Lahan Gambut menjadi fenomenal karena setelah terjadinya kebakaran yang terjadi beberapa pulau seperti Sumatera, Kalimantan. Akibat kebakaran gambut bukan hanya asap yang meluas dan merusak kesehatan manusia (karena menghirup CO2), juga merusak harmoni kehidupan hewan dan tumbuhan untuk masa depan , tapi juga kerusakan lahan gambut yang terbakar akan merusak ekosistem. Â Pada dasarnya gambut itu dapat digunakan sebagai area penyimpan, penyedia hasil hutan dan perkebunan, penyimpan karbon danrumah berbagai keanekaragaman hayati.
Bagi mereka yang belum pernah melihat lahan gambut seperti saya, pasti bingung apa itu gambut. Â Gambut di Indonesia adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa tumbuhan, pohon dan sebagian telah terdekomposisi dan terakumulasi pada rawa dan genangan air. Unsur yang terdapat pada gambut Indonesia mengandung konten debu sebesar 35%; kedalaman sebesar 50cm dan karbon 12 wt%.
Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi baik dari gas kaca atau dari pembakaran lahan gambut menjadi 26% pada tahun 2020 dan 29% pada tahun 2030 dan 41% jika ada bantuan internasional.
Namun, upaya Pemerintah untuk merestorasi gambut yang rusak terkendala karena tidak adanya peta gambut yang akurat. Peta yang dapat dipakai untuk suatu kebijakan Restorasi Ekosistem Gambut Indonesia sangat bervariasi.
"Ada 14 peta dan semua berbeda-beda, untungnya ada wali data peta tanah dan peta lahan gambut Balitbangtang Kementan. Tapi sayangnya data terakhir tahun 2011 dan belum diperbaharui," ujar Bapak Budi Satywan Wardjama, Deputi I Bidang Perencanaan dan Kerjasama Badan Restorasi Gambut dalam Semintar tentang "Pemetaan Gambut untuk Konservasi" yang diselenggarakan oleh Yayasan Dr. Sjahrir.
Namun Pemerintah tak mau berpangku tangan pasif menunggu untuk selesainya peta akurat . Sadar bahwa ada "urgency" yang harus dilaksanakan. Â Â
"Negara lain sudah maju memikirkan teknologi yang paling canggih dalam pemetaan gambut, sementara kita masih berjalan di tempat, untuk "poco-poco". Karena itu, hari ini kita diskusikan bersama, dalam upaya melakukan restorasi dan konservasi lahan gambut. Dari diskusi diharapkan ada rekomendasi dan disimpulkan pentingnya Science Base Solution dalam melakukan upaya konservasi dan restorasi. Tanggung jawab ada di semua stakeholder baik itu Pemerintah, Mahasiswa maupun masyarakat, "ujar DR. Nurmala Kartini Sjahrir, selaku Pembina Yayasan Dr. Sjahrir.
Menurut Mr. Kazuyo Hirose dari Japan Space System , cakupan luas gambut di Indonesia adalah 17M ha dibandingkan luas gambut dunia 35M ha pada tahun 1988 berdasarkan FAO.Sementara pada tahun 2009, luas gambut Indonesia, 26.5M ha berdasarkan penelitian Wtlands International. Namun, pemetaan luas gambut yang dimiliki oleh Kementrian Pertanian , Kementrian Pekerjaan Umum dan beberapa universitas memiliki perbedaan antara 13.5 sampai 26.5 juta HA.
Untuk memetakan gambut harus diperhatikan definisi dari gambut . Definisi campuran heterogen dari bahan organik yang terdekomposisi dan minteral inorganik. adanya berbagai macam definisi itu membuat penanganan berbeda.  Juga Unsur-unsur gambut seperti tingkat humifikasi, kepadatan gambut dan konten debu  (wt%).
Pembenahan Lahan Gambut untuk Konservasi/Restorasi Lahan:
Langkah-langkah mantap telah dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pembenahan lahan gambut. Sebelum semuanya terlambat, Pemerintah telah mengembangkan kebijakan dan peraturan dalam rangka sustainable forestry dan sustainable production.  Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan berbagai peraturan salah satunya adalah Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Penerapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dan Penerapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut.  Â
Koordinasi:
Seperti diketahui banyak tumpang tindih perizinan dari beberapa Kementrian yang menangani lahan gambut. Perizinan biasanya dilakukan oleh Pemda dan beberapa lembaga teknis dalam Kementrian Kehutanan/Pertanian. Agar penanganan gambut ini lebih lancar, maka salah satu tugas BRG adalah mengordinasikan multi sektor yang memberikan izin, penanganan penggunaan lahan, penataan ulang dari perizinan yang sudah dibuat, pembenahan rencana produksi. Kemitraan di segala sektor, pengelolaan gambut, bahkan supervisi dalam ekosistem gambut dan inernalisasi faktor resiko.
Penguatan Kebijakan:
Dibutuhkan suatu Undang Undang dan Kebijakan Tata Ruang dan pemanfaatan dan perlindung, perijinan dan pengendalian dan kerusakan.
Ketika ditemukan beberapa alih fungsi lahan gambut yang tidak sesuai dengan izinnya, maka diadakan perlindungan pemulihan agar tidak terjadi kerusakan dan pengendalian kerusakan. Â Data dan informasi dipersiapkan agar setiap stakeholder yang membutuhkan untuk tata kelola ekossitem gambut dapat mengakses dengan mudah.
Dalam menjalankan fungsinya BRG telah menyusun rencana kerja dan pengendalain dengan bekerja sama dengan semua pihak yang terkait dengan restorasi.
Peta Indikatif Restorasi Ekosistem Gambut:
Pada tahun 2016 BRG telah berhasil menyelesaikan pemetaan LiDAR atau pemetaan berbasis sinar laser di empat wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Keempat KHG itu adalah KHG Tebing Tinggi, KHG Sungai Cawang-Air  Lalang, KHG Air Sugihan-Sungai Saleh, dan KGH Sungai Kahayang-Sungai Sebangau.
Pada tahun 2017 BRG akan menyelesaikan 2 KHG dengan pemetaan LiDAR.Kedua wilayah itu adalah KHG Sungai PEniti-Sungai Mempawah di Kalimantan Barat dan KHG Sungai Batanghari dan Mandara di Jambi.
Total area yang pemetaannya telah selesai itu sekitar 1 juta hektar, sementara target lahan gambut yang harus direstorasi sekitar 2 juta hektar hingga 2020.
Dibutuhkan peta skala besar untuk program restorasi gambut, sementara skala peta yang ada masih berskala kecil 1:250.000.
Inventarisasi dan pemetaan ekosistem gambut:
Pekerjaan inventarisasi dan pemetaan tidaklah mudah, terutama dalam inventarisasi daftar Konsesi /Perijinan pada 8 KHG. BRG mengevaluasi para kerusakan gambut apakah pemegang izin baik itu IUPHHK, HGU  telah sesuai dengan izin atau tidak. Misalnya pemegang izin hutan lindung, berubah jadi hutan gambut. Dasar perubahan ini yang sering menjadi kesulitan dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah karena tidak adanya parameter kebijakan atau One MAP policy.Pada tahun ini BRG belum bisa menjalankan fungsi mengawasi restorasi  gambut di area konsesi hutan tanaman industri karena para pemiliki  konsesi belum menuntaskan revisi Rencana Kerja Usaha atau RKU.  Sambil  menanti perusahaan pengelola konsesi menuntaskan revisi RKU, BRG  menyusun pedoman supervisi lahan konsesi.  Dari jumlah 85 baru ada 12  konsesi yang mengajukan perubahan RKU dan disahkan KLHK. Â
Tahun ini BRG membasahi gambut bersama kelompok masyarakat di enam provinsi di Indonesia. Satu provinsi prioritas, yakni Papua. Â Selain pembasahan gambut melalui penyekatan kanal non permanen, BRG juga membantu pembangunan sumur bor dan membenahi sumber pendapatan warga yang bergantung pada ekosistem gambut. Â Ketika restorasi gambut TA 2017, masyarakat pun dilibatkan dengan pembangunan sekat kanal. Terlihat pada gambir di bawah ini hasil PEmbangunan Sekat kanal Kab. Siak dan Jambi. Â Juga diadakan kegiatan revegetasi di HLG Landoreang.
One Map Policy:
Ide awalnya karena sering terjadi konflik ruang di lahan gambut atau lahan hutan. Setelah dicermati dengan seksama, penyebab terjadi konflik itu tidak adanya peta ruang yang akurat dan benar. Penggunaan pemetaan yang tidak berdasarkan peta yang sesuai dengan prosedur. Masing-masing departemen atau Kementrian, Pemda menggunakan peta yang tidak esuai dengan ruang atau wilayah yang sebenarnya faktanya pada saat izin dikeluarkan.
Dalam kegiatan untuk melaksanakan One Map Policy diperlukan koordinasi,konsultasi dan integrasi.Sebagian besar waktu dipergunakan untuk merapikan map atau peta yang sudah ada. Berintegrasi dan berkordinasi dengan semua Departemen dan Kementrian  agar tidak terjadi tumpang tindih perizinan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.  Targetnya adalah 34 provinsi, 19 Kementrian. Kesulitan yang dihadapi dalam pemetaan lahan gambut belum adanya metodologi atau metode yang disepakati untuk mengukur ketebalan gambut.Â
Pemetaan Lahan Gambut yang lebih akurat sangat dibutuhkan, namun, kendala utama adalah sumber daya manusia yang ahli, dana besar sekali menjadi halangannya. Oleh karena itu WRI telah menyelenggarakan suatu lomba Pemetaan Gambut berskala internasional dengan "Indonesian Peat Prize". Diharapkan dari pemenang Indonesian Peat Prize, pemetaan lahan gambut yang lebih akurat dapat dipakai untuk meningkatkan kualitas peta gambut akan makin cepat terwujud.
Mari, kita semua baik sebagai masyarakat, mahasiswa maupun Pemerintah berkomitment tinggi untuk menjaga , ikut peran serta dalam  penciptaan peta gambut dan pemanfaatannya karena kegentingan ini sudah harus disadari apabila kita mau peduli dengan solusi cerdas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H