“Kenali cinta kasih, mahabbah! Cinta kepada Allah! Dan pertanyaan-pertanyaan lain tidak akan mengganggumu. Pikiran akan selalu mencari perbedaan, akan selalu mencari pertanyaan dan jawaban. Jalani kehidupan sepenuhnya dan pikiran pula akan terlampaui dengan sendirinya.” (dialog Senja dan Eyangnya, h.34-35)
Wawasan dan pengalaman hidup pengarang menjadikannya mampu mengetengahkan pandangan-pandangan hidup yang filosofis, yang disampaikan melalui tokoh-tokoh yang dihadirkan. Dalam novel ini selain ke tiga sosok di atas, ada pula Dewi Supraba, ibu kandung dari Bumi Saujana, maupun munculnya sosok Garuda Samudera – seorang pemuda yang pada akhir cerita menjadi tokoh penyelamat.
Selain porsi dialog yang jumlahnya lumayan banyak - mungkin saja karena pengarang juga biasa menulis skenario film - memiliki alasan tersendiri, ketika menghadirkan soliloquy: yang terucap maupun mengusik batin tokohnya.
- Senja tersenyum mengenang lelaku konyolnya saat itu. Lalu bergumam lirih.
“Lelaki hati, rindu ini menepi dan tiada kan pergi berkelana kembali mencari. Hanya kamu belahan hati. Perlawanan batinku tak mampu belenggu waktu untuk diam menunggu. Tolong datang lalu satukan rasa kita. Jangan hanya puas pada bayang sapa dunia maya, karen itu hanya akan menjadi kelelahan raga yang pada akhirnya hanya menjelma menjadi jelaga.” (h.29)
Boleh jadi pembaca dapat merasakan novel ini merupakan curahan hati pengarang terhadap calon pasangannya, dan atau demikianlah keahlian pengarang mencerap-olah-sajikan berbagai kisah- kisah hidup perempuan terhadap lelaki pujaan hati. Mmm, benarkah kaum hawa lebih banyak bicara dengan hati, tak peduli nada iramanya mendayu-merayu kalbu?
Ataukah karena novel ini sebenarnya cerita tentang honey-moon pengantin muda di Praha, ibukota Cekoslovakia, sehingga agar suasana romansanya terbangun maka kalimat liris menjadi pilihan, bersenyawa dengan ungkapan “dari hati ke hati.”
Dari 23 bab, suasana romantis pengantin baru Senja Rinjani dan Bumi Saujana diceritakan 13 bab, lengkap dengan perjalanan mereka dari satu ke objek wisata terkemuka di kota ibukota Ceko. Pembaca diajak untuk membayangkan..”Bertaburannya bangunan-bangunan tua di Praha menunjukkan berbagai ragam corak dan warna yang berkembang di Eropa mulai dari gothic, baroque, rennaisance, art nouveau hingga neoclasic dan ultra modern.”
Pasutri muda berjalan bergandengan tangan, berpelukan, bertatapan mesra, sambil saksikan bangunan beserta isinya yang menjanjikan hadirnya nuansa romantis, sungguh diharapkan oleh tak terhitung pasutri muda lainnya, tentu. Meski begitu, di sela-sela perjalanan penuh kenangan itu misi utama tak dilupakan, yakni mencari keberadaan ayah kandung Sau, satu dari beberapa ilmuwan Indonesia yang pada masa orde lama beroleh beasiswa untuk lanjutkan pendidikan di negara Cekoslovakia, namun karena terjadi pergantian pemerintahan mereka tak bisa kembali ke tanah air.
Ini penting dicatat mengingat beberapa bulan lalu, di tahun 2016 ini, telah ditayangkan “Surat dari Praha” film yang berkisah tentang ilmuwan asal Indonesia, beroleh beasiswa ke Cekoslovakia di jaman Soekarno, tak bisa pulang karena pembrontakan G30S PKI, yang menjadikan siapapun yang berada di negara beraliran kiri tidak bisa diterima oleh pemerintahan Soeharto.
Pergulatan politik yang kotor memecah-belah, memisahkan sesama warga negara, bahkan juga siapapun yang tak ikut dalam percaturan politik praktis. Ini masalah kemanusiaan yang ternyata terjadi juga di beberapa negara di belahan dunia.
Dengan kata lain, antara dua cerita di atas, terdapat kesaamaan lokasi dan alasan ilmuwan “terjebak” di Praha, namun beda sudut pandangnya. Juga endingnya.