Saudara? Ia tidak memiliki saudara. Ia hanya sebatang kara. Randu menyesal. Telah meninggalkan bapaknya terlalu lama. Mungkin kabar kalau ia masih hidup bisa mengobati kekhawatirannya, tetapi segala sesuatu bisa terjadi, selagi belum bertemu maka hanya sebatas harapan. Walau begitu kekuatan terbesar manusia adalah harapan. Mungkin itu yang dipegang Randu. Empat hari di kampungnya, belum menemukan tanda-tanda keberadaan bapaknya. Ia menyewa kamar di rumah tetangganya dulu.
Sepekan sudah Randu melihat sawahnya sudah berubah menjadi pondasi dan besi-besi menjulang. sepekan pula Randu menyaksikan rumahnya dirobohkan. Sepekan pula Randu merasa bersalah meninggalkan bapaknya. Ia hanya menemukan selembar kertas yang berisi pesan pamitnya dulu, itupun tercecer di antara tumpukan material di bekas rumahnya dulu. Dan tertulis di bawahnya "Temui aku di terminal kota!" pesan surat itu.
Akhirnya Randu bergegas ke terminal kota. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, tetapi rasanya seperti sangat lama, hanya untuk sampai di terminal. Ia pandangi setiap sudut. Tidak terlihat bapaknya. Ia susuri lorong-lorong toko menuju pangkalan bus, belum juga ketemu.Â
Sampai akhirnya ia singgah di ruang penjagaan toilet terminal. Ia lihat orang tua yang sudah sangat rentah mengepel lantai, menyibak-nyibakkan air ke sudut lantai yang kotor, mungkin bekas sepatu para penumpang, atau makelar-makelar penumpang, atau siapapun itu tidaklah penting. Ia sapa orang tua itu dan ternyata benar ia adalah bapaknya. Ia peluk erat, ia cium pipinya, ia sembah meminta maaf. Hujan tangis di lorong toilet.
Bapak Randu kemudian tersenyum, "Aku yakin engkau pasti menemui Bapak." Ucapnya.
"Pak... Â Ternyata kota bukanlah jawaban dari sebuah kebahagiaan. aku tidak ingin menjadi pendendam, walaupun pada Ibuku sendiri."
Randu menunduk, menangis, kemudian memeluk Bapaknya.
***
D_D 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H