Pagi itu, asap di dapur mengepul, sisa-sia di atas genting masih beradu dengan lembabnya tetesan embun. Kayu bakar menyala dilahap api, beberapa sudah menjadi bara yang penuh kemerahan. Â Mbok Sinap menuangkan air ke dalam dandang, setiap pagi ia menanak nasi dan menghangatkan air untuk membuat kopi. Suami dan anaknya akan segera ngomel kalau kopi belum tersedia di meja dapur di pagi hari.
"Jangan pernah kau tanya lagi soal itu, aku dan bapakmu wis ndak mau bahas sesuatu yang ndak jelas jluntrungannya." Ucap Mbok Sinap kepada Kabul.
"Lah, tapi Paimo sampean kasih tahu, katanya kalau kamu mau tahu tentang cerita itu, kamu tanya sendiri sama Mbok!" Kabul menirukan apa yang dikatakan kakaknya; Paimo.
"Jangan main rahasia-rahasiaan toh Mbok. Aku sudah gedhe, aku juga pingin kayak teman-teman." Kabul merengek
Mbok Sinap tetap saja tak menghiraukan keinginannya itu.
Sejak umur dua tahun Kabul sudah dalam keadaan terkhitan kemaluannya. Tidak ada yang tahu, bahkan keluarganya, apalagi Ibunya tak merasa menyunatkannya. Tetapi ujung kepalanya sudah terbuang dan seperti bekas gigitan, namun rapi. Sejak itu Kabul seperti sudah sunat.
Teman-temannya yang mengetahui kejadian itu, mengejeknya, karena tidak sunat ke Dokter seperti teman-teman yang lain. Apalagi bentuk lingkar bekas sunatnya semakin hari semakin aneh, seperti ada garis yang tak beraturan dan berwarna hitam melingkar. Padahal ia sudah berumur sembilan tahun, tetapi kemaluannya belum juga membentuk sempurna seperti pada umumnya.
Sempat ada yang menyarankan untuk pergi ke Mbah Dalijo, salah satu dukun sepuh di ujung desa Jampilan. Ia adalah orang yang weruh sak durunge winarah, dan pasti mengetahui apa yang terjadi kepada kemaluannya Kabul. Di lain pihak menyarankan untuk ke dokter saja, lebih aman, dan di tempat praktek dokter pasti peralatannya lengkap. Untuk sekadar mendeteksi kepala kemaluannya Kabul.
_________________
Suatu Ketika, Pak Samin; Bapaknya Kabul mengajak Paimo mencari kayu bakar ke hutan. Saat itu Kabul Masih berada di dalam perut Mbok Sinap, dan sekitar berumur tujuh bulan. Seperti biasa, Pak Sarmin mengumpulkan ranting-ranting kering yang jatuh. Kadang juga memanjat beberapa pohon yang salah satu cabangnya mati makong; istilah untuk kayu yang mati tapi tak patah atau jatuh ke tanah. Dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya, Pak Sarmin merasa tidak ada yang aneh, namun setelah turun dari Pohon Mindi, ia merasa kakinya menginjak sesuatu yang basah dan lengket.
Setelah dilihat ternyata ada hewan melata yang kena injak, seperti cicak, tetapi memiliki sayap dan bulu yang lebat. Semenjak kecil Pak Sarmin belum pernah menjumpai hewan seperti itu. Ia memanggil Paimo, memintanya untuk menguburkan hewan yang terkena injak tadi, sebenarnya belum mati, nafasnya tersengal-sengal, dapat di lihat dari bagian bawah hewan itu, seperti membulat dan kadang kala kempes lalu bulat penuh lagi, begitu seterusnya.
Karena Pak Sarmin tak tega, kemudian ia berniat memenggalnya, tetapi justru mleset, ada angin kencang dan membuat salah satu ranting patah dan mengenai tangan pak Sarmin. Sabetan sabitnya tak mengenai kepala hewan itu, melainkan ujung ekornya yang seperti bulan dan bundu, ada luka namun tak sampai patah, cuil sedikit. Ada bercak darah di sabitnya. Namun setelah membersihkan sabitnya, hewan itu hilang entah kemana. Paimo mencarinya, namun tak melihat tanda keberadaannya.
"Mlayu nandi mau le...." Tanya Pak Sarmin
"Sak elingku rene pak" sambil menunjuk ke belakang pohon mindi.
Setelah lama mencari namun tak menemukannya juga, akhirnya mereka mengumpulkan ranting dan pohon-pohon kering. Kemudian segera pulang. Pak Sarmin menceritakan kejadian tersebut ke istrinya. Namun istrinya yang sudah ngambek karena sebelum Pak Sarmin berangkat tadi tidak mau memakan sarapan yang sudah disiapkan oleh Mbok Sinap. Ia tak tertarik mendengarkan cerita itu.
Cerita itu akhirnya menguap dan, baik Pak Sarmin, Paimo dan Mbok Sinap sudah hampir tak mengingatnya. Bahkan bisa jadi ada di tumpukan paling bawah di almari memori-memorinya.
______________
"Paling kemaluanmu itu dimakan tikus curut Bul, Ketika kamu masih bayi?" Entah dari mana Paiman memiliki pemikiran tersebut,
"Nggak onok tikus ndek omahku, apalagi yang punya crutu kayak katamu itu," kata Kabul
"Curut, Bul, wadah, kupinge budek iki." Paiman jengkel
"Biarin wis, kepala kemaluanku sendiri kok, ia juga tak berubah, air kencingnya juga lancar, bahkan juga tak pernah kecing batu. Jadi biarin, saja." Kata Kabul
"Tapi bentuknya ndlawer gitu, seperti ada kain sobek yang melindungi kepalanya, compang-camping." Imbuh Paiman
"Nanti kalau sudah Madrasah, tak betulkan ke pak Mantri. Aku takut suntik,"
"Hah, wis sunat aja lagi, biar bagus bentuknya,"
"Jangan asal sunat, bisa ditangkap nanti?"
"Siapa yang nangkap?"
"Ya yang suka cari tikus curut,"
"Tikus curut lagi, ah, ngaco kalian. Asu"
___________
Mbok Sinap masih ditodong oleh Kabul untuk menceritakan tentang tikus curut yang makan ujung kemaluannya itu. Selaput kulit tebal itu seperti robek tapi garisnya rapi. Apakah benar tikus curut suka makan kulit kemaluan? Itulah pertanyaan yang sampai hari ini menodong Mbok Sinap.
Sampai suatu malam, Ketika keluarga Mbok Sinap berkumpul di lincak dan makan bersama, Mbok Sinap membicarakan tentang kemaluan Kabul. Semua menatap serius dan menunggu jawaban pastinya. Sepertinya Mbok Sinap menyimpan rahasia besar.
"Le... Kabul, besok sore kita ke Pak Mantri, Sunat, dan betulkan ujung kemaluanmu."
"Tapi aku takut suntik Mbok. Bagaimana kalau Paimo saja,?"
"Lah, sing ate sunat sopo, sing suntik sopo, pelo" Sambil memukul Pundak Kabul
"Wis-wis, aku juga baru ada uang lebih ini. Ini bu buat biaya-biaya pembetulan." Pak Sarmin menyodorkan tiga lembar lima puluh ribuan dan beberapa lembar lima ribuan.
"Sebenarnya, dulu, setelah Bapakmu mencari kayu sama paimo dulu dan menginjak hewan aneh, malamnya aku bermimpi bertemu Mbah Wekmu, katanya, kelak anakmu yang lahir adalah laki-laki dan Kalau bisa sebelum umur satu tahun sunatlah dia, karena kalau melebihi satu tahun, kemaluannya akan berbentuk aneh."
"Dan jangan lupa, ingatkan Suamimu, untuk tidak lagi mengambil pohon kering di tanah rampasan kompeni itu, cari di kebun atau di sungai dekat rumah. Jangan sekali-kali main ke hutan itu, sengketa terus isinya." Tambah Mbok Sinap menyampaikan mimpinya ketemu Kakek Kabul
"Wah, Bapak berarti nyolong kayu? Dan akhirnya kemaluanku rompang begini." Kabul menundukkan kepalanya sedih, kepala itu memandangi kepala yang lain di dalam sarungnya. "Kamu yang sabar ya kepala, besok kamu dibetulin"
"Wis, ayo makan, aku wis tobat, lagian sekarang aku juga ndak pernah cari kayu ke hutan itu, tapi ke gunung Limbuk." Bela Pak Sarmin.
"Hah, podo ae, nyolong kayu" Serga Paimo
"Wis,wis, ayo mangan maneh, ndang turu. Sesuk do sekolah" Ucap Mbok Sinap
_________
Siang itu, setelah Kabul pulang dari sekolah, ia lalu pergi ke Pak Mantri bersama Mbok Sinap. Ia benar-benar disunat, dibetulkan ndlawir-ndlawirnya. Tak terasa sakit, bahkan setelah selesai disunat, Kabul menggunakan sarung dan petat sebagai pelindung kemaluannya, agar tak bergeser dengan sarung. Ia jalan kaki, bersama Mbok Sinap, sesampainya di rumah, Mbok Sinap membaca doa, mulutnya komat-kamit dan mengusapkan tangannya ke kemaluan Kabul, lalu terucap "Dadio kayu sing apik, dadio bibit sing beneh, dadio uwong sing sembodo, dadio prio lan wanito sing asah asih lan asuh, bussss," Ia meniup kemaluannya Kabul lalu menutup sarungnya lagi.
Kabul hanya diam saja, dan merasakan kamaluannya dingin dan tak terasa sakit sampai keesokan harinya.
Teman-teman Kabul yang mendengar kabar kalau ia sudah sunat, berdatangan mengunjungi Kabul. Kamarnya penuh sesak, di lincak, di lantai tanah itu mereka memenuhi kamar kecilnya Kabul, namun mereka tertawa terbahak-bahak, senang, gembira sambil menunjukkan kemaluannya masing-masing yang sudah disunat, berisik, terdengar suara "Apik nggonku," "Nggonmu wis apik bentuk e Bul....," "Weh..., Apik iki, Bundune sempurno"
Tiba-tiba Mbok Sinap Masuk dan mengagetkan mereka. Mereka terdiam melihat Mbok Sinap dengan kayu kering sebesar jempol di tangan kirinya. "Ageh dulinan konok-an!, tak ceplesi siji-siji kapok kowe," Mbok Sinap marah, lalu keluar.
Mereka menahan tawa dan cekiknya, sambil saling pandang, memandang kepala mereka masing-masing. []
Rumah Jogo Kali, 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H