Mohon tunggu...
Yuli Riswati (Arista Devi)
Yuli Riswati (Arista Devi) Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Purple Lover. I am not perfect but I am unique.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Soliloqui Kemerdekaan Seorang Perempuan Migran

17 Agustus 2016   09:16 Diperbarui: 17 Agustus 2016   09:59 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada yang berdiri uyel-uyelan turut bergoyang, ada yang duduk-duduk saja menonton para penonton -karena tidak bisa melihat ke arah panggung secara langsung-, dan tak sedikit pula yang menikmati waktunya sendiri tanpa peduli segala keramaian di sekitarnya. Mereka berada di lapangan itu bukan karena ada acara yang sedang berlangsung, tapi karena memang di situlah Kampung Jawa tempat mereka ‘pulang’ pada setiap hari liburnya.

Terkadang ketika sedang menjadi pemikir, aku mendadak sok kritis dan tak habis pikir, apa sebenarnya hubungan antara acara goyang dangdut yang lebih banyak seronoknya dengan hari kemerdekaan yang dirayakan. Jika perayaan kemerdekaan hanya berarti acara hiburan dan bersenang-senang, siapa juga yang sedang dihibur dan disenangkan?

Apa dan siapa yang masih bisa terhibur dan senang jika kejadiannya seperti tahun kemarin itu, banyak penonton yang dehidrasi dan pingsan karena kepanasan kemudian menjadi tajuk pemberitaan di koran dan teve lokal. Yang tentunya menuai komentar orang-orang Hong Kong: “Jisin! Sudah tahu cuaca sedang panas-panasnya, ngapain mereka nyanyi dan joget-joget di lapangan begitu? Cari masalah saja!” Aku yang sempat mendengar komentar majikanku hanya bisa nyengir dan mengucap kata ‘saya prihatin’ dalam batin.

Dari atap gedung berlantai 5 ini aku bisa melihat bendera Hong Kong dan China yang berkibar bersama bendera Hotel Mandarin Oriental di seberang jalan. Tiga bendera itu berkibar bersama dalam posisinya masing-masing. Meski terlihat sama, tapi kalau diperhatikan dengan seksama sepertinya memang sudah diatur siapa yang seharusnya berkibar lebih tinggi beberapa sentimeter dan mesti dipasang di sebelah mana. Aturan yang sudah menjadi ketetapan dan pastinya tidak bisa diganggu atau digugat, entah sampai kapan.

Aku teringat Sang Saka, bendera kebanggaan negeriku yang tentunya menurutku berkibar lebih gagah dari ketiga bendera yang kulihat itu. Ya, setidaknya Merah Putih berani berkibar sendirian tanpa perlu ditemani bendera lainnya. Mungkin sepertiku yang berani berjuang sendiri di negeri asing ini tanpa ditemani seorang saudara pun keluarga. Diam-diam mengembang rasa kebanggaan di dadaku. Rasa bangga yang hanya bisa kunikmati sendiri, rasa bangga yang tumbuh ketika aku sedang berusaha menghibur diri.

Menurut KBBI, merdeka adalah bebas dari perhambaan, penjajahan, berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Sedangkan arti kemerdekaan adalah kebebasan. Berdasarkan pengertian kata, sampai hari ini aku masih diam-diam bertanya-tanya kepada diri sendiri: apa aku ini sudah merdeka?

Jika dilihat dari semua makna kata merdeka, sebagai seorang perempuan, sebagai jomblo, juga sebagai seorang pekerja asing di luar negeri, tentunya wajar saja jika aku merasa masih terjajah, baik oleh keinginan-keinginan pribadi maupun tuntutan-tuntutan majikan dan segala tetek-bengek peraturan agen pun pemerintahan di negeri sendiri dan negeri penempatan. Lantas jika belum merdeka, bagaimana kiranya agar aku bisa benar-benar merdeka?

Apakah aku harus seperti teman-temanku yang memutuskan pulang ke kampung halaman, menikah dengan lelaki pilihan dan punya anak, kemudian tiap hari bisa pamer kemesraan dan kebahagiaan melalui postingan foto dan status di sosmed. Apakah benar begitu itu yang namanya merdeka? Bukannya itu berarti aku justru akan terjajah nafsu untuk pamer dan sok keren sendiri? Benarkah merdeka itu seperti kemesraan dan kebahagiaan yang masih butuh pengakuan dari orang lain?

Tidak cukupkah semua untuk dinikmati dan diakui sendiri? Ah, atau aku harus memutus kontrak kerja dan menanggalkan status pekerja rumah tangga asing kemudian menikah dengan orang Hong Kong atau Bule agar aku naik derajat menjadi golongan ekspatriat? Atau aku harus tetap menjomblo tetapi ganti bekerja di sektor formal, menjadi orang kantoran? Apa dengan begitu aku akan benar-benar merdeka? Benarkah pergantian status dan pekerjaan bisa berarti merdeka dan kemerdekaan?

Aku tak menyangka hanya untuk berpikir merdeka tentang kemerdekaan saja bisa membuatku semakin galau. Dan ketika kuhentikan usaha memikirkan untuk beralih ke usaha mencari tahu dengan membaca esai, cerpen dan novel, aku malah menemukan banyak hal yang membuatku ternganga. Terutama ketika membaca pemikiran liar, Tan Malaka, Pramodya, Franz Kafka dan Milan Kundera, keempat penulis legendaris idolaku itu membuat mataku terbuka dan mulai menyadari bahwa ada banyak hal di dunia ini yang belum kuketahui. Pikiranku hanyalah butiran debu di antara jutaan pemikiran para pemikir lainnya.

Mungkin kemerdekaan itu memang tidak perlu dipikirkan atau dimaknai terlalu lebay seperti yang kulakukan, sebab memang merdeka itu tidak benar-benar nyata adanya. Toh memang tak pernah ada orang yang benar-benar bisa bebas berdiri sendiri tanpa sesiapapun juga. Apalagi ketika untuk menjadi diri sendiri saja masih butuh pengakuan orang lain -minimal orang-orang terdekat kita. Ya, merdeka itu kalaupun harus dirayakan dengan dangdutan dan bergoyang di lapangan mestinya hanya sebagai cara berekspresi sambil seakan berkata; “Ini aku, peduli setan pada penilaianmu! Aku ini orang yang merdeka!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun