Mohon tunggu...
Yuli Riswati (Arista Devi)
Yuli Riswati (Arista Devi) Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Purple Lover. I am not perfect but I am unique.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Soliloqui Kemerdekaan Seorang Perempuan Migran

17 Agustus 2016   09:16 Diperbarui: 17 Agustus 2016   09:59 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kakek Tang sudah tidur ya, Cantik? Kamu tidak pergi makan siang?” sapaan Yima, mengusik keasyikanku menikmati arak-arakan awan putih yang serupa kapas berterbangan di langit biru.

Aku tersenyum. “Nanti saja, Yima. Aku masih belum lapar. Apa Yima juga sudah makan siang?”

“Sudah,” Yima menjawab sambil menunjukkan perutnya yang buncit, “ini sekarang aku mau melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Hari ini kami mesti mengganti dan mencuci semua sprei. Kamu tumben tidak membaca buku? Awas, jangan melamun dan berdiri terlalu dekat tembok pembatas, takutnya kalau kepeleset bisa jatuh kayak temanmu yang kemarin itu!”

“Iya iya..., terima kasih Yima sudah mau mengingatkanku.”
Beberapa saat kuperhatikan Yima melangkah pergi dengan membawa peralatan yang diambilnya dari gudang.

Perempuan paruh baya yang berasal dari daratan China itu mengingatkanku pada sosok ibuku di kampung. Mereka sama, sama-sama tipe perempuan pekerja keras yang tak suka bermalas-malasan dan agak tidak peduli pada urusan penampilan.

Drrrttt... drrrttt... drrrttt... Hape di sakuku bergetar.

“Besok aku libur, Rum. Aku dan teman-teman ingin menonton Inul di Victoria Park. Kamu mau ikutan nggak?”

Pesan Riyani, temanku dari kampung, mengingatkanku kalau bulan ini adalah bulan Agustus, bulan di mana ada satu tanggal yang ditandai sebagai hari kemerdekaan bagi negeriku. Dan, meski kami tinggal jutaan kilometer jauhnya dari Indonesia, ternyata kami masih bagian dari rakyat yang mengingat dan selalu turut merayakan serta menikmati euforia hari kemerdekaan negeri.

“Maaf, aku tidak libur, Ri. Majikanku sedang ke Kanada. Jadi aku mesti menjaga kakek di Panti. Kalian bersenang-senanglah. Lain kali saja kita liburan bareng ke pantai.”

Aku membayangkan suasana Victoria Park yang kutemui di tiap bulan Agustus. Ada sebuah tenda besar menaungi panggung besar yang di depannya berderet puluhan kursi untuk para tamu undangan dan beberapa kipas angin besar yang berputar diletakkan di beberapa sudutnya. Area itu biasanya selain dikelilingi pagar besi juga dijaga para penjaga yang galak, yang tak akan pernah mengijinkan siapapun masuk tanpa tanda pengenal khusus yang telah disediakan oleh panitia.

Di luar pagar, berderet berjajar memanjang di pinggir lapangan tenda-tenda lebih kecil yang menjadi stand para sponsor acara dan beberapa organisasi yang sengaja diundang untuk turut memeriahkan acara panggung gembira dengan lomba menghias tenda, bazar dan pameran. Sementara di area tengah lapangan yang panas jika matahari sedang garang atau basah jika hujan sedang bertandang adalah tempat para penonton berdesakan.

Ada yang berdiri uyel-uyelan turut bergoyang, ada yang duduk-duduk saja menonton para penonton -karena tidak bisa melihat ke arah panggung secara langsung-, dan tak sedikit pula yang menikmati waktunya sendiri tanpa peduli segala keramaian di sekitarnya. Mereka berada di lapangan itu bukan karena ada acara yang sedang berlangsung, tapi karena memang di situlah Kampung Jawa tempat mereka ‘pulang’ pada setiap hari liburnya.

Terkadang ketika sedang menjadi pemikir, aku mendadak sok kritis dan tak habis pikir, apa sebenarnya hubungan antara acara goyang dangdut yang lebih banyak seronoknya dengan hari kemerdekaan yang dirayakan. Jika perayaan kemerdekaan hanya berarti acara hiburan dan bersenang-senang, siapa juga yang sedang dihibur dan disenangkan?

Apa dan siapa yang masih bisa terhibur dan senang jika kejadiannya seperti tahun kemarin itu, banyak penonton yang dehidrasi dan pingsan karena kepanasan kemudian menjadi tajuk pemberitaan di koran dan teve lokal. Yang tentunya menuai komentar orang-orang Hong Kong: “Jisin! Sudah tahu cuaca sedang panas-panasnya, ngapain mereka nyanyi dan joget-joget di lapangan begitu? Cari masalah saja!” Aku yang sempat mendengar komentar majikanku hanya bisa nyengir dan mengucap kata ‘saya prihatin’ dalam batin.

Dari atap gedung berlantai 5 ini aku bisa melihat bendera Hong Kong dan China yang berkibar bersama bendera Hotel Mandarin Oriental di seberang jalan. Tiga bendera itu berkibar bersama dalam posisinya masing-masing. Meski terlihat sama, tapi kalau diperhatikan dengan seksama sepertinya memang sudah diatur siapa yang seharusnya berkibar lebih tinggi beberapa sentimeter dan mesti dipasang di sebelah mana. Aturan yang sudah menjadi ketetapan dan pastinya tidak bisa diganggu atau digugat, entah sampai kapan.

Aku teringat Sang Saka, bendera kebanggaan negeriku yang tentunya menurutku berkibar lebih gagah dari ketiga bendera yang kulihat itu. Ya, setidaknya Merah Putih berani berkibar sendirian tanpa perlu ditemani bendera lainnya. Mungkin sepertiku yang berani berjuang sendiri di negeri asing ini tanpa ditemani seorang saudara pun keluarga. Diam-diam mengembang rasa kebanggaan di dadaku. Rasa bangga yang hanya bisa kunikmati sendiri, rasa bangga yang tumbuh ketika aku sedang berusaha menghibur diri.

Menurut KBBI, merdeka adalah bebas dari perhambaan, penjajahan, berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Sedangkan arti kemerdekaan adalah kebebasan. Berdasarkan pengertian kata, sampai hari ini aku masih diam-diam bertanya-tanya kepada diri sendiri: apa aku ini sudah merdeka?

Jika dilihat dari semua makna kata merdeka, sebagai seorang perempuan, sebagai jomblo, juga sebagai seorang pekerja asing di luar negeri, tentunya wajar saja jika aku merasa masih terjajah, baik oleh keinginan-keinginan pribadi maupun tuntutan-tuntutan majikan dan segala tetek-bengek peraturan agen pun pemerintahan di negeri sendiri dan negeri penempatan. Lantas jika belum merdeka, bagaimana kiranya agar aku bisa benar-benar merdeka?

Apakah aku harus seperti teman-temanku yang memutuskan pulang ke kampung halaman, menikah dengan lelaki pilihan dan punya anak, kemudian tiap hari bisa pamer kemesraan dan kebahagiaan melalui postingan foto dan status di sosmed. Apakah benar begitu itu yang namanya merdeka? Bukannya itu berarti aku justru akan terjajah nafsu untuk pamer dan sok keren sendiri? Benarkah merdeka itu seperti kemesraan dan kebahagiaan yang masih butuh pengakuan dari orang lain?

Tidak cukupkah semua untuk dinikmati dan diakui sendiri? Ah, atau aku harus memutus kontrak kerja dan menanggalkan status pekerja rumah tangga asing kemudian menikah dengan orang Hong Kong atau Bule agar aku naik derajat menjadi golongan ekspatriat? Atau aku harus tetap menjomblo tetapi ganti bekerja di sektor formal, menjadi orang kantoran? Apa dengan begitu aku akan benar-benar merdeka? Benarkah pergantian status dan pekerjaan bisa berarti merdeka dan kemerdekaan?

Aku tak menyangka hanya untuk berpikir merdeka tentang kemerdekaan saja bisa membuatku semakin galau. Dan ketika kuhentikan usaha memikirkan untuk beralih ke usaha mencari tahu dengan membaca esai, cerpen dan novel, aku malah menemukan banyak hal yang membuatku ternganga. Terutama ketika membaca pemikiran liar, Tan Malaka, Pramodya, Franz Kafka dan Milan Kundera, keempat penulis legendaris idolaku itu membuat mataku terbuka dan mulai menyadari bahwa ada banyak hal di dunia ini yang belum kuketahui. Pikiranku hanyalah butiran debu di antara jutaan pemikiran para pemikir lainnya.

Mungkin kemerdekaan itu memang tidak perlu dipikirkan atau dimaknai terlalu lebay seperti yang kulakukan, sebab memang merdeka itu tidak benar-benar nyata adanya. Toh memang tak pernah ada orang yang benar-benar bisa bebas berdiri sendiri tanpa sesiapapun juga. Apalagi ketika untuk menjadi diri sendiri saja masih butuh pengakuan orang lain -minimal orang-orang terdekat kita. Ya, merdeka itu kalaupun harus dirayakan dengan dangdutan dan bergoyang di lapangan mestinya hanya sebagai cara berekspresi sambil seakan berkata; “Ini aku, peduli setan pada penilaianmu! Aku ini orang yang merdeka!”

Eh tunggu dulu, jika pemikiran-pemikiran jutsru mengingatkan akan penjajahan -minimal oleh diri sendiri-, lalu bagaimana jika menjadi seperti Kakek Tang? Kakek berusia 90 tahun yang saat ini mesti kujaga itu mengidap alzheimer yang disertai demensia. Jangankan untuk mengingat pun memikirkan orang lain, semua tentang dirinya sendiri saja dia sudah lupa. Apakah Kakek Tang bisa dikatakan orang merdeka? Bukannya itu berarti Kakek Tang malah terjebak di pemakaman yang tak pernah usai, mimpi buruk yang tak berakhir atau kematian pikiran secara perlahan?

Apa Kakek Tang benar-benar bahagia dengan keadaannya? Bisa jadi kakek yang menjadi sumber penghasilanku tiap bulan itu bebas dan tidak terjajah oleh siapapun bahkan ingatannya sendiri, tapi dengan tidak sadar dia juga menjajah orang lain untuk merawat tubuh dan menjaga hidupnya yang tinggal menunggu waktu untuk menyusul kematian yang sudah dialami pikirannya. Duh, serem juga.

Hampir dua tahun aku menjaga Kakek Tang di Panti Jompo, dan aku nyaris mengenal semua penghuni panti. Dari para karyawati -Yima dan teman-temannya-, sampai beberapa keluarga yang kerap berkunjung ke panti, aku serasa sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Pekerjaanku jika dibandingkan teman-teman sesama BMI tergolong nyantai dan seperti sedang bermain-main saja. Pagi setelah beberes rumah majikan, aku pergi ke panti dan berada di ‘rumah lansia’ bersama Kakek Tang sampai ia usai menyantap menu makan malam.

Begitu rutinitasku setiap hari, hanya sesekali saja diselingi pindah tugas ke rumah sakit jika Kakek Tang sedang butuh rawat inap dengan peralatan lebih canggih. Peranku sebagai seorang pembantu sebenarnya lebih kepada menggantikan kehadiran keluarga Kakek Tang di sampingnya. Sebab untuk semua perawatan kesehatan dan sehari-hari kakek sudah ada dokter dan perawatnya. Tugasku lebih kepada mengawasi dan melaporkan apa-apa sehubungan kebutuhan dan keadaan Kakek Tang kepada majikan. Tapi apa benar itu hal mudah bagiku? Hmmm... Bisa iya, bisa juga tidak.

Bergaul dengan orang-orang tua dengan berbagai keadaannya kerap membuatku tertekan. Bahkan terkadang pikiranku bisa pergi merantau sampai ke masa tuaku. Membayangkan hal yang tidak-tidak yang kemungkinan bisa saja terjadi padaku. Melihat Kakek Lung yang tiap hari berteriak-teriak marah dari bangun tidur hingga tidur lagi, menyaksikan Nenek Wu yang bermain dan ngobrol dengan boneka tiap hari, menatap geli Kakek Wong yang seperti bocah kecil menertawakan apa saja - bahkan ketika tak ada apa-apa yang bisa ditertawakannya.

Bermacam ekspresi, bermacam keadaan, bermacam emosi, berkelindan di antara kepikunan yang kutemui di lantai lima. Sebuah flat yang lumayan luas, yang terblagi oleh papan sekat pembatas untuk membentuk lebih banyak ruangan kecil sebagai kamar tidur puluhan lansia yang tinggal bersama dalam rangka menikmati dan menghabiskan sisa-sisa hidupnya itu. Andai aku bisa biasa saja dan tidak banyak pikiran, tentunya aku akan baik-baik saja. Tapi kepalaku adalah penjajah bagi diriku. Memaksaku berpikir banyak hal dan mempekerjakan secara rodi perasaanku agar lebih peka kepada banyak hal atas apa yang terjadi dan kualami.

“Cantik, kamu masih di sini? Dari tadi kamu belum pergi makan?” Sosok Yima sudah berdiri di belakangku dengan wajah yang terlihat basah oleh keringat.

“Eh, Yima. Iya iya sekarang aku mau pergi makan.”

Segera kutinggalkan atap gedung tempatku biasa menyendiri itu. Aku tak ingin Yima bertanya lebih banyak tentang apa yang sedang kulamunkan dan kupikirkan seperti biasanya. Meski kami bukan keluarga atau saudara, naluriz keibuan Yima cukup membuatku sering terganggu oleh kekepoannya kepadaku. Yima kerap menanyakan ini itu: sudah punya pacar belum, kalau libur pergi ke mana dengan siapa dan lain sebagainya. Tapi ada kalanya kehadirannya cukup menghiburku karena di negeri asing ini masih ada orang yang mau tulus peduli padaku.

Sebelum pergi makan siang, aku menengok Kakek Tang di kamarnya. Lelaki tua yang masih menyimpan sisa-sisa ketampanan dan kegagahannya di masa lalu itu masih tertidur nyenyak. Wajahnya tampak damai, sedamai wajah bayi. Entah di dalam mimpinya apakah Kakek Tang masih memiliki ingatan atau tidak, kalau tidak berarti tidur atau terjaga adalah sama saja baginya. 

Aku kecilkan volume AC dan membenahi posisi selimut kakek sambil berbisik. “Aku pergi makan siang dulu ya, Kek?” Aku tahu Kakek Tang tidak akan mendengar pamitku atau kalaupun mendengar bukan hal penting baginya aku mau ke mana. Tapi aku hanya ingin meyakini bahwa dengan sekecil apapun komunikasi yang kami jalin, Kakek Tang tidak akan merasa sendiri dan bisa merasakan keberadaan orang-orang di sekitarnya. Bahwa meski dia tidak mengenali dirinya sendiri, masih ada orang-orang yang mengenalinya, menyayangi dan sudi merawatnya.

Ketika melintasi ruang utama Panti, langkahku mendadak terhenti. Sebingkai gambar wajah berukuran cukup besar yang menggantung di dinding bersama gambar-gambar wajah tokoh terkenal lainnya itu serasa sedang menyapaku. Wajah lelaki berkulit hitam yang kukenali namanya sebagai Nelson Mandala.

Nelson seperti ingin mengingatkanku pada kutipan kalimatnya yang pernah kubaca, “Tidak ada yang mudah dalam perjalanan untuk meraih dan mendapatkan kemerdekaan di mana saja, dan banyak dari kita yang harus melewati lembah kekelaman lagi dan lagi sebelum kita bisa mencapai puncak gunung tertinggi dari keinginan kita tersebut.” Ya, ucapan lelaki legendaris idolaku itu memang benar, aku masih butuh melakukan perjalanan panjang untuk mendapatkan kemerdekaanku.

Tapi sebelum sampai di puncak gunung keinginan, biarlah aku memaknai kemerdekaan itu seperti apa kata Jim Morrison. Bahwa yang paling penting dari kemerdekaan adalah bisa menjadi sebenar-benarnya diri sendiri. Kemerdekaan itu menerima semua peran kehidupan dan kenyataan hidup serta tidak menyerah untuk menukar diri menjadi orang lain dengan berusaha mengenakan topeng.

Tuen Mun, Agustus 2016

*Cerpen ini saya tulis untuk dua sahabat saya yang sedang mencari arti kata merdeka. Semangat ya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun