Tiba-tiba saya menjadi begitu yakin, Allah menjadikan penemuan tersebut sebagai amanah, agar saya menjalaninya. Untuk memperbaiki kekurangan yang ada saat saya hamil dan melahirkan Velma, anak pertama saya, lebih dari lima tahun yang lalu.
Dan mempersembahkannya.
Untuk calon anak kedua di dalam rahim saya: Yang saat itu, usianya baru 9 minggu.
Langkah kecil pun dimulai…
Pendekatan pada Mas Uun, suami saya, mulai berjalan. Hampir setiap malam, “oleh-oleh” yang saya bawa pulang ke rumah untuknya berupa topik-topik mengenai gentle birth, baik itu berupa jurnal penelitian, hasil wawancara dengan responden dan narasumber, cerita mengenai pengamatan saya di lapangan, download-an klip-klip youtube, juga catatan mengenai judul film-film dokumenter mengenai berbagai aspek persalinan.
Sekali dua kali, ia tidak terlalu menanggapi. Oleh-oleh saya tadi hanya dilihat sekilas, lalu digeletakkannya begitu saja. Tiga kali empat kali, ia mulai mendengar saya bercerita.
Lima kali enam kali, ia mulai berkomentar, “Itu kan di luar negeri… kalau di Indonesia, ngapain? Apa gunanya rumah sakit?”, "Yang penting cari dokter yang OK, rumah sakit high recommended, cukuplah...", "Ah, yang penting anak sama ibunya selamat", waktu saya melontarkan diskusi bertema melahirkan di rumah - sebagai alternatif jika tidak ada rumah sakit yang bisa memfasilitasi kebutuhan saya.
Suami saya memang tidak langsung mendukung. Saya paham, ia yang cenderung berpikir serba logika, dan berasal dari keluarga medis, perlu banyak waktu untuk merendahkan ego dan mencerna.
Hingga sekitar sebulan kemudian, jawaban itu hadir bersama senyuman. Rupanya, tanpa saya tahu, diam-diam ia mempelajari “oleh-oleh” yang saya bawakan tadi, dengan sungguh-sungguh. “Kenapa kita baru tahu sekarang ya? Yuk, kita niatin bareng untuk gentle birth! Aku juga mau anak kita lahir dengan pengalaman lahir yang lebih baik. Buat kamu juga”, tuturnya mantap.
Meskipun begitu, kami belum berani memproklamirkan diri untuk melahirkan dalam sebuah kolam air, apalagi, di rumah kami sendiri. Pasalnya, gentle birth adalah persembahan bagi bayi. Jadi, yang kami lakukan selama hamil adalah meminta petunjuk Tuhan, mengajak ngobrol si bayi, memintanya menentukan sendiri, dengan cara apa ia “keluar” dengan nyaman. Menurutnya. Bukan menurut saya, "aturan" di luar sana, atau apa pun.
Saya bersama Mas, hanya sebatas berusaha belajar mendengarkan isyaratnya, dan berusaha memfasilitasi semua kemungkinan, sebaik mungkin. Mulai dari mengondisikan diri agar kehamilan berjalan sehat dan minim risiko. Seperti menjaga pola makan yang seimbang, olahraga teratur, menekuni yoga (yang semula hanya saya lakukan untuk mengontrol tulang punggung yang skoliosis), belajar menyembuhkan trauma, serta mendalami hypnobirthing. Hingga secara khusus mempelajari ilmu seputar menyusui, juga survei klinik dan rumah sakit setiap akhir pekan.