"Oalah, enggih-enggih, ini pak, ada sedikit makanan dan takjil untuk bapak dan Nana, sama ada titipan dari Mas Darman," Aku menyerahkan bungkusan kresek hitam berisi makanan dan amplop yang dititipkan Mas Darman.
"Lah..., repot mawon sampean ini Nak, terima kasih nggih, salam sama Darman, sudah lama dia nggak main kesini. Sudah nggak ikut kos lagikah?"
"Dia sudah kerja di kota pak, jadi cari kosan yang dekat dengan tempat kerjanya. Cuma kemarin ketemu lalu memberikan titipan itu, katanya untuk sampean dan Nana."
"Enggih, semoga dilancarkan rejekinya sampean dan Mas Darman nggih, Amin"
"Amin, terima kasih pak, saya pamit nggih,"
"Lho, nggak duduk dulu Nak? Enggih-enggih kalau begitu, terima kasih nggih nak."
"Enggih Bapak, monggo..."
Sepulang dari rumah itu, terbesit dalam pikiranku, "Kasihan Pak Ponidi, begitu juga Nana. Tapi, semoga uang dari Darman tadi cukup untuk beli bajunya Nana." Seperti biasa, setiap sore sebelum buka, aku selalu duduk di depan komputer, melihat beberapa postingan di marketplace, melayani pemesanan, menulis ulasan kaos-kaos yang aku jual secara online.
Sejak itu aku tak pernah melihat Nana menangis dan Pak Ponidi melamun seperti biasanya.
_______________
Dua malam sebelum lebaran, aku berniat berkemas-kemas kemudian pulang ke rumah. Bapak dan ibu juga sudah menghubungi sejak kemarin. Desaku sekitar tiga puluh kilo dari kosan. Di desaku sangat sulit sinyal hp, oleh karena itu aku memilih ngekos di sini, selain dekat dengan tempat belajar, aku juga bisa leluasa untuk berjualan online.
Selepas berkemas, di luar rumah terdengar gemuruh kaki bertaut dengan suara saling saut yang menggema memasuki gang. Kulihat, beberapa warga sekitar lalu lalang dari rumah Pak Ponidi. Tidak terdengar jelas apa yang mereka katakana, Cuma lamat-lamat, "Becak'e ringsek, botol-botol plastike kleleran." Segera aku keluar dan bergabung dengan mereka.