Mohon tunggu...
Cak Nunuk
Cak Nunuk Mohon Tunggu... -

Mari Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bersama Pak Menteri [part 2-habis]

7 Mei 2011   03:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:59 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hebat euy” kata saya, “Kalau obat biar bisa menambah istri ada tidak, Pak di Sensei itu? Saya mau lah. Mau poligami. Hehehe…”

“Argh… si Mas ini” Si Bapak terlihat manis-manis manja. Kulitnya yang tadinya coklat legam sedikit merona. Tapi tidak mengkilat seperti ketika baru datang tadi. Mungkin ini efek sundae yang sedang dia makan sekarang.

Sambil memotong daging steak yang tinggal setengah lagi, saya lantas bertanya lagi pada si Bapak perihal jumlah anaknya. Dia jawab tiga orang. Bukan dua seperti yang dia katakan sewaktu masih di Lawang Sewu.

“Satu lagi itu anak angkat, Mas” jelas si Bapak, ”Saya ambil dari Stasiun Tawang. Kasihan soalnya terlantar begitu”

“Orang tuanya kemana? Kok bisa anak 7 tahun keliaran di stasiun?”

“Ini anak tersesat. Sudah begitu tidak bisa menyebutkan alamat rumahnya. Tadinya dia ikut orang tuanya tapi ketika di stasiun Surabaya salah naik kereta. Orang tuanya naik yang satu, dia naik yang lain”

“Kayak Home Alone saja, Pak”

“Apa itu , Mas?”

“Lanjut terus, Pak! Tadi mah bukan apa-apa”

Akibat perintah saya itu menyebabkan si Bapak menceritakan tentang anak angkatnya itu lagi, yang katanya cuma bermodal celana dekil, yang katanya sudah seminggu tiduran di emperan stasiun, yang katanya kalau celananya basah itu biasa dijemur di lokomotif lalu dia duduk rapat menutupi kemaluannya, yang katanya korban keluarga brokenhome, yang katanya punya codet
di mukanya karena dituduh maling jemuran, yang katanya baru bisa bertemu orang tua aslinya setelah ia menikah, yang akhirnya si Bapak bawa ke rumahnya lalu syukuran sederhana mengundang pihak PT KA, warga, dan keluarga untuk mengenalkan anak itu.

“Kasihan, Mas. Masa sih kita tega melihat anak kecil begitu!” jawab si Bapak ketika saya tanya alasan mau menolong anak itu. Si Bapak lalu melanjutkan perbincangan lagi. Menurut si Bapak, hanya orang jahatlah yang tega melihat si anak terlantar di pelataran stasiun yang kotor. Bagi dia, kaya atau miskin keadaan seseorang bukan alas an untuk tidak menolong bocah tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun