Mohon tunggu...
Dyah Pratitasari
Dyah Pratitasari Mohon Tunggu... profesional -

Full time Mama | Breastfeeding Counsellor | Serves Preggos | Holistic Life Runner | pritazamzam@gmail.com | FB: Dyah Pratitasari | Twitter: @PritaZamZam\r\n

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Kelahiran Joserizal Zam Zam: Sebuah Catatan

14 September 2011   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:58 2397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari gini lairan di rumah? Kayak nggak ada rumah sakit aja, Jeng…”, komentar teman, sambil tertawa.

“Cerita dong, Mbak.. kok bisa memutuskan melahirkan dengan gentle birth? Apa bedanya dengan melahirkan biasa?”, tanya seorang kenalan, dalam emailnya.


Pasca melahirkan Joserizal Zam Zam, anak kedua, pada 10 Maret 2011 lalu, saya menerima cukup banyak tanggapan dan pertanyaan. Sebagian besar dari teman-teman dekat, namun banyak juga dari teman-teman baru, alias yang sebelumnya belum pernah saya kenal, namun mengaku penasaran dengan proses kelahiran Jose. Mereka menghubungi saya melalui email, facebook, dan telepon.

Tulisan ini, dipublikasikan sama sekali bukan dengan maksud membusungkan dada. Melainkan, semata-mata ingin berbagi, berharap jika ada yang baik - bisa diambil manfaatnya. Dan yang tidak baik, menjadi pelajaran kita semua.

Dari water birth ke gentle birth

Gentle birth.

Pada awalnya, konsep ini belum saya kenal sama sekali. Saya justru lebih tertarik pada istilah water birth, yang belakangan banyak diberitakan media sebagai metode persalinan “tanpa” rasa sakit.

Beberapa klinik, rumah sakit di Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia mulai “berbondong-bondong” menyediakan fasilitas ini. Tarifnya pun relatif tinggi, karena diposisikan di atas tarif persalinan spontan (namun masih di bawah tarif persalinan secara operasi).

Fenomena ini, turut menyedot perhatian saya. Seperti gelembung sabun, satu demi satu pertanyaan menggelembung, lalu meletup di atas kepala. Seperti, “Kenapa demam water birth baru muncul belakangan?”, “Bagaimana awal munculnya metode ini?”, “Apa yang membuatnya berbeda dengan persalinan umum?”, dan masih banyak lagi.

Saking penasarannya, saya bersemangat untuk mempelajari lebih jauh, dan menyajikannya dalam ulasan yang lebih komplit dalam sebuah laporan (artikel) untuk media tempat saya bekerja. Beruntung, meskipun belum menjadi keputusan final, ide tersebut diterima.

Observasi dan riset pun mulai.

Secara empiris, water birth memang berperan mengurangi rasa nyeri persalinan. Alasannya, air hangat bersifat membuat rileks, sehingga rasa nyeriyang dirasakan pada saat kontraksi berkurang.

Itu sebabnya, water birth dianggap sebagai salah satu metode alternatif, bagi kalangan yang ingin mengurangi rasa nyeri persalinan - tanpa obat.

Sebagian kalangan juga meyakini, melahirkan di dalam air dapat meminimalisasi trauma persalinan bagi bayi. Alasannya sih, karena saat di dalam rahim, bayi juga "hidup" di dalam air ketuban. Jika dilahirkan di dalam air (yang suhunya dibuat sama dengan suhu tubuh), transisi dari rahim ke dunia menjadi tidak terlalu mengagetkan. Air hangat juga membuat area perineum jadi lebih elastis, sehingga meminimalisasi robekan bagi Ibu.

Nah... pada saat menyelami isu water birth inilah, saya mulai berkenalan dengan berbagai aspek seputar persalinan.

Mulai dari pergeseran cara memandang peristiwa kehamilan dan  persalinan, prosedur dan intervensi medis yang belum tentu diperlukan, evolusi posisi persalinan yang (ternyata) justru menjadi kurang ramah bagi proses persalinan itu sendiri, hingga pendekatan persalinan yang cenderung fokus pada bagaimana membuat ibu lebih nyaman secara fisik saat bersalin; tidak sakit, tidak nyeri, dsb.

Ibu yang melahirkan – dan bayi yang lahir – dengan selamat dan tubuhnya berfungsi  dengan baik, biasanya juga dianggap sudah cukup.

Sementara, bagaimana pengalaman fisik, mental, dan spiritual ibu saat melahirkan, juga bayi itu sendiri saat dilahirkan, seperti terlupakan dan diabaikan. Padahal, bagaimana perlakuan yang dialami bayi dan ibu serta lingkungan tempat ia dilahirkan ternyata sangat berperan terhadap trauma dan ikut menentukan fase kehidupannya kelak. Mulai dari tingkat kesuksesan menyusui, keparahan baby blues atau depresi pasca bersalin, karakter yang terbentuk, gangguan penyakit (fisik dan mental), hingga meningkatnya risiko dalam menyalahgunakan obat dan bunuh diri.

Sekarang, banyak orang juga sudah semakin sadar tentang pentingnya menyusui. Sayangnya, fase-fase yang terjadi sebelum bayinya  lahir belum cukup mendapatkan perhatian. Jadi, konsep gentle birth (atau di Indonesia kurang lebih dikenal sebagai konsep Sayang Ibu Sayang Bayi) ini seperti satu mata rantai yang harusnya nyambung, namun "hilang" dan terlupakan.

Secara pribadi, titik balik pemahaman dan terbukanya paradigma baru adalah ketika saya menonton film "Birth Into being" karya Elena Tonetti, seorang aktivis natural childbirth dari Rusia. Sepanjang film, saya tak henti-hentinya menangis. Beberapa kali, saya bahkan mematikan film untuk sementara waktu, karena tak sanggup melanjutkan. Hati ini seperti diaduk-aduk. Antara terkejut, kagum, haru, hingga sedih yang luar biasa.

Saya baru tahu, bahwa ada perbedaan yang sangat besar antara bayi yang dilahirkan secara lembut, tenang, alamiah, dengan bayi-bayi yang ditangani secara kasar dan dilahirkan secara penuh intervensi.

Bayi yang lahir secara lembut bahkan bisa bereaksi mirip orang yang baru saja bangun tidur; matanya membuka perlahan, raut wajahnya sangat tenang, sorot matanya pun hadir. Ia tetap menangis saat dilahirkan, namun tidak terdengar histeris.

Sementara bayi yang dilahirkan penuh intervensi dan berada dalam suasana panik, atau bising, umumnya menangis melengking dengan nada tinggi, seolah menunjukkan reaksi terkejut, marah, dan sedih.

Yang lebih memprihatinkan, bayi tersebut seringkali masih harus menerima rangkaian prosedur lagi; pemotongan tali pusat saat denyutnya belum berhenti, pembersihan saluran pernapasan menggunakan selang, langsung dimandikan, dipisahkan dari Sang Ibu, dan masih banyak lagi.

Saya juga baru tahu, bahwa teriakan memberi semangat yang dilakukan saat ibu bersalin, omelan, kecemasan dokter, bidan,  suster, suami, ibu mertua, kesedihan, kelelahan yang dialami sang Ibu, semuanya bisa dirasakan oleh bayi, dan terekam kuat dalam pikiran bawah sadarnya, serta dibawa hingga dewasa.

Rupanya... water birth, yang semula menarik perhatian saya, “belum ada apa-apanya”.

Dia hanya sekadar metode.

Sementara hal prinsip yang mendasari proses kehamilan dan persalinan yang ramah jiwa dan minim trauma, yang sering disebut gentle birth (persalinan yang dilakukan secara santun, lembut, mengoptimalkan potensi tubuh Ibu, dan memposisikan ilmu pengetahuan serta kearifan alami secara seimbang) justru jarang diungkap.

Padahal, ia ingin mengembalikan manusia pada “fitrah”-nya, dengan kepercayaan bahwa setiap perempuan memiliki potensi untuk menjalani proses kehamilan dan persalinan dengan aman dan nyaman, serta menjadikan momen-momen tersebut sebagai sarana transformasi ke tingkat spiritual yang lebih tinggi. Asalkan, potensi yang sudah ada di dalam dirinya diberdayakan.

Jadi, esensi gentle birth ini BUKAN untuk menghindari rasa sakit.

Sekadar mencari rasa nyaman.

Apalagi untuk gaya-gayaan.



Tiba-tiba saya menjadi begitu yakin, Allah menjadikan penemuan tersebut sebagai amanah, agar saya menjalaninya. Untuk memperbaiki kekurangan yang ada saat saya hamil dan melahirkan Velma, anak pertama saya, lebih dari lima tahun yang lalu.

Dan mempersembahkannya.

Untuk calon anak kedua di dalam rahim saya: Yang saat itu, usianya baru 9 minggu.

Langkah kecil pun dimulai…

Pendekatan pada Mas Uun, suami saya, mulai berjalan. Hampir setiap malam, “oleh-oleh” yang saya bawa pulang ke rumah untuknya berupa topik-topik mengenai gentle birth, baik itu berupa jurnal penelitian, hasil wawancara dengan responden dan narasumber, cerita mengenai pengamatan saya di lapangan, download-an klip-klip  youtube, juga catatan mengenai judul film-film dokumenter mengenai berbagai aspek persalinan.

Sekali dua kali, ia tidak terlalu menanggapi. Oleh-oleh saya tadi hanya dilihat sekilas, lalu digeletakkannya begitu saja. Tiga kali empat kali, ia mulai mendengar saya bercerita.

Lima kali enam kali, ia mulai berkomentar, “Itu kan di luar negeri… kalau di Indonesia, ngapain? Apa gunanya rumah sakit?”, "Yang penting cari dokter yang OK, rumah sakit high recommended, cukuplah...", "Ah, yang penting anak sama ibunya selamat",  waktu saya melontarkan diskusi bertema melahirkan di rumah - sebagai alternatif jika tidak ada rumah sakit yang bisa memfasilitasi kebutuhan saya.

Suami saya memang tidak langsung mendukung. Saya paham, ia yang cenderung berpikir serba logika, dan berasal dari keluarga medis, perlu banyak waktu untuk merendahkan ego dan mencerna.

Hingga sekitar  sebulan kemudian, jawaban itu hadir bersama senyuman. Rupanya, tanpa saya tahu, diam-diam ia mempelajari “oleh-oleh” yang saya bawakan tadi, dengan sungguh-sungguh. “Kenapa kita baru tahu sekarang ya? Yuk, kita niatin bareng untuk gentle birth! Aku juga mau anak kita lahir dengan pengalaman lahir yang lebih baik. Buat kamu juga”, tuturnya mantap.

Meskipun begitu, kami belum berani memproklamirkan diri untuk melahirkan dalam sebuah kolam air, apalagi, di rumah kami sendiri. Pasalnya, gentle birth adalah persembahan bagi bayi. Jadi, yang kami lakukan selama hamil adalah meminta petunjuk Tuhan, mengajak ngobrol si bayi, memintanya menentukan sendiri, dengan cara apa ia “keluar” dengan nyaman. Menurutnya. Bukan menurut saya, "aturan" di luar sana, atau apa pun.

Saya bersama Mas, hanya sebatas berusaha belajar mendengarkan isyaratnya,  dan berusaha memfasilitasi semua kemungkinan, sebaik mungkin. Mulai dari mengondisikan diri agar kehamilan berjalan sehat dan minim risiko. Seperti menjaga pola makan yang seimbang, olahraga teratur, menekuni yoga (yang semula hanya saya lakukan untuk mengontrol tulang punggung yang skoliosis), belajar menyembuhkan trauma, serta mendalami hypnobirthing. Hingga secara khusus mempelajari ilmu seputar menyusui, juga survei klinik dan rumah sakit setiap akhir pekan.

Sesi relaksasi, afirmasi, visualisasi, menjadi saat-saat istimewa yang mengisi hari-hari kami. Velma, si Kakak, tak ketinggalan berpartisipasi. Biasanya, sambil menunggu si Papa pulang kerja, kami berdua senam, yoga, atau nge-dance bareng. Mulai dari tarian lembut diiringi lantunan shalawat Habib Assegaf, musik instrumental, lagu mantram Gayatri, hingga yang agak "pecicilan" bersama lagu-lagu milik Black Eyed Peas. Velma juga yang menyemangati saya untuk rajin melakukan pelvic rocks, sebagai cara untuk mempermudah membukanya jalan lahir di hari persalinan nanti. Sungguh, saat itu, gentle birth; persalinan yang berjalan lembut, santun, penuh cinta, dan sealamiah mungkin, seolah menjadi sebuah cita-cita yang begitu ingin kami raih.

Manusia berusaha, Tuhan menentukan. Selain yang sudah kami usahakan tadi, selebihnya, semua kami ikhlaskan padaNya. Saya yakin, kalau Allah ridha, dan gentle birth ini memang benar-benar membawa kebaikan bagi bayi kami, bagi kami semua, Ia akan memudahkan…dan mempertemukan kami dengan orang-orang yang sejalan.

...

“Kamu nggak percaya sama dokter?”, tanya seorang kawan.

Tentu saja, percaya.

Sejak awal kehamilan hingga H-1 persalinan, saya mempercayakan perawatan antenatal pada seorang dokter wanita, yang dulu menangani kehamilan dan persalinan Velma. Ia seorang dokter senior yang sabar, dan sangat pro-kelahiran normal. Obat dan suplemen pun, tidak akan ia resepkan jika saya tidak memerlukan.

Soo… kurang apa lagi?

beberapa referensi menyebutkan, awal mula bergesernya paradigma kita tentang kesehatan - termasuk persalinan, evolusi posisi bersalin, serta aspek lain yang menyertainya- sedikit banyak disebabkan oleh “dosa awal” Descartes, seorang cendekia yang memilah tubuh manusia dan mempelajarinya sedetil mungkin, dengan paradigma ilmu eksakta. Tubuh manusia pun, sejak itu, mulai dipandang seperti mesin, seolah bisa dipreteli satu per satu. Nilai tubuh manusia menyusut. Terpisah-pisah antara mind, body, dan spirit-nya.

Berkaca pada pengalaman melahirkan Velma, di rumah sakit, secara pribadi saya merasa lingkungannya kurang kondusif untuk gentle birth karena rumah sakit seolah dirancang untuk “melakukan tindakan”, dan semua sudah memiliki sistem yang baku. Saat saya datang pagi, sekian jam belum ada pembukaan yang cukup, prosedur selanjutnya adalah induksi. Sekian jam lewat, jika target induksi tidak tercapai, prosedur lainnya sudah menanti. Dokter saya pro-normal, namun ia tidak stand by di rumah sakit. Ia baru hadir saat pembukaan sudah lengkap. Sementara lingkungan tempat saya menghabiskan pembukaan demi pembukaan tersebut sangat tidak bersahabat. Mulai dari suasana yang dingin, perawat yang bolak-balik, suara rintihan dan teriakan pasien sebelah, hingga ledekan dari bidan saat saya meneteskan air mata, teringat almarhum Mama. "Belum apa-apa kok udah nangis sih, Bu...," tuturnya. Meski, saya tahu, niatnya hanya becanda. Saya juga salah. Karena kurang ilmu, sudah kadung panik dan buru-buru nginep di rumah sakit walau masih pembukaan tiga. Akibatnya, saya terintimidasi waktu. Saya juga tidak siap dengan sensasi demi sensasi yang hadir dari tubuh saya sendiri. Karena stres, pembukaan berjalan lambat. Kekecewaan saya bertambah manakala saya tahu, Velma tidak menjalani IMD dengan benar. Ia juga diberi susu formula tanpa sepengetahuan kami, saat berada di ruang bayi.

Menjelang kelahiran kelahiran Jose, anak kedua, saya memeriksakan diri ke RS. Meskipun saat itu sudah mempersiapkan diri terhadap kemungkinan melahirkan di rumah, dan membuat birth plan berisi to do list terhadap berbagai macam kemungkinan -termasuk kondisi darurat- faktanya saya masih bermaksud menjadikan rumah sakit langganan sebagai pilihan pertama.

Ternyata dokter saya sedang ada acara di luar kota. Saya memeriksakan diri ke dokter lain yang ada. Waktu itu, berdasarkan pemeriksaan USG, ia mengatakan bahwa cairan ketuban saya masih banyak dan jernih, plasenta bagus, tidak ada lilitan tali pusat, posisi bayi sudah masuk rongga panggul, detak jantung bayi normal dan stabil, begitu juga dengan tekanan darah saya. semua OK. Ia mengatakan “semua baik-baik saja”, namun menariknya, di saat yang sama melarang  saya untuk pulang. Menurutnya, kondisi saya akan dikonsultasikan terlebih dahulu ke dokter yang biasa memeriksa saya. “Siapa tahu beliau minta Anda diinduksi, karena sekarang sudah HPL dan bayi belum lahir juga”, jelasnya.

Saya menunggu. Dokter saya di ujung sambungan telepon pun memberi wacana untuk menunggu. "Sekarang hari Rabu. Saya pulang Sabtu. Semoga kita berjodoh ya, Bu..", tuturnya. Ia mengijinkan saya untuk pulang.

Sementara, dokter jaga memberikan gambaran untuk induksi sekarang. Katanya, "Nunggu apa lagi? Toh beratnya sudah cukup. Kalau terlambat lahir, ketuban keruh, fungsi plasenta menurun, efeknya nggak baik buat bayi".

Maksudnya memang baik. Tapi caranya menyampaikan, membuat saya merasa seperti sedang diintimidasi. Seolah bayi saya harus lahir sekarang. Seolah saya tidak boleh menunggu waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan. Mendengarnya, hormon oksitosin saya merosot drastis.

Dari beberapa referensi yang saya baca, HPL adalah perkiraan teknis. Jika kondisi ibu dan bayi baik, kehamilan masih bisa ditunggu sambil terus dipantau, hingga berusia 42 minggu.

Berangkat dari kondisi itulah saya merasa, jika kita melahirkan di RS, persalinan cenderung dipandang sebagai peristiwa medis-biologis. Mungkin, karena paradigmanya serba darurat dan "if anything can go wrong".

Sementara pada konsep gentle birth, saya belajar bahwa pada dasarnya, persalinan merupakan peristiwa alamiah. Saya belajar bahwa menjalani proses sama pentingnya dengan menerima hasil. Sama seperti saya percaya bahwa tubuh saya sudah didisain untuk melahirkan dan menyusui, bayi saya bukan benda mati dan ia  juga ikut berjuang, dan nyeri kontraksi merupakan pertanda bahwa tubuh saya bekerja dengan baik. Saya percaya setiap fase yang akan saya jalani nanti, memiliki manfaat dan makna tersendiri yang berpengaruh terhadap kehidupan  saya pribadi, suami, anak saya.

Di saat yang sama, saya juga belajar bahwa setiap persalinan memiliki risiko. Itu sebabnya, saya tidak keberatan menerima intervensi apapun. Jika kondisi kami memang memerlukan.

Inilah yang membuat kami merasa tidak berada pada visi yang sama, dan mulai memikirkan plan lain kami, yaitu kemungkinan melahirkan di rumah. Lagipula, berdasarkan hasil pemeriksaan terakhir, kehamilan saya termasuk yang berisiko rendah. Meskipun demikian, kami tetap berjaga-jaga dengan beberapa plan cadangan, seperti menyiapkan bidan yang berdomisili dekat rumah, jalur evakuasi darurat, kendaraan dalam kondisi bensin full tank, menyiagakan adik sepupu di rumah untuk jadi supir, dan memesan kamar di salah satu rumah bersalin terdekat.

Jodoh memang nggak kemana…

Banyak yang bertanya, “Bidannya dari Klaten? Jauh amat!"

"Kayak nggak ada yang dekat aja!"

"Gimana tuh cara ngepasin waktunya?”

Sejujurnya, saya pun tidak punya trik apa-apa atau usaha khusus untuk "ngepasin" waktu, antara datangnya bidan dengan kelahiran bayi. semua terjadi begitu saja.. seperti serba kebetulan.

Yang saya tahu, sejak hamil, kami hanya selalu meminta si adik menentukan sendiri juga, dengan siapa kelak ia ingin mamanya dibantu melakukan persalinan. "Mau lairan sama tante siapa, Dik... kasih tau Mama, bantu Mama juga ya..", begitu ucapan saya padanya. Tentu saja, dibarengi dengan doa kepada Tuhan, agar kami diberi kemudahan membaca petunjukNya. (btw, belajar meditasi, relaksasi hypnobirthing, ternyata membantu juga membuat saya lebih connected dengan batin saya sendiri).

Jakarta, 9 Maret 2011.

Usai memeriksakan diri ke dokter, di H-1 tadi, saya iseng-iseng mengirim SMS pada Mbak Yesie, seorang bidan dari Klaten, yang juga praktisi hypnobirthing dan mendalami gentle birth. Saya kabarkan tentang kondisi saya berdasarkan hasil USG dan CTG saat itu. Ternyata, Mbak Yesie sedang dalam keadaan luang, dan menyatakan kesanggupannya ke Jakarta.

Meskipun gembira, hal itu justru membuat saya termangu, ragu, lumayan lama.

Beberapa pertanyaan seperti, “Benarkah dia jodoh saya? Yang dipilih Tuhan? Dan diinginkan si adik? Benarkah pilihan yang kami ambil?”, bergantian melintas di kepala.

Masih di rumah sakit, usai shalat, saya bermunajat. “Allah, jika memang ia yang Engkau pilihkan untuk kami, jika ia memang yang baik untuk mendampingi kelahiran adik, jika memang adik bayi memilihnya, mudahkanlah. Kalau tidak, maka beri kami kemudahan dalam mencerna petunjukmu..”

Lama saya tergugu.

Dalam keheningan, kemantapan itu datang.

Tak lama kemudian, Mbak Yesie mengabarkan. Bahwa ia sudah memperoleh tiket ke Jakarta.

Malam itu juga, pukul 23.00 WIB.

Saya dan Irwan menjemput Mbak Yesie di depan Citos. Tiba di rumah, Mas  dan Mbak Yesie langsung memompa gymnastic ball, sementara saya sibuk menyiapkan kamar, mengelap permukaan kolam karet, menyetel musik, dan menyalakan lilin aromaterapi.

Sekitar pukul 00.30,

Kontraksi sudah 5 menit sekali, dengan durasi masing-masing sekitar 40 detik. Waktu diperiksa, ternyata sudah pembukaan dua. Jika dulu saya menghadapinya dengan deg-degan, entah kenapa, sekarang rasanya justru berbunga-bunga.

Setelah shalat, saya dan Mas menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik, bermeditasi, sambil melakukan afirmasi dan visualisasi. Sambil tiduran, kami mengobrol, bercanda, sambil berpelukan. Alhamdulillah, saya pun ketiduran.

Ketika nyeri kontraksi berganti sensasi “lain”

Pukul 03.10, saya terbangun karena mulai merasakan sensasi lain.

Insting saya berkata, sudah waktunya.

Mas membangunkan Mbak Yesie. Saya pun duduk di gym ball – dipeluk Mas dr belakang- sambil melakukan pelvic rocks, berbicara pada bayi, sekaligus bervisualisasi tentang membukanya jalan lahir. “Bergoyang Inul” di atas gym ball tanpa henti, ternyata capek juga. Saya sempat kehausan, tenggorokan terasa keriiingg... dan menghabiskan 2 cangkir teh manis hangat :D

Pukul 03.40, Mbak Yesie meminta saya untuk mandi dan keramas. Mendengarnya, saya sempat bertanya-tanya. Serius? Jam segini disuruh mandi? Mbak Yesie hanya berkata, "Yah... kan mau ketemu tamu istimewa. Masa badannya keringetan begitu".

Tapi, saya ikuti saja. Belakangan, saya tahu bahwa secara filosofi, tujuannya adalah untuk “membersihkan diri” menyambut bayi, makhluk yang suci. Mandi juga berperan membuat rileks, membuka cakra di tubuh kita sehingga chi atau aliran energi berjalan lancar. Efeknya, diharapkan persalinan juga berlangsung lancar.

Ternyata benar. Baru selesai mandi dan hendak kembali ke kamar, nyeri kontraksi berganti sensasi lain. Kaki saya gemetar. Saya yang waktu itu sedang berdiri, merasakan bahwa lutut seolah spontan menekuk, sulit ditahan. Saya memutuskan  duduk di closet, dan pada saat itulah terasa seperti ada dorongan dari dalam, dan air hangat mengalir dari kedua selangkangan. Ketuban saya pecah.

Usai  membersihkan diri, saya kembali masuk ke kamar., dan mengatakan bahwa ketuban baru saja pecah. Mbak Yesie mengadakan pemeriksaan dalam, ternyata pembukaan sudah lengkap!

Waduh.. ternyata prosesnya berjalan lebih cepat dari yang saya bayangkan.

Teorinya kan, saya masuk kolam pada sekitar pembukaan 5 atau 6, supaya bisa merasakan rileksnya berendam di air hangat. Lah, ini... rileks juga... tau-tau pembukaan 5 dan 6 malah sudah terlewatkan.

Ternyata, memang (bisa) tidak perlu mengejan..  sama sekali!

Saya pun segera masuk ke kolam.

Mbak Yesie mempersilakan saya memposisikan diri dengan nyaman.

Begitu nyemplung, insting saya menuntun untuk mengambil posisi merangkak-berlutut sambil bersandar pada pinggiran kolam. Usai menyiapkan kamera, Mas ikut masuk ke kolam dan menempatkan dirinya di belakang saya, kembali mempraktikkan endorphin massage. Ia mengelus punggung dan memeluk saya dari belakang. Begitu damai, menenangkan.

Sekitar 5 menit setelah masuk kolam, perlahan-lahan saya merasakan kepala bayi mulai turun, turun..turun lagi… dan terasa menampakkan sebagian ujungnya di liang vagina (crowning). Saat itulah, demi kemudahan menerima bayi yang meluncur sebentar lagi, saya mengubah posisi, dari berlutut menjadi setengah duduk, dengan punggung bersandar pada pinggiran kolam.

Saat itu, kami membuktikan sendiri bahwa bayi ternyata punya kemampuan untuk keluar secara alami, sehingga saya tidak perlu mengejan, sama sekali.

Yang saya lakukan hanya bernapas dan terus berusaha rileks, karena semakin rileks, terasa sekali ia keluar semakin lembut. Bayi dan tubuh kita, bisa saling bekerjasama.

10 Maret 2011, pukul 04.20

13952442331058436046
13952442331058436046

Jose, bayi seberat 3,5 kg dan panjang 49 cm itu,  meluncur keluar dengan mulusnya. Ia diterima oleh Mbak Yesie, berenang-renang sebentar di dalam air, kemudian segera diberikan kepada saya untuk didekap, dan menyusu. Tali pusatnya masih menjuntai…terhubung dengan plasenta yang masih berada di dalam perut, menunggu kelahirannya sendiri.

Saat itulah, saya berkesempatan mengalami sendiri momen demi momen yang sebelumnya hanya saya temukan di televisi atau youtube. Juga mengalami fase demi fase IMD yang selama ini hanya bisa saya saksikan via video laktasi. Jose menjalani IMD selama lebih dari 2 jam, dan bisa menyaksikan tahap demi tahapnya terfasilitasi itu... rasanya sungguh sulit dilukiskan. Teramat sangat menakjubkan. Keajaiban Tuhan.

Awalnya, kami berencana agar tali pusat bayi tidak dipotong sama sekali. Namun berhubung tali pusar Jose terhitung pendek, plasenta saya mengalami perlengketan (sehingga sudah terbuka dan menjadi lebih rentan terhadap infeksi), maka yang kami lakukan adalah menunda pemotongannya saja.

Tali pusat tersebut kami potong dengan cara dibakar menggunakan lilin (burning cord).  Metode ini diperkenalkan oleh Ibu Robin Lim, dan menjadi metode yang dipraktikkan di lokasi darurat (tidak ada gunting, atau minim peralatan steril). Seperti plastik yang terkena api, semua jaringan pada tali pusat yang dipotong dengan cara dibakar akan menutup dan mengunci sempurna. Cara merawatnya hanya dengan dibungkus (longgar) menggunakan kasa steril dan dijaga agar tetap kering dan bersih. Ternyata, dengan cara ini, tali pusatnya puput lebih cepat, dan alhamdulillah, tidak ada masalah.

Apa bedanya dengan kelahiran anak pertama?

Pada persalinan pertama, karena fase persalinan dinilai lambat, saya diinduksi. Waktu itu, setelah induksi, yang paling terasa adalah “putusnya hubungan” antara saya dengan tubuh saya sendiri. Jadi, saya seperti tidak menjalani persalinan dengan sadar.

Saat merasakan nyeri kontraksi, satu-satunya hal yang bisa saya rasakan hanyalah sakit dan karena itu, saya ingin cepat-cepat selesai, “Terserah deh, dokternya mau ngapain, badan saya mau diapain, yang penting bayi cepet keluar, selamat, sudah”.

Secara tidak sadar, saya menyerahkan kekuatan dan otonomi atas tubuh saya kepada pihak lain, yang saya anggap lebih tahu, lebih canggih, lebih “menjamin”.

Sedangkan pada persalinan kedua, kami (saya, Mas, dan Velma), masing-masing berproses sebagai individu, dan menjalani prosesnya –sejak hamil – dengan penuh kesadaran. Pengetahuan kami juga sudah lebih banyak daripada dulu.

Ini membuat kami lebih paham dengan yang terjadi pada tubuh itu sendiri, sehingga tahu cara menyikapinya. Saat nyeri kontraksi misalnya, kami paham bahwa itu menandakan bahwa mekanisme tubuh sedang mempersiapkan jalan keluarnya bayi, sehingga saya pun harus “bekerjasama” agar mekanisme tubuh akan berjalan dengan lancar, dan semua proses alamiah (produksi hormon, kontraksi otot, dsb) terjadi dengan baik. Jose juga lahir dengan kecepatannya sendiri. Tidak ada pemisahan di masa-masa awal kelahiran, tidak ada yang memberinya susu formula diam-diam :)

Dua kali melahirkan dengan cara yang sangat berbeda, membuat saya belajar banyak tentang perbedaan yang ada.

Meskipun sempat sedih dan terbersit rasa bersalah pada Velma, tidak ada yang perlu disesalkan pada pengalaman kelahiran anak pertama.Karena dari situlah, saya justru bisa berkaca, membaca kekurangan, dan termotivasi untuk membayarnya, mulai sekarang. Velma berjasa besar dalam membuka pintu perjalanan kami selanjutnya.

Seperti pengalaman yang saya peroleh dari kelahiran Jose. Gentle birth merupakan titik balik bagi saya, menjadi langkah awal sekaligus modal dalam  bertransformasi. Tentang menjalani hidup. Tentang menjadi manusia. Tentang kehidupan.  Tentang berproses, dari kepompong menjadi kupu-kupu. Terutama dalam menjalani peran sebagai ibu.

Kalaupun ada yang membuat saya merasakan perbedaan dari Velma dan Jose, saya tidak ingin memberi label bahwa itu karena gentle birth atau bukan. Saya percaya, mereka memiliki keistimewaannya masing-masing.

Yang jelas, sejak lahir, Jose sama sekali tidak kuning, meskipun tidak dijemur (awal2 dia lahir, matahari ngumpet melulu). Meskipun tidak menjalani pembersihan saluran pernapasan, ternyata ia mampu mengeluarkan sisa-sisa lendir dan cairannya sendiri, beberapa jam seusai lahir. Ia juga sangat tenang, sama sekali tidak rewel. Jadi, sejak ia lahir hingga tulisan ini dibuat, tidak ada episode begadang sama sekali. Kalaupun menangis, sebabnya langsung bisa dikenali: karena sangat lapar, popoknya basah, atau diisengi si Kakak :)

Menurut pengamatan kami, Jose juga bayi yang penuh “kesadaran”. Ia juga sangat mudah “diberitahu” dan diajak bekerjasama. Mulai dari hal-hal yang sederhana seperti memintanya tidur lagi saat ia terbangun di malam hari, hingga melakukan suatu hal, yang bagi kami, lumayan “ajaib”.

Saat ia batuk-batuk beberapa waktu lalu, misalnya, kami bisikkan di telinganya, “Adik… batuk itu tujuannya bikin dahak di dalam badan keluar. Batuk pelan-pelan ya.. terus kalau sudah berhasil terkumpul di mulut, telan dahaknya, biar nanti keluar lewat pup”. Percaya tidak percaya… ia bisa melakukannya, persis seperti yang kami instruksikan, dengan baik. Alhamdulillah, tanpa perlu waktu lama, ia sudah fit kembali.

No pain, no gain!

“Ooo.. jadi, melahirkannya masih tetep ngerasain nyeri ya, Mbak?”, tanya seseorang.

Pada titik ini, saya menjadi percaya dan paham bahwa ketika Tuhan menciptakan sesuatu, itu pasti ada tujuanya.

Begitu juga dengan rasa sakit atau nyeri di tubuh kita pun, berperan sebagai “alarm”, yang menandakan bahwa ada mekanisme tubuh yang sedang bekerja.

Mematikan alarm secara sewenang-wenang, apalagi tanpa mengetahui sebab dan risikonya, sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, mungkin justru mengundang permasalahan baru. Jadi, untuk apa menghindari rasa sakit yang sejatinya justru menandakan bahwa tubuh kita sedang menjalankan fungsinya dengan baik?

Mungkin, yang perlu kita lakukan adalah, belajar memahami apa yang terjadi dengan diri kita sendiri selama hamil. Apa yang terjadi pada proses persalinan, juga segala aspek yang ada di dalamnya. Jika sudah belajar, kita akan tahu bahwa nyeri kontraksi, misalnya, merupakan mekanisme alami yang diperlukan rahim untuk mengeluarkan bayi. Jika kontraksi makin sering, artinya si ibu akan segera bertemu bayi.

Dengan memahaminya dengan kacamata berbeda, cara memandang rasa sakitnya akan berbeda.

Berita baiknya (eh.. atau buruk ya? ).. Nyeri akan tetap ada.

Meskipun demikian, ia tidak terasa menyakitkan.

Bahkan menjadi sesuatu yang bisa dinikmati, dan ditunggu-tunggu! ;)

“Tapi… kayaknya semua itu hanya bisa dilakukan kalau kita melahirkan di rumah ya?”

Ah, kata siapa?

Gentle birth didasari keyakinan bahwa setiap perempuan memiliki potensi untuk menjalani proses melahirkan sealamiah mungkin, tenang, dan nyaman. Ia mengajarkan perempuan untuk menyatu, mempercayai isyarat tubuh, serta meyakini bahwa tubuh mampu berfungsi sebagaimana mestinya sehingga komplikasi bisa ditekan serendah mungkin, bahkan dihindari.

Asalkan prinsip2 gentle birth dipenuhi, metode persalinannya bisa apa saja kok. Mau di air, di atas ranjang, di rumah, klinik, maupun di rumah sakit.  Bahkan, jika kondisi memang mengharuskan seorang ibu menjalani operasi sesar, prinsip gentle birth tetap bisa diterapkan (jadi perlu dicatat ya, bahwa jalan yang saya tempuh dalam melahirkan di rumah, secara water birth, adalah metode yg bersifat pilihan pribadi. Cocok buat saya, belum tentu cocok buat orang lain. Dan... homebirth atau waterbirth, BUKAN berarti bisa langusng didefinisikan sebagai gentle birth).

Mengutip ucapan Dr Hariyasa Sanjaya, SpOG, dokter kandungan yang juga aktivis persalinan alami (dalam Laporan Khusus Majalah Nirmala, Desember 2010), tanpa menjadi alergi terhadap perkembangan teknologi dan dunia medis, yang penting kita paham bahwa ketika hamil dan melahirkan, yang memegang kendali dan menentukan nasib tubuh kita, sesungguhnya adalah kita sendiri. Bukan dokter, bidan, perlengkapan serba modern, maupun teknologi canggih. Itu sebabnya, kita wajib memberdayakan diri, dengan ilmu, keterampilan, dan menjadikan tenaga kesehatan sebagai tim yang bekerja harmonis.

Tetaplah memeriksakan kehamilan ke dokter atau bidan, namun jangan lupa untuk banyak belajar berbagai informasi dan memberdayakan diri.

Apapun pilihannya nanti, lakukan dengan penuh kesadaran.

Bukan semata-mata karena “yang lain juga begitu”, sekadar mengikuti "kebenaran warisan", alias sesuatu yang sudah menjadi “hal biasa” di sekitar kita.

Niatkan, persiapkan, dan usahakan.

Persalinan yang aman, ramah jiwa, dan minim trauma itu... layak untuk diperjuangkan.

:)

------------------------------------------------------

Bacaan dan film menarik terkait gentle birth:

http://www.psychologytoday.com/blog/the-trauma-addiction-connection/201109/are-we-born-trauma

http://www.birthtraumaassociation.org.uk/what_is_trauma.htm

https://birthpsychology.com/free-article/birth-origins-violence-introduction

http://www.eheart.com/cesarean/emerson.html

http://www.ehps.net/ehp/issues/2009/v11iss2_June2009/EHP_June09_Ayers.pdf

https://www.youtube.com/watch?v=KvljyvU_ZGE

https://www.youtube.com/watch?v=e2kLpHo3__0

https://www.youtube.com/watch?v=rR-SroU-Y2Y

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun