"Ini Sambal (Syamsuddin Battola) sudah ikuti itu?"
"Siapa?," tanya SU mendengar akronim Syamsuddin Battola yang Sambal saya buat sendiri.
"Oh..tidak. Sekarang ini ada lima pelatih. Ada Syamsuddin Battola, Budiman Buswir (kiper), Budi, Safril Usman, dan Bahar Muharram. Lima pelatih ini adalah mereka yang lahir dari PSM. Dia jebolan dari PSM betul. Dari lima pelatih ini, sudah ada beberapa kali pergantian pelatih  PSM, termasuk pelatih asing yang sudah kenyang pengalaman dan sarat dengan ilmu  pernah mereka ikuti. Jadi tidak ada masalah. Tidak usah ambil pelatih asing.
"Ya, kan Pelatih lokal lebih memahami karakter pemain kita," kata saya.
Yang penting bagi pelatih lokal, sebut SU, tidak mau dikenai "hukum sosial" (sejenis ejekan, cemoohan jika PSM kalah dan sebagainya) dan harga diri.
 "Mereka tidak mau tercederai identitasnya!?," saya menimpali bernada tanya.
Ya, dia tidak mau tercederai identitas sosial. Seperti saya, sudah tidak jadi pelatih PSM, tetapi kalau ke pengantin dan bersamaan dengan PSM kalah, begitu jabat tangan dengan seorang teman, pasti berkata," kenapa kalah PSM?". Tidak enak kan? Tetapi kalau misalnya menang, mereka senang, Padahal, saya tidak terlibat di dalam.
"Jadi, ada hubungan emosio sosial begitu!".
Kalau hukum sosial yang menimpa kita, baru buka jendela, malu dilihat orang. Seperti juga, bagaimana pun Pak Dahlan meskipun tidak ikuti lagi PSM, namun bagaimana sejarah PSM ada sama Pak Dahlan.
Saya kemudian menjelaskan kepada SU bahwa ayah saya di Bima, NTB selalu menelepon menanyakan hasil pertandingan PSM selama Piala Menpora ini. Bahkan beliau minta dikirimi pulsa agar dapat menelepon guna mengetahui hasil pertandingan PSM.
"Itu adalah bagian dari PSM. Â Secara sosial beliau (ayah saya) menganggap dirinya sebagai bagian dari PSM karena ada anaknya yang punya hubungan dengan PSM (karena kisah PSM beliau ikuti melalui buku yang saya tulis dan juga kisah Ramang)," kunci Syamsuddin Umar mengakhiri percekapan santai tersebut. (M.Dahlan Abubakar).