Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Selembar Surat, Tanpa Ucap

30 Desember 2019   13:17 Diperbarui: 30 Desember 2019   13:48 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribun Pekanbaru.com

"Sampai kapanpun aku tidak akan menjualnya, aku menunggumu pulang nak..." sambil memeluk tubuhnya sendiri yang kaku dan kedinginan. Terlelap bersama harapan, memejam matanya yang mulai menampakkan garis-garis kulit di antara pipinya. Air mata yang sudah kering tiada lagi menetes. Hanya sepetak sawah dan Randu menjadi kunci semangatnya.

***

Randu yang sudah bergegas dengan tas ransel di punggungnya memasuki desa yang sudah lama sekali ia tinggalkan. Ia pandangi sekelilingnya sudah berubah luar biasa, yang dulu hijau meraya, kini lebat dengan bangunan-bangunan serba mahal. Jalanan pun sudah tidak seperti dulu, yang setiap kali melangkah kaki tersumpal oleh bongkahan batu atau tanah yang becek. 

Kini semua tampak tersenyum. Kedai-kedai sudah berjajar, papan-papan nama bahkan baliho iklan numpuk berjubel di pinggir jalan. Tiada lagi tampak sawah-sawah yang lengkap dengan orang-orangan sawah. Tiada lagi bunyi lonceng dari botol cream dan klereng. Tiada lagi saut-sautan suara gertakan dengan kicau burung seperti bermain petak umpet.

Randu mencari rumahnya, ia pandangi tumpukan material membanjiri pelatarannya. Tiada tampak Bapaknya. Hanya para pekerja dengan helm kuning yang sedang sibuk lalu lalang.

"Mas mau nglamar kerja ya? Kebetulan kita butuh tukang besi cor." Tanya salah satu mandor yang tiba-tiba menghampirinya.

"Oh.. Tidak, saya mencari bapak saya. Beliau tinggal di rumah ini. Apakah anda melihat beliau?" Jawab Randu sambil menurunkan tasnya.

"Bapak yang tinggal di rumah ini sudah pergi mas, rumah dan sawah yang di ujung sana sudah dijual seminggu yang lalu." Jawab Mandor.

"Dijual? Lho kok bisa? Sekarang Bapak di mana?" Tanya Randu Bingung.

"Wah... Kalau itu saya tidak Tahu, coba Mas tanya ke kepala proyek yang ada di Kantor itu mas!"  Mandor itu kemudian pergi melenggang.

Rasa cemas dan kecewa memenuhi pikiran dan hatinya. Bingung dan rasa takut seperti menahannya, lemah lunglai, sendi-sendinya seperti nyilu, dan kakinya seketika lemas tiada daya. Ia mencoba menghampiri kepala proyek, namun tiada jawaban yang ia harapkan. "Mungkin bapak sudah pergi ke sanak saudaranya mas... coba kontak saudara-saudara sampean!" kata kepala proyek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun