"Ada apa Pak Badrun?" Ketika pak RT tepat melintas di depanku
"Anu..., Nak Rudi, Tabrak lari, Pak Ponidi jadi korban." Wajahnya terlihat panik
"Lho, sekarang di mana?" tanyaku penasaran
"Di Puskesmas, mari ikut kerumahnya Nak, kita bantu warga lain untuk ikut beberes di sana." Ajak Pak RT
"Enggih monggo pak."
Setelah aku mengunci pintu rumah, aku menyusul Pak RT yang sudah lebih dulu jalan ke rumah Pak Ponidi. Di sana sudah ramai orang, terlihat wajah mereka panik, marah dan sedih, di dalam terdengar tangisan yang keras sekali. Â Nana, iya..., aku langsung masuk ke rumah itu, dan ternyata benar, Nana menangis, dua kali aku melihatnya menangis, sekarang sangat histeris. Ia dirangkul Bik Sodah, sambil mengelus rambut dan pundaknya. "Sabar nduk, sabar."
Tak lama kemudian, Pak RT mendekatiku, "Nak, Bisa ikut ke puskesmas? Menjemput Pak Ponidi." Aku menganggukkan kepala, masuk ke mobil Hijet milik tetangga. Di sepanjang jalan menuju puskesmas kami terdiam. Hanya suara mesin dan knalpot kendaraan yang lalu lalang mengisi kesepian.
"Nak, sampean punya adik?" tiba-tiba Pak RT mengawali perbincangan.
"Tidak punya pak, saya anak terakhir dari dua bersaudara. Kenapa nggih pak?"
"Jika nanti Nana ikut sampean bagaimana? kata beberapa warga, sampean cukup dekat dengan Pak Ponidi,"
Aku masih tak mengerti maksudnya, memang, kami sering bertegur sapa, mengirimkan makanan, dan sesekali jagongan di kursi reotnya, tapi bukan berati kami dekat.