Mohon tunggu...
Yuli Riswati (Arista Devi)
Yuli Riswati (Arista Devi) Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Purple Lover. I am not perfect but I am unique.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Soliloqui Kemerdekaan Seorang Perempuan Migran

17 Agustus 2016   09:16 Diperbarui: 17 Agustus 2016   09:59 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Eh tunggu dulu, jika pemikiran-pemikiran jutsru mengingatkan akan penjajahan -minimal oleh diri sendiri-, lalu bagaimana jika menjadi seperti Kakek Tang? Kakek berusia 90 tahun yang saat ini mesti kujaga itu mengidap alzheimer yang disertai demensia. Jangankan untuk mengingat pun memikirkan orang lain, semua tentang dirinya sendiri saja dia sudah lupa. Apakah Kakek Tang bisa dikatakan orang merdeka? Bukannya itu berarti Kakek Tang malah terjebak di pemakaman yang tak pernah usai, mimpi buruk yang tak berakhir atau kematian pikiran secara perlahan?

Apa Kakek Tang benar-benar bahagia dengan keadaannya? Bisa jadi kakek yang menjadi sumber penghasilanku tiap bulan itu bebas dan tidak terjajah oleh siapapun bahkan ingatannya sendiri, tapi dengan tidak sadar dia juga menjajah orang lain untuk merawat tubuh dan menjaga hidupnya yang tinggal menunggu waktu untuk menyusul kematian yang sudah dialami pikirannya. Duh, serem juga.

Hampir dua tahun aku menjaga Kakek Tang di Panti Jompo, dan aku nyaris mengenal semua penghuni panti. Dari para karyawati -Yima dan teman-temannya-, sampai beberapa keluarga yang kerap berkunjung ke panti, aku serasa sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Pekerjaanku jika dibandingkan teman-teman sesama BMI tergolong nyantai dan seperti sedang bermain-main saja. Pagi setelah beberes rumah majikan, aku pergi ke panti dan berada di ‘rumah lansia’ bersama Kakek Tang sampai ia usai menyantap menu makan malam.

Begitu rutinitasku setiap hari, hanya sesekali saja diselingi pindah tugas ke rumah sakit jika Kakek Tang sedang butuh rawat inap dengan peralatan lebih canggih. Peranku sebagai seorang pembantu sebenarnya lebih kepada menggantikan kehadiran keluarga Kakek Tang di sampingnya. Sebab untuk semua perawatan kesehatan dan sehari-hari kakek sudah ada dokter dan perawatnya. Tugasku lebih kepada mengawasi dan melaporkan apa-apa sehubungan kebutuhan dan keadaan Kakek Tang kepada majikan. Tapi apa benar itu hal mudah bagiku? Hmmm... Bisa iya, bisa juga tidak.

Bergaul dengan orang-orang tua dengan berbagai keadaannya kerap membuatku tertekan. Bahkan terkadang pikiranku bisa pergi merantau sampai ke masa tuaku. Membayangkan hal yang tidak-tidak yang kemungkinan bisa saja terjadi padaku. Melihat Kakek Lung yang tiap hari berteriak-teriak marah dari bangun tidur hingga tidur lagi, menyaksikan Nenek Wu yang bermain dan ngobrol dengan boneka tiap hari, menatap geli Kakek Wong yang seperti bocah kecil menertawakan apa saja - bahkan ketika tak ada apa-apa yang bisa ditertawakannya.

Bermacam ekspresi, bermacam keadaan, bermacam emosi, berkelindan di antara kepikunan yang kutemui di lantai lima. Sebuah flat yang lumayan luas, yang terblagi oleh papan sekat pembatas untuk membentuk lebih banyak ruangan kecil sebagai kamar tidur puluhan lansia yang tinggal bersama dalam rangka menikmati dan menghabiskan sisa-sisa hidupnya itu. Andai aku bisa biasa saja dan tidak banyak pikiran, tentunya aku akan baik-baik saja. Tapi kepalaku adalah penjajah bagi diriku. Memaksaku berpikir banyak hal dan mempekerjakan secara rodi perasaanku agar lebih peka kepada banyak hal atas apa yang terjadi dan kualami.

“Cantik, kamu masih di sini? Dari tadi kamu belum pergi makan?” Sosok Yima sudah berdiri di belakangku dengan wajah yang terlihat basah oleh keringat.

“Eh, Yima. Iya iya sekarang aku mau pergi makan.”

Segera kutinggalkan atap gedung tempatku biasa menyendiri itu. Aku tak ingin Yima bertanya lebih banyak tentang apa yang sedang kulamunkan dan kupikirkan seperti biasanya. Meski kami bukan keluarga atau saudara, naluriz keibuan Yima cukup membuatku sering terganggu oleh kekepoannya kepadaku. Yima kerap menanyakan ini itu: sudah punya pacar belum, kalau libur pergi ke mana dengan siapa dan lain sebagainya. Tapi ada kalanya kehadirannya cukup menghiburku karena di negeri asing ini masih ada orang yang mau tulus peduli padaku.

Sebelum pergi makan siang, aku menengok Kakek Tang di kamarnya. Lelaki tua yang masih menyimpan sisa-sisa ketampanan dan kegagahannya di masa lalu itu masih tertidur nyenyak. Wajahnya tampak damai, sedamai wajah bayi. Entah di dalam mimpinya apakah Kakek Tang masih memiliki ingatan atau tidak, kalau tidak berarti tidur atau terjaga adalah sama saja baginya. 

Aku kecilkan volume AC dan membenahi posisi selimut kakek sambil berbisik. “Aku pergi makan siang dulu ya, Kek?” Aku tahu Kakek Tang tidak akan mendengar pamitku atau kalaupun mendengar bukan hal penting baginya aku mau ke mana. Tapi aku hanya ingin meyakini bahwa dengan sekecil apapun komunikasi yang kami jalin, Kakek Tang tidak akan merasa sendiri dan bisa merasakan keberadaan orang-orang di sekitarnya. Bahwa meski dia tidak mengenali dirinya sendiri, masih ada orang-orang yang mengenalinya, menyayangi dan sudi merawatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun