu menghentikan ceritanya dan turun dari badan pakdenya. Dirapikannya meja belajar yang penuh dengan kertas kertas dan pensil warna. Diambilnya hasil lukisan yang terakhir dibuatnya, sepasang keris. Lelaki kecil berusia 11 tahun itu lalu memandang sepasang keris milik Mbah Kakungnya yang juga tegeletak di Meja. Bayu meminta ijin ayahnya untuk meminjam dua keris tersebut karena dia ingin menggambarnya. Ditinggalkannya Pakde Yono yang sudah memejamkan matanya dan terlelap. Dan malam ini berarti dia bisa tidur sekamar dengan ayah dan ibunya. Saat yang selalu membuatnya gembira.