Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Selembar Surat, Tanpa Ucap

30 Desember 2019   13:17 Diperbarui: 30 Desember 2019   13:48 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saudara? Ia tidak memiliki saudara. Ia hanya sebatang kara. Randu menyesal. Telah meninggalkan bapaknya terlalu lama. Mungkin kabar kalau ia masih hidup bisa mengobati kekhawatirannya, tetapi segala sesuatu bisa terjadi, selagi belum bertemu maka hanya sebatas harapan. Walau begitu kekuatan terbesar manusia adalah harapan. Mungkin itu yang dipegang Randu. Empat hari di kampungnya, belum menemukan tanda-tanda keberadaan bapaknya. Ia menyewa kamar di rumah tetangganya dulu.

Sepekan sudah Randu melihat sawahnya sudah berubah menjadi pondasi dan besi-besi menjulang. sepekan pula Randu menyaksikan rumahnya dirobohkan. Sepekan pula Randu merasa bersalah meninggalkan bapaknya. Ia hanya menemukan selembar kertas yang berisi pesan pamitnya dulu, itupun tercecer di antara tumpukan material di bekas rumahnya dulu. Dan tertulis di bawahnya "Temui aku di terminal kota!" pesan surat itu.

Akhirnya Randu bergegas ke terminal kota. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, tetapi rasanya seperti sangat lama, hanya untuk sampai di terminal. Ia pandangi setiap sudut. Tidak terlihat bapaknya. Ia susuri lorong-lorong toko menuju pangkalan bus, belum juga ketemu. 

Sampai akhirnya ia singgah di ruang penjagaan toilet terminal. Ia lihat orang tua yang sudah sangat rentah mengepel lantai, menyibak-nyibakkan air ke sudut lantai yang kotor, mungkin bekas sepatu para penumpang, atau makelar-makelar penumpang, atau siapapun itu tidaklah penting. Ia sapa orang tua itu dan ternyata benar ia adalah bapaknya. Ia peluk erat, ia cium pipinya, ia sembah meminta maaf. Hujan tangis di lorong toilet.

Bapak Randu kemudian tersenyum, "Aku yakin engkau pasti menemui Bapak." Ucapnya.

"Pak...  Ternyata kota bukanlah jawaban dari sebuah kebahagiaan. aku tidak ingin menjadi pendendam, walaupun pada Ibuku sendiri."

Randu menunduk, menangis, kemudian memeluk Bapaknya.

***


D_D 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun