Mohon tunggu...
Khoirul Anam
Khoirul Anam Mohon Tunggu... -

Seorang pemuda otodidak yang berupaya menjadikan hidup bernilai lebih.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja di Gubuk Tua

11 Desember 2011   06:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:32 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bejo mau berangkat, Mbok. Doakan lekas habis," kata Bejo usai menyeruput habis teh yang diseduhkan ibunya.

"Tapi masih hujan, Nak. Nanti kamu sakit," ujar Mbok Kairah menahan karena tak tega. Namun, Bejo tetap berlalu.

Bagaimanapun, jamu itu memang harus diedarkan agar dapur bisa tetap mengepul. Dengan pakaian sederhana yang dibalut mantel plastik, Bejo segera memancal sepeda bututnya menjual jamu. Sementara Mbok Kairah masih bertahan di beranda rumah. Air matanya terus mengalir mengiringi keberangkatan Bejo yang berjuang keras demi keluarga.

***

"Jamu, jamu, jamu...!"

Bejo berteriak kecil menawarkan dagangannya di sepanjang jalan. Meski hujan terus mendera, Bejo tak patah arang sebelum jamunya benar-benar habis. Dengan semangat membara dikayuhnya sepeda butut itu keliling kampung, menyusuri lorong-lorong kota, masuk dari gang satu ke gang yang lain. Hingga hari berlanjut malam dan gema adzan Maghrib sudah berkumandang, Bejo terus memacu sepedanya.

Beberapa saat kemudian, wajah Bejo terlihat sumringah. Beberapa kali ucapan syukur mengalir dari bibir mungilnya. Ya, jamu sebanyak 15 botol yang dibawanya akhirnya habis tak tersisa. Cuaca dingin akibat hujan mungkin menambah rasa nikmat meminum jamu. Bejo segera memutar laju sepedanya menuju arah pulang. Dikayuhnya sepeda butut itu dengan kecepatan tinggi.

Sepanjang perjalanan wajah Bejo terlihat riang dan sesekali senyum menyungging dari bibirnya. Namun, keceriaan itu berubah kepanikan ketika beberapa langkah lagi sampai di rumah. Bejo melihat ibunya yang masih memakai mukena tertunduk sedih di beranda rumah. Wajahnya sembab berlinangkan air mata. Bejo bergegas menyandarkan sepeda dan segera menghampiri ibunya. Mencium tangannya, memeluk wajahnya, dan mendekap erat-erat tubuhnya.

"Kenapa menangis, Mbok?" tanya Bejo.

"Tidak, Nak. Mbok hanya tak kuasa menahan perih melihatmu kepayahan seperti itu. Anak seusia kamu seharusnya fokus belajar, supaya perkembangan jiwa kamu stabil. Maafkan Mbok karena belum bisa membahagiakanmu, Nak," kata Mbok Kairah yang kembali mengalirkan air mata.

"Sudahlah, Mbok. Jangan bersedih, Bejo tidak mengapa. Memang inilah jalan hidup yang harus kita lalui. Alhamdulillah, berkat doa Mbok jamunya habis semua," kata Bejo menghibur. Sejenak kemudian, Bejo mengeluarkan uang hasil jualan jamu dari saku celana. Dengan sangat hati-hati Ia menghitung dan dipisahkannya antara modal dan hasil. Ia memang sangat disiplin kalau masalah uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun