“Rizki itu sudah ada yang mengatur, Mas!” tegasnya, “Biar saya narik becak begini, saya yakin ini anak punya rizkinya sendiri”
“Tuh lihat sekarang dia sudah jadi sopir bus AC eksekutif jurusan Semarang-Surabaya” kata si Bapak lagi, “Dulu mikir sekolahin dia sampai SMA saja kayaknya tidak mungkin. Tapi nyatanya? Dia tamat SMA. Dia sudah nikah sekarang. Punya rumah dan tanah. Itulah rizki”
“Subhanallah si Bapak ini luar biasa. Salut saya”
Si Bapak mesem-mesem saja.
“Bapak ini cocoknya jadi Menteri, Pak” kata saya, “Kalau calon Menteri-menteri yang sekarang sedang ramai di TV mah tidak ada yang pantas. Termasuk Presidennya. Masih lebih pantas Bapak”
“Ndak segitunya lah, Mas”
“Eh benar ini, Pak” kata saya, “Coba saja Bapak lihat. Mana ada pemimpin negeri ini yang seperti Bapak? Ada pengungsi Afghanistan yang butuh tinggal malah diusir, digebukin. Padahal mereka sama-sama muslim. Sama-sama manusia pula”
“Saya yakin, tidak ada satu pun pemimpin negeri ini yang mau mengadopsi anak anak terlantar yang ada di Stasiun Gambir sana. Padahal mereka itu kerjanya bolak-balik di sekitar situ’ ujar saya lagi.
“Mereka kan sibuk mengurusi Negara, Mas”
“Lha, anak terlantar juga kan urusan mereka. Mengurus mereka sama dengan mengurus Negara juga. Bukannya ada di Undang-Undang?” timpal saya, “Kalau yang Bapak maksud mengurusi Negara itu adalah membuat “kurus” negara, nah itu baru saya setuju”
“Hehehe…” si Bapak tertawa.