M.Basri  dilahirkan di Makassar, 5 Oktober 1942, termasuk salah seorang pemain PSM yang pernah bermain dengan Ramang. Sebagai pemain muda usia, dia selalu bangga dan ingin memiliki kemampuan seperti yang dimiliki Ramang. Sebagai pemain muda, Basri selalu memperoleh support dari Ramang. Soalnya, kalau dia tidak dukung, mana bisa masuk squad PSM.
Tidak ada yang meragukan dia sebagai pemain bola. Tubuhnya atletis. Tinggi, ideal sebagai pemain bola. Sisa-sisa keperkasaannya sebagai pemain bola masih tampak sekarang. Dalam usia yang 68 tahun, Basri masih bugar. Kalau saja dari sisi stamina tak ada masalah, dengan postur seperti  itu sebenarnya beliau masih dapat turun berlaga. Apalagi, Basri tidak seperti kebanyakan pemain sepakbola yang lain. Habis jadi pemain, langsung berurusan dengan 'asap', merokok. Basri tidak 'jalani' itu. Bahkan minuman beralkohol pun tidak.Â
Ada satu pengalaman Basri yang terkait dengan Ramang. Ketika usia 17 tahun, Basri memperkuat klub MOS dalam kompetisi PSM. Lawan MOS kala itu adalah Persis. Ramang juga ikut main. Suatu saat Ramang membawa bola, sebagai pemain belakang, Basri tidak ingin membiarkan Ramang lewat begitu saja menggiring bola. Basri berusaha merebut si kulit  bundar. Bola 'terampas', Ramang pun terjatuh.
 ''Hati-hati anak muda,'' desis Ramang ketika bangun dari jatuhnya.
 ''Saya juga mau maju, Pak!'' gumam Basri.
Sehabis jatuh, Ramang muncul lagi. Biasa, menggiring si kulit bundar. Tepat di depan Basri, dia dorong bola separuh jarak dari dirinya dengan pemain MOS di depannya. Basri tidak ingat, bagaaimana proses tackling itu terjadi. Yang pasti, Basri baru tahu dirinya sudah diangkat ke luar lapangan. Tiga minggu dia tidak bisa goyang. Kalau mau jongkok saja, dia harus setengah berdiri.Â
 ''Ramang itu pemain brillian. Tetapi itulah negatifnya, kalau dia mau 'makan' orang, pasti kejadian,'' kenang Basri dalam wawancara yang berlangsung 90 menit itu di Hotel Makassar Golden.
Basri memperkirakan, penyakit yang diderita Ramang di usia lewat setengah abad lahir karena kebiasaannya. Salah satu kelemahan dia, sehabis main selalu buka baju. Dia sedikit sombong, karena memiliki kemampuan. Hanya tidak secara transparan diperlihatkan. Ketika main dengan Basri, kalau Ramang dapat 10 misalnya, pemain-pemain muda dapat 2 sudah gembira dan bangga.
Sebagai pemain, dia memang luar biasa. Komplit. Dia sosok yang sangat dikagumi. Basri memperoleh banyak pelajaran dari dia. Ketika Basri bermain dengan Ramang, perhatian Panglima Kodam Hasanuddin waktu itu (M.Jusuf) cukup besar. Malah, almarhum jenderal yang mantan Menteri Pertahanan tersebut selalu mengontrol pemain PSM. Kerap sekali, M.Jusuf makan siang dengan para pemain menjalani training center (TC) di Gedung Olahraga Mattoangin. Pada masa itu, para pemain PSM sempat dilatih ala militer. Selama sebulan dikirim ke Pakatto. Di Resimen Infantri Kodam (Rindam) VII tersebut para pemain menjalani latihan laksana prajurit yang baru diterima. Berlari, tiarap, merayap, dan melompati rintangan. Hanya saja, kata Basri, para pemain minta agar tidak ditembaki ketika latihan merayap. Bisa-bisa jadi sasaran peluru tajam. Â Â Â
Pada tahun 1967-1968, tiga pemain PSM ditawarkan jadi polisi, Basri, Manan, dan John Simon. Pangkatnya lumayan, langsung IP2. Basri tidak tertarik, hanya Manan dan John Simon yang menerima tawaran tersebut. Waktu Mayor Syamsuddin -- kini Wakil Menteri Pertahanan -- (ayah Jenderal Sjafrie Syamsoeddin) ditawari masuk Akabri, juga ditolak Basri. Hanya Solong dan Rasyid Dahlan menerima tawaran jadi tentara. Pangkatnya, letnan dua.
''Saya sipil saja,'' kata Basri yang digadang-gadang dikasih NP Basri, menggantikan salah seorang pejuang 45 yang sudah gugur. Basri merasa, nggak cocok menggantikan posisi orang yang sudah meninggal.
Menurut Basri, prestasi dan kemampuan Ramang sejatinya bisa diwarisi anaknya, Anwar. Style-nya sama.Titisan permainan Ramang ada pada dia. Tembakannya keras. Mungkin Anwar agak terpengaruh, hingga kurang sukses di bola.
''Mestinya dia bisa jadi Ramang jilid II,'' kata Basri yang pernah 10 tahun memperkuat tim nasional tanpa henti.
 Menjaga Pele
Salah satu kenangan Basri yang tak terlupakan adalah ketika memperkuat tim nasional menghadapi kesebelasan Santos Brasil dengan bintangnya Pele, tahun 1970 di Stadion Utama Senayan. PSSI kalah 2-3 waktu itu. Dua gol Indonesia diborong Risdianto. Waktu itu, PSSI dilatih Endang Witarsa dan EA Mangindaan.
''Saya pernah menjaga Pele. Alangkah cepatnya, tiba-tiba saja dia sudah ada di belakang saya,'' kenang Basri.
Berbicara prestasi sepakbola Indonesia yang saat ini sangat memprihatinkan, Basri sangat gamang, Mestinya, prestasi Indonesia bisa lebih bagus lagi ketimbang dulu. Kita harus terus menggali di mana kurangnya. Indonesia sebenarnya berusaha memperbaiki prestasi sepakbola dari tahun ke tahun. Salah satu upaya keras yang dilakukan adalah dengan menggelar kompetisi Liga Indonesia. Hanya saja, Basri melihat, klub-klub peserta Liga Indonesia yang banyak bermandikan pemain asing, ternyata ujung-ujungnya tidak membuat prestasi Indonesia kian membaik di kawasan Asia Tenggara.
Apa alasannya? Basri melihat, posisi-posisi penting di berbagai klub di Indonesia rata-rata ditempati para pemain asing. Mestinya, posisi itu harus juga didominasi oleh pemain kita sendiri. Tetapi susah juga, karena tiap klub ingin memenangkan setiap pertandingan. Namun di sisi lain, sasaran utama kompetisi tidak tercapai. Yang mengemuka adalah terwujudnya obsesi setiap klub tampil sebagai kampiun.
Banyak klub sepakbola Indonesia bertebaran pemain asing. Bahkan, bisnis pemain asing ini sudah menggurita. Kerap setiap kesebelasan justru merekrut pemain asing dulu baru pelatihnya. Jadi sama dengan orang membeli bahan sayur lebih dulu baru kokinya dicari. Sasaran yang hendak dicapai tentu saja ingin menemukan tim yang tangguh dan sayur yang enak.
Basri melihat, keperkasaan para pemain asing di sejumlah klub Indonesia di satu sisi justru menghancurkan eksistensi para pemain lokal  ketika mereka  bergabung dalam suatu tim nasional. Para pelatih selalu mengejar timnya menang tanpa memperhatikan pemain lokal. Ketika para pemain bintang ditarik menjadi pemain nasional, kita krisis pemain pada posisi tertentu. Lihat saja Bambang Pamungkas sebagai striker, siapa lagi yang bisa dipasang di posisi itu. Habis, semua posisi itu di tiap klub dikuasai oleh para pemain asing. Pemain kita sendiri tidak memiliki jam terbang yang memadai menempati posisi itu. Kalau seseorang pemain terus saja dipasang di posisi itu terus, pemain lawan lebih mudah membacanya. Tokh sudah sering bertemu. Â
Masalah lain menurut Basri, pemilihan pemain yang selalu diintervensi oleh pihak nonpelatih. Padahal, pelatih yang memilih pemain. Pemain-pemain yang memperkuat suatu tim masih harus diajari ABC-nya sepakbola. Sejatinya, pelatih hanya bertugas bagaimana merangkai ABC-nya permainan sepakbola tersebut.Â
Basri mengusulkan ada sentra pembinaan pemain sepakbola di Indonesia. Wilayah Timur, Tengah, dan Barat. Pemain super liga semestinya ada usia under twenty (20) year. Itu jadi pemain lapis berikut tim berikutnya. Yang terasa, sepakbola ini sudah menjadi ajang bisnis dalam segala komponen pendukungnya. Anehnya, ada aspek lain yang sangat penting, prestasi, justru ditinggalkan dan terpinggirkan. Kalau pun prestasi tetap diperhatikan, hanya sebatas kebanggaan klub saja, belum sampai ketika para pemain memperkuat tim nasional.Â
 Pulang Kampung
Nama Basri pernah cemerlang di blantika sepakbola nasional. Sepuluh tahun dia bercokol di tim nasional. Terakhir, 1968, dia minta mengundurkan diri dari tim nasional, karena menganggap dirinya 'selalu salah' dalam mengumpan bola.
Sejarah rekam jejaknya di sepakbola berawal tahun 1960 di MOS Makassar. Setahun kemudian dia bergabung dengan PSM. Pada tahun 1968 dia bergabung dengan Klub Pardedetex Medan. Pada saat inilah, dia sering melanglangbuana melawan kesebelasan asing, baik membawa panji Pardedetx maupun PSSI.
 ''Kalau kita sedang berada di luar negeri, kemudian PSSI mau mengikutkan timnya ke suatu turnamen, para Pardedetex tinggal ganti jas saja (pakai lambing Garuda),'' kata Basri.Â
Ayah lima anak ini -- kini -- bergabung juga dengan kesebelasan Warna Agung Jakarta tahun 1976-1979. Antara tahun 1962 hingga 1973, Basri memperkuat tim nasional.
 Sebagai pemain
 Google.com yang diunduh 13 Juni 2010 pukul 01.25 memaparkan, Basri memulai kariernya di Klub MOS pada tahun 1961 dan dilanjutkan di klub Pardedetex dan HBS Surabaya. Dia sempat membela timnas di Asian Games 1962. Pada saat itu, Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga se-Asia. Kemudian dia terus tampil pada dua Asian Games berikutnya. Ia juga menjadi bagian timnas saat Indonesia turun di Ganefo. Pada tahun 1973, Basri pernah memperkuat tim nasional bertarung dalam Pra World Cup di Australia di bawah pelatih Endang Witarsa dan EA Mangindaan.
Pada tahun 1970, dia diminta kembali ke Makassar ketika Patompo menjadi Wali Kota Makassar. Selain Patompo, Andi Pangerang Petta Rani juga meminta dia pulang kampung..Saat itu, Basri dijanjikan pekerjaan. Namun, hasilnya nihil. Dia terbang ke Surabaya dan masih bermain hingga 1975. Setelah itu dia praktis jadi pelatih.
Persebaya Surabaya, tim pertama yang diasuh Basri. Pada musim 1977, dia berhasil mengantarkan Persebaya jadi juara Kompetisi Perserikatan. Usai memberikan prestasi puncak bagi Persebaya, Para pemain yang dia latih adalah Rusdi Bahalwan, Rudi William Keltjes, dan lain-lain.
Pada tahun 1979/1980, Basri pindah ke Niac Mitra. Tampaknya, pria kelahiran Makassar 5 Oktober 1942 ini, juga ingin menjajal kerasnya Kompetisi Galatama. Lagi-lagi keampuhan racikan Basri terbukti. Tiga kali Niac Mitra dibawa Basri jadi juara Galatama, masing-masing pada 1981, 1982, dan 1986. Di bawah tangan Basri, dia menarik lima pemain PSM, di antaranya, Dullah Rahim, Malawing, dan Jusuf Malle.
Pada tahuin 1980, Basri direkrut menjadi pelatih nasional menghadapi Kings Cup di Bangkok. Empat tahun kemudian memegang tim nasional Pre Olimpic dengan Manajer Sigit Harjoyudanto.. Kembali pada tahun 1988/1989, dia dipercayakan sebagai pelatih tim nasional Pre World Cup. Dia memboyong timnya dua bulan berlatih di Jerman. Salah seorang pemain yang diboyong berasal dari PSM, Rohandi Yusuf. Tim ini gagal, karena berada dalam pool maut dengan kesebelasan-kesebelasan kawasan Arab.
Pada SEA Games di Kuala Lumpur, Basri dipercaya sebagai pelatih dengan asisten Iswadi Idris dan Abdul Kadir. Saat kesebelasan asal Italia, Sampdoria, di klub tempat Kurniawan Dwi Yulianto berlatih, dalam pooling pendapat umum, Basri terpilih sebagai pelatih yang mempersiapkan tim nasional menghadapi tamu dari Negeri Menara Pisa itu. PSSI kalah ketika itu.
Kenyang merasakan persaingan di era Kompetisi Perserikatan dan Galatama, karier Basri sebagai pelatih terus berlanjut saat sepak bola Indonesia memasuki fase Liga Indonesia. Sebagai putra derah, di awal Liga Indonesia bergulir, Basri sangat bangga bisa menukangi PSM Makassar. Nyaris saja Piala Presiden, lambang supremasi Liga Indonesia berhasil dipersembahkan Basri bagi tanah kelahirannya. Sayang, di Liga Indonesia 1995/1996, PSM Makassar kalah 0-2 dari Mastrans Bandung Raya di final. PSM Makassar pun gagal jadi juara Liga Indonesia untuk kali pertama. Tetapi, PSM yang dipercayakan PSSI mewakili Indonesia dalam Turnamen Bangabandhu Cup di Dacca, Bangladesh di penghujung tahun 1996, berhasil tampil di final. Lagi-lagi sayang, di final, PSM kalah 3-4 atas kesebelasan Malaysia yang dipersiapkan sebagai tim SEA Games 1997 di Jakarta.
Selain PSM, di era Liga Indonesia, Basri juga pernah menangani Arema Malang, Persita Tangerang, dan terakhir Persela Lamongan di musim 2007. Kala menangani Persita di musim 2004, Basri mengajukan pengunduran diri dari posisi pelatih kepala, Â karena Persita menelan kekalahan beruntun.
Sebagai pelatih, Basri dikenal keras dan tegas. Ia selalu menegakkan disiplin tinggi pada tiap tim yang diasuhnya. Hingga kini, Basri bisa dikatakan sebagai pelatih lokal paling senior yang masih beredar di kancah sepak bola nasional Indonesia.
''Kalau ada pemain tidak siap di lapangan, saya langsung ganti,'' kata Basri dalam suatu wawancara dengan penulis di Hotel Makassar Golden, 29 Juni 2010.
 Pemain liga
1961: Klub MOS
1968: Pardedetex
1973: HBS Surabaya
Tim nasional
PSSI Asian Games 1962, 1966, 1970, 1974, 1982
PSSI Ganefo 1962
PSSI Pra Olimpiade 1968
Piala Asia Cup 1968
PSSI King's Cup 1969 (Juara), 1970 (Runner-up), 1971
PSSI Merdeka Games 1967, 1969 dan 1970 (Juara)
PSSI Pesta Sukan 1970 (Juara)
PSSI Pra Piala Dunia 1973
Pelatih
1977: Persebaya Surabaya
1979: PSSI Pratama
1980-1986: Niac Mitra
1983: Timnas Pra Olimpiade
1989: Timnas Pra Piala Dunia, Timnas SEA Games
1991-1993: Arema Malang
1994: Mitra Surabaya
1995-1997: PSM Makassar
2000: Arema Malang
2003: Persim Maros
2004: Persita Tangerang
2005: PSM Makassar
2007-2009: Persela Lamongan
Prestasi kepelatihan
1977: Juara Kompetisi Perserikatan (Persebaya Surabaya)
1981: Juara Galatama (Niac Mitra)
1982: Juara Galatama (Niac Mitra)
1986: Juara Galatama (Niac Mitra)
1986: Juara Agha Khan, Bangladesh (Niac Mitra)
1993: Juara Galatama (Arema Malang)
1996: Finalis Liga Indonesia (PSM Makassar)
1997 Â PSM runner up Bangabandhu Cup Bangladesh (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H