(resensi novel karya Kirana Kedjora).
Membaca judul novel ini umumnya pembaca seperti diminta untuk membayangkan suasana senja di langit luas. Bagi warga negara tropis semacam Indonesia kita tentulah memiliki pengalaman yang nyaris sama. Mata kita melihat langit sore hari di ufuk Barat berwarna kuning keemasan, berhias awan dengan berbagai bentuk - bak kapas melayang perlahan, warna itu berangsur ganti oranye – lembayung berpendar, terus lindap seiring tenggelamnya matahari: sunset, indah.
Tapi, maaf, di Cekoslovakia? Jelas cuaca di wilayah Eropa itu bukan tropis. Sebagaimana di belahan bumi lain yang memiliki empat musim maka cuaca di kala senja nyaris biasa-biasa saja, tak menawarkan keindahan warna-warni yang menggugah imaji. Itu sebabnya wisatawan mancanegara datang ke Nusantara – bahkan ada yang khusus untuk merasakan pengalaman nikmat nyaman menyaksikan mentari sumunar – hadirkan sinar pagi: sunrise, maupun mentari masuk peraduan: sunset.
Jadi, apa maksud Kirana Kejora, sang pengarang, menulis judul “Senja di Langit Ceko?” Sesuatu yang mengada-ada, yang mustahil, yang...selintas terbersit: jangan-jangan itu hanya metafora, ungkapan yang membahasakan sesuatu yang menarik? Atau...
Begini.
Pada halaman-halaman awal novel ini menunjukkan adanya hubungan – cinta jarak jauh antara seorang perempuan dengan seorang lelaki, yang saling menyapa melalui email. Di antaranya:
- “Senja, selama mata kita diberi kesempatan untuk memandang, gunakan dengan baik, untuk menangkap kebenaran. Demikian dengan telinga, bibir, dan hati, karena kita tak pernah tahu batasan waktu kita di bumi.”
Begitu jelas kalimat sederhana itu kudengar darimu yang kembali padaku malam itu. Kamu lelaki cerdas. Kata-katamu berhasil menjadi matahari, menghangatkan senyap tubuh yang menggigil karena nyaris penyepianku selama ini membuat jiwaku mengerdil. (h.5)
- Kamu berhala pada inovasi-inovasimu. Tidak tepat namamu Bumi Saujana. Bukankah arti namamu kira-kira bisa menjadi orang yang membumi, punya tatapan luas, panjang, sejauh mata memandang? Visi misi yang sedemikian hebat untuk kebesaran negeri ini nantinya?”
“Aku seorang visoner. Terimakasih Senja. Kalimatmu bagus. Never mind. Satu saat kamu akan mengerti bahwa aku benar-benar tulus memijarkan cahaya, membiaskannya bagi negeri yang sangat kucintai ini. Sebagaimana ayahku dulu begitu mencintainya, namun kasihnya tak penah sampai karena rezim itu! Membuat ayahku tak pernah bisa pulang ke sini!” (h.14-15)
- Sau, pagi menemuimu pada bias sinar matamu yang hanya menyelinap kecil di antara arak mendung makin membuatku mengagumimu dengan sepenuh hati...kampungan kata-kataku kini..karena aku benar-benar mati kata jika melihatmu begiu rapi menyikapi kegundahan hatimu sendiri padaku...ah kamu memang berlagu! Sepertinya tepat sebutanku padamu...patung es bernyawa! Elang kutub!
Hehehe..kamu teryata lucu Senja!
Sau! Aku bukan pelawak! Bukan badut yang terus menerus bisa kamu tertawakan!
Senja...Marah?