Mohon tunggu...
Fariq Tasaufy
Fariq Tasaufy Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

when the world turns against my will....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wanita dan Sebuah Dompet

22 Maret 2012   17:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:36 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu yang lalu, sedari pagi Ia sudah bergumul dengan kondektur dan sopir bus genit. Dilanjutkan lagi bersua dengan pedagang kaki lima yang berjajar pada salah satu kompleks PKL di Terminal Tambak Osowilangun. Perjalanan Lamongan-Surabaya yang sangat melelahkan.

***

Bus kota yang kunaiki sudah menderu sedari tadi. Asapnya pekat hitam nampak di belakang. Muka musam dan kusam terlihat di wajah mereka yang berdiri bak makelar jajan, di belakang. Flack hitam seperti sudah menjadi kerak yang tak mampu dibersihkan oleh iklan pemutih yang menempel gagah di badan Bus. Logat mereka pun sangat beragam. Sampai telinga sulit menerka antara logat Gresik dan logat Madura.

Kulangkahkan dengan gontai kedua kaki. Hanya beralas sendal jepit ungu yang kubawa dari rumah. Baru saja Ibu belikan untukku sebagai kado ulang tahunku. "Walau hanya sepasang alas kaki, setidaknya itu ikhlas kuberikan padamu nak." Pesan itu yang tadi diberikan padaku di depan pintu rumah, sembari kukecup kedua tangannya.

Keluargaku tidaklah kaya. Saat makan pagi tiba. Ibu rela bangun lebih awal hanya untuk mengambil singkong di belakang rumah. Ia kukus sejenak, agar siap disajikan sebelum aku berangkat sekolah. Sembari menunggu matang, Ibu memandikan adikku yang masih berumur tiga tahun. Tingkahnya yang nakal pernah membuat ibuku marah hingga Ia meninggalkannya di kamar mandi, dan si kecil menangis dengan sejadi-jadi.

Suatu ketika, kami harus gigit jari kala pagi, saat tak ada singkong di belakang. Saat mereka mulai gersang dan ubinya sudah busuk serta pahit jika dimakan, kami pun harus menunggu waktu siang saat Ibu pulang dari mbabu di rumah Pak Richard, keluarga pendatang paling kaya di desaku. Setiap pulang ibu selalu membawa kotak nasi yang berisi lauk pauk yang lezat, beraneka ragam, dan tak pernah kulihat sebelumnya. Namun sayang tak bisa langsung kami habiskan, harus disimpan untuk makan malam. Gaji ibu pun keburu habis untuk membayar arisan dan uang saku adek selama sebulan. Pun karena menjadi babu, hanya sepasang sendal japit ungu yang mampu diberikan oleh Ibu.

"Akhirnya, kau berangkat juga besi tua!" Resah.

Roda-roda mulai menggelinding, kusirnya berseragam, kumisnya hitam-garang. Kondektur pun sigap dengan segepyok uang di tangan, melirik kesana kemari cari wanita yang galau hatinya, siapa tahu dapat dijamah kalau dapat nomer hp -nya. Sesekali iya cubit bahu seorang wanita yang berada tepat di sebelahnya. Entah, mengapa wanita itu juga menantang dengan senyumnya.

"Dasar hentai...!" Seorang wanita yang duduk sebangku denganku kesal.

"Apa itu mbak hen...tai,ehm...benar nggak mbak pengucapannya?" sahutku.

"Benar, itu bahasa jepang mas, kalau dalam bahasa inggris artinya pervert."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun