''Saya sipil saja,'' kata Basri yang digadang-gadang dikasih NP Basri, menggantikan salah seorang pejuang 45 yang sudah gugur. Basri merasa, nggak cocok menggantikan posisi orang yang sudah meninggal.
Menurut Basri, prestasi dan kemampuan Ramang sejatinya bisa diwarisi anaknya, Anwar. Style-nya sama.Titisan permainan Ramang ada pada dia. Tembakannya keras. Mungkin Anwar agak terpengaruh, hingga kurang sukses di bola.
''Mestinya dia bisa jadi Ramang jilid II,'' kata Basri yang pernah 10 tahun memperkuat tim nasional tanpa henti.
 Menjaga Pele
Salah satu kenangan Basri yang tak terlupakan adalah ketika memperkuat tim nasional menghadapi kesebelasan Santos Brasil dengan bintangnya Pele, tahun 1970 di Stadion Utama Senayan. PSSI kalah 2-3 waktu itu. Dua gol Indonesia diborong Risdianto. Waktu itu, PSSI dilatih Endang Witarsa dan EA Mangindaan.
''Saya pernah menjaga Pele. Alangkah cepatnya, tiba-tiba saja dia sudah ada di belakang saya,'' kenang Basri.
Berbicara prestasi sepakbola Indonesia yang saat ini sangat memprihatinkan, Basri sangat gamang, Mestinya, prestasi Indonesia bisa lebih bagus lagi ketimbang dulu. Kita harus terus menggali di mana kurangnya. Indonesia sebenarnya berusaha memperbaiki prestasi sepakbola dari tahun ke tahun. Salah satu upaya keras yang dilakukan adalah dengan menggelar kompetisi Liga Indonesia. Hanya saja, Basri melihat, klub-klub peserta Liga Indonesia yang banyak bermandikan pemain asing, ternyata ujung-ujungnya tidak membuat prestasi Indonesia kian membaik di kawasan Asia Tenggara.
Apa alasannya? Basri melihat, posisi-posisi penting di berbagai klub di Indonesia rata-rata ditempati para pemain asing. Mestinya, posisi itu harus juga didominasi oleh pemain kita sendiri. Tetapi susah juga, karena tiap klub ingin memenangkan setiap pertandingan. Namun di sisi lain, sasaran utama kompetisi tidak tercapai. Yang mengemuka adalah terwujudnya obsesi setiap klub tampil sebagai kampiun.
Banyak klub sepakbola Indonesia bertebaran pemain asing. Bahkan, bisnis pemain asing ini sudah menggurita. Kerap setiap kesebelasan justru merekrut pemain asing dulu baru pelatihnya. Jadi sama dengan orang membeli bahan sayur lebih dulu baru kokinya dicari. Sasaran yang hendak dicapai tentu saja ingin menemukan tim yang tangguh dan sayur yang enak.
Basri melihat, keperkasaan para pemain asing di sejumlah klub Indonesia di satu sisi justru menghancurkan eksistensi para pemain lokal  ketika mereka  bergabung dalam suatu tim nasional. Para pelatih selalu mengejar timnya menang tanpa memperhatikan pemain lokal. Ketika para pemain bintang ditarik menjadi pemain nasional, kita krisis pemain pada posisi tertentu. Lihat saja Bambang Pamungkas sebagai striker, siapa lagi yang bisa dipasang di posisi itu. Habis, semua posisi itu di tiap klub dikuasai oleh para pemain asing. Pemain kita sendiri tidak memiliki jam terbang yang memadai menempati posisi itu. Kalau seseorang pemain terus saja dipasang di posisi itu terus, pemain lawan lebih mudah membacanya. Tokh sudah sering bertemu. Â
Masalah lain menurut Basri, pemilihan pemain yang selalu diintervensi oleh pihak nonpelatih. Padahal, pelatih yang memilih pemain. Pemain-pemain yang memperkuat suatu tim masih harus diajari ABC-nya sepakbola. Sejatinya, pelatih hanya bertugas bagaimana merangkai ABC-nya permainan sepakbola tersebut.Â