Mohon tunggu...
Dyah Pratitasari
Dyah Pratitasari Mohon Tunggu... profesional -

Full time Mama | Breastfeeding Counsellor | Serves Preggos | Holistic Life Runner | pritazamzam@gmail.com | FB: Dyah Pratitasari | Twitter: @PritaZamZam\r\n

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Kelahiran Joserizal Zam Zam: Sebuah Catatan

14 September 2011   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:58 2397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Observasi dan riset pun mulai.

Secara empiris, water birth memang berperan mengurangi rasa nyeri persalinan. Alasannya, air hangat bersifat membuat rileks, sehingga rasa nyeriyang dirasakan pada saat kontraksi berkurang.

Itu sebabnya, water birth dianggap sebagai salah satu metode alternatif, bagi kalangan yang ingin mengurangi rasa nyeri persalinan - tanpa obat.

Sebagian kalangan juga meyakini, melahirkan di dalam air dapat meminimalisasi trauma persalinan bagi bayi. Alasannya sih, karena saat di dalam rahim, bayi juga "hidup" di dalam air ketuban. Jika dilahirkan di dalam air (yang suhunya dibuat sama dengan suhu tubuh), transisi dari rahim ke dunia menjadi tidak terlalu mengagetkan. Air hangat juga membuat area perineum jadi lebih elastis, sehingga meminimalisasi robekan bagi Ibu.

Nah... pada saat menyelami isu water birth inilah, saya mulai berkenalan dengan berbagai aspek seputar persalinan.

Mulai dari pergeseran cara memandang peristiwa kehamilan dan  persalinan, prosedur dan intervensi medis yang belum tentu diperlukan, evolusi posisi persalinan yang (ternyata) justru menjadi kurang ramah bagi proses persalinan itu sendiri, hingga pendekatan persalinan yang cenderung fokus pada bagaimana membuat ibu lebih nyaman secara fisik saat bersalin; tidak sakit, tidak nyeri, dsb.

Ibu yang melahirkan – dan bayi yang lahir – dengan selamat dan tubuhnya berfungsi  dengan baik, biasanya juga dianggap sudah cukup.

Sementara, bagaimana pengalaman fisik, mental, dan spiritual ibu saat melahirkan, juga bayi itu sendiri saat dilahirkan, seperti terlupakan dan diabaikan. Padahal, bagaimana perlakuan yang dialami bayi dan ibu serta lingkungan tempat ia dilahirkan ternyata sangat berperan terhadap trauma dan ikut menentukan fase kehidupannya kelak. Mulai dari tingkat kesuksesan menyusui, keparahan baby blues atau depresi pasca bersalin, karakter yang terbentuk, gangguan penyakit (fisik dan mental), hingga meningkatnya risiko dalam menyalahgunakan obat dan bunuh diri.

Sekarang, banyak orang juga sudah semakin sadar tentang pentingnya menyusui. Sayangnya, fase-fase yang terjadi sebelum bayinya  lahir belum cukup mendapatkan perhatian. Jadi, konsep gentle birth (atau di Indonesia kurang lebih dikenal sebagai konsep Sayang Ibu Sayang Bayi) ini seperti satu mata rantai yang harusnya nyambung, namun "hilang" dan terlupakan.

Secara pribadi, titik balik pemahaman dan terbukanya paradigma baru adalah ketika saya menonton film "Birth Into being" karya Elena Tonetti, seorang aktivis natural childbirth dari Rusia. Sepanjang film, saya tak henti-hentinya menangis. Beberapa kali, saya bahkan mematikan film untuk sementara waktu, karena tak sanggup melanjutkan. Hati ini seperti diaduk-aduk. Antara terkejut, kagum, haru, hingga sedih yang luar biasa.

Saya baru tahu, bahwa ada perbedaan yang sangat besar antara bayi yang dilahirkan secara lembut, tenang, alamiah, dengan bayi-bayi yang ditangani secara kasar dan dilahirkan secara penuh intervensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun