Menonton “Sosialisasi Tax Amnesty” di acara ILC TvOne 30 Agustus 2016, dengan judul “Yang Untung dan Yang Resah” tampaknya kurang greget, karena kajiannya masih setengah-setengah. Jadinya yang jelas untung siapa ? Pemerintah, rakyat, pembayar pajak, atau siapa ? Kalau ada yang untung, tentu ada yang yang rugi juga. Siapa yang dirugikan ? Ini sama sekali tidak diungkapkan, tetapi hanya diganti dengan yang resah saja.
Dalam pembahasan ini, tidak diulas tentang pendapat-pendapat yang menunjukkan dukungan, tetapi hanya pendapat yang menurut saya aneh saja.
Dirjen Pajak
Dirjen Pajak mengatakan bahwa penghasilan yang dikenai pajak itu tidak kenal darimanapun dan dalam bentuk apapun. Jajaran Pajak juga tidak bisa menilai uang apapun. Kalau bisa menilai berarti Dirjen Pajak melindungi “hal yang tidak benar”.
Mendengar pemaparan Pak Dirjen seperti itu, saya terkejut. Benarkah selama ini demikian ? Lalu kalau begitu, kenapa rakyat kalau menabung/setor uang di bank lebih seratus juta harus menjelaskan asal-usul uangnya, sementara jajaran pajak, gara-gara Tax Amnesty maka mereka tidak perlu mempermasalahkan darimana harta tersebut berasal ? Artinya kalau harta tersebut diperoleh dari hasil merampok, menjual narkoba, membakar hutan, perdagangan manusia , berarti jajaran Pajak tidak peduli dengan itu, yang penting pemasukan pajaknya meningkat. Kebijakan apa macam ini ? Apakah ini bukan berarti pemerintah (jajaran perpajakan) melegalkan pencucian uang namanya ?
Darusalam
Pak Darusalam mengatakan saat ini ada 37 negara yang telah melakukan Tax Amnesty, 13 negara sedang TA, 2 negara sedang diskusi TA. Kalau hal ini telah dilakukan oleh banyak negara, apakah kita tetap mengatakan bahwa TA itu jelek dan tidak adil ?
Pernyataan tersebut juga aneh, karena sepertinya hanya dilihat dari judulnya saja. Tanpa melihat dahulu isi UU-nya. Apakah mereka, terutama negara yang sudah maju itu, juga melakukan TA seperti di Indonesia saat ini ? Dimana TA ini bisa disusupi oleh para terduga koruptor atau penjahat lainnya, karena dalam program TA 2016 tidak akan dipertanyakan asal-usul hartanya. Atau, mereka benar-benar menerapkan murni pengampunan pajak ? Itupun harus dikaji lebih dalam lagi. Apakah harta tersebut diperoleh dari luar negaranya, atau seperti orang Indonesia, yang “menggarong” kekayaan di dalam negeri, tetapi kemudian hasilnya disimpan di negara lain, lalu dinvestasikan kembali ke Indonesia, atau dana tersebut masuk lagi dengan pura-pura hutang. Sama tidak ? Dari situ, nanti kita bisa mengatakan bahwa TA kita sebaik yang mereka lakukan, jadi tidak perlu dipermasalahkan !
Hotman Paris
Pak Hotman Paris mengatakan bahwa dalam program Tax Amnesty itu, masyarakat boleh memilih. Dia mau ikut sukarela atau ikut biasa. Kalau orang yang mengikuti TA itu sudah mau menundukkan diri. Jadi dimana letak tidak adilnya, dimana melanggar kosntitusinya ? Dengan TA yang berjalan ini, negara sudah dapat 5 T, bandingkan kalau diproses hukum yang dapat 100 M. Lebih bermanfaat mana ?
Dalam hal ini, Pak Hotman ada betulnya juga. Peserta TA-nya memang tidak bisa disalahkan. Karena mereka hanya memanfaatkan peraturan yang sedang berjalan. Sedang yang membuat peraturan itu adalah pemerintah dan DPR. Tetapi, bagaimana kalau ternyata di antara mereka ada yang bermain di belakang layar ?
Bagi saya dan orang-orang yang peduli masa depan bangsa Indonesia, kebijakan itu tidak bisa diterima ! Karena tinjauannya hanya dilihat dari kepentingan pemerintah, para peserta TA, juga perhitungan teoritis dari kajian ekonomi. Tidak melihat kepentingan secara komprehensif dan dampak secara luas terhadap rakyat umum (hukum, sosial, dll). Apalagi ketika sosialisasi TA tersebut, untuk yang di Jakarta, Pak Jokowi bahkan mendatangkan Kapolri, Jaksa Agung dan Pimpinan PPATK, yang katanya sebagai jaminan biar calon peserta TA bertambah yakin. Bu Sri Mulyani juga telah melakukan koordinasi dengan mereka. Itu maksudnya apa ? Pungutan pajak kan tidak ada kaitannya dengan mereka sama sekali.
Hendrawan (Anggota DPR dari PDIP)
Beliaunya yang berlatar belakang ekonomi itu mengatakan, bahwa saat ini kalau tidak ada tambahan pajak berarti negara harus utang. Juga TA itu merupakan bagian dari reformasi perpajakan. Tentang keuntungan TA, itu sudah dikalibrasi berulang –ulang terhadap azas-azasnya, yaitu : adil, manfaat, kepentingan nasional dan kepastian hukum. Tetapi yang dijelaskan pada saat itu cuma 2, yaitu dari sisi kepastian hukum dan manfaat.
Dari kepastian hukum, menurut beliaunya, TA merupakan hak bukan kewajiban. Jadi TA ini akan memberikan benefit /keuntungan bagi ybs. Kalau sebagai kewajiban, berarti Wajib Pajak akan keluar biaya/cost lagi.
Katakanlah benar itu merupakan hak, kenapa harus ditakut-takuti, kalau tidak ikut nantinya bisa dikenakan denda berlipat. Sampai hal ini membuat keresahan dimana-mana. Namun, untuk para pensiunan atau yang tidak punya penghasilan, ini sudah diralat, boleh tidak ikut TA, tapi perbaiki SPT saja. Sedangkan untuk yang lainnya, para pengusaha kecil dan menengah, bagaimana ?
Padahal di tengah-tengah lesunya perekonomian, seharusnya mereka ini justru didorong agar bisa tetap eksis atau terus berkembang. Kalau mereka justru dikejar-kejar pemerintah, mereka yang masih bisa bernafas tentu akan memilih ikut TA untuk bertahan. Padahal yang dibutuhkan oleh pemerintah, mereka itu tidak sekedar bertahan tetapi terus berkembang agar pemerintah juga mendapatkan manfaatnya, yaitu perluasan lapangan kerja.
Lalu dari sisi manfaat, menurut Pak Hendrawan, TA ini akan mendorong orang untuk berlaku jujur. Benarkah TA ini bisa mendorong orang untuk berlaku jujur ? Kejujuran seperti apa yang dimaksudkan ? Kalau orang jujur (tidak terkait tindakan asusila) itu tidak akan takut diketahui semua orang. Tetapi di sini, kejujurannya harus dirahasiakan agar tidak diketahui banyak orang. Padahal, tentang memiliki harta yang banyak itu sebenarnya bukanlah hal yang memalukakan, dan perlu ditakuti. Bahkan sekarang sudah diumumkan orang-orang terkaya di berbagai negara.
Sebaliknya, untuk para penyelenggara TA-nya , justru di ancam dengan hukuman pidana kalau mereka mau jujur. Salahnya apa, kalau mereka mau memberitahukan ada indikasi tindak kejahatan yang perlu ditindak-lanjuti oleh para penegak hukum. Apa mereka melakukan tindak kejahatan, sampai-sampai harus dipidanakan ? Kalau mereka diam, padahal mereka mencurigai adanya sesuatu yang jahat, misalnya terkait korupsi, narkoba, perdagangan manusia, terorisme, perusakan lingkungan; maka berarti ini justru melindungi perbuatan yang tidak benar. Ekstrimnya berarti mereka telah melindungi para pelaku tindak kejahatan yang seharusnya menjadi musuh kita semua. Kalau kenyataannya demikian, apa UU yang seperti ini masih bisa dibenarkan ?
Yustinus Prastowo
Beliaunya mengatakan bahwa Tax Amnesty ini sudah adil, karena mengampuni orang yang memiliki simpanan di luar negeri dan di dalam negeri . Dan, TA ini bukan aib, karena itu pejabatnya diharapkan mau memberikan contoh. Juga dalam hal ini ada kepentingan yang lebih lebih besar yang harus dijaga. Demikian juga menurut Pak Hendro (Humas Kemenkeu): TA ini adil karena Wajib Pajak yang besar dan yang kecil sama-sama akan dapat hak untuk mengukuti TA.
Benarkah kebijakan TA ini adil ?
Bagaimana kita menilai sesuatu itu adil ? Keadilan di negara ini diperuntukkan untuk siapa ? Untuk para pejabat, untuk para pengusaha, untuk para wajib pajak atau untuk seluruh rakyat Indonesia ? Kalau berbicara tentang kebijakan negara, seharusnya keadilan itu tentu untuk seluruh rakyat Indonesia bukan hanya berlaku untuk sekelompok golongan tertentu saja.
Sekarang TA 2016 itu, adilkah bagi seluruh rakyat Indonesia ? Tidak, karena TA ini bisa menguntungkan mereka yang mencari kekayaan secara tidak benar (jahat) untuk bisa tetap kaya, sementara yang mencari uang secara benar justru sulit untuk bisa kaya. TA ini, juga hanya menguntungkan mereka yang menunggak pajak dan yang belum membayar pajak. Sementara yang sudah membayar pajak secara benar justru tidak dapat apa-apa. Lalu adilnya di mana ?
Kemudian dikatakan pula, bahwa ikut TA ini bukan aib. Kalau bukan aib, kenapa mesti dirahasiakan ? Bukankah kalau kita bisa menjadi orang yang sukses dengan cara yang benar itu justru bangga ?
Misbakun
Pak Misbakun mengatakan orang yang “mempermasalahkan” TA dicurigai tidak pernah membaca UU-nya. Padahal tujuan TA itu, sbb:
- Mempercepat pertumbuhan dan retstrukturisasi ekonomi dengan pengalihan harta kekayaan WNI yang di luar negeri
- Mendorong reformasi pajak dan basis pajak
- Meningkatkan penerimaan pajak
Masih menurut Pak Misbakun, TA ini hanya terkait dengan pajak saja. Tidak dikaitkan dengan yang lain. Ini juga merupakan solusi untuk meningkatkan stagnasi pertumbuhan wajib pajak, disela-sela naiknya target pajak.
Bagi orang yang tidak cermat, apa yang disampaikan ini seolah-olah seperti sesuatu yang hebat ! Karena ini dianggap sebagai upaya menyelamatkan negara. Benarkah demikian ?
Kalau kita hanya melihat tujuannya saja, semua pasti sepakat. Betul itu, apalagi kalau ditekankan bahwa kita akan mengalihkan kekayaan orang Indonesia yang di luar negeri untuk ditarik kembali ke tanah air. Belum lagi kalau dibumbui ini akan membuat negara tetangga yang selama ini merendahkan negara kita akan menjadi kalang kabut, dll. Pasti kita akan bertepuk tangan dan akan banyak yang akan mendukung.
Yang menjadi permasalahan, yaitu bagaimana caranya untuk bisa mewujudkan tujuan tersebut ? Caranya tepat atau tidak ? Cara yang disodorkan pemerintah dan DPR yaitu dengan pengampunan pajak. Dimana hal tersebut sebenarnya sudah pernah dilakukan pada tahun 1964 dan 1984. Namun cara tersebut dinilai gagal, karena waktu itu memang benar-benar murni pengampunan pajak.
Sementara untuk TA 2016 diberikan tambahan iming-iming tidak dipermasalahkan asal-usul hartanya. Dan, di sinilah justru poin pentingnya. Dampaknya, ini akan memberi celah penyusupan bagi orang yang hartanya memang diperoleh dari tindak kejahatan: korupsi, narkoba, perdagangan manusia, dll. Relakah kita membiarkan orang-orang tersebut tetap atau semakin kaya dengan hasil tindak kejahatannya ? Bolehkan jajaran pajak mengabaikan asal-usul harta peserta TA, sementara kalau mau setor uang di bank di atas 100 juta saja harus disebutkan asal uangnya darimana ? Apalagi kalau kita sadar bahwa harta para “penyusup”yang diikutkan TA itu, sesungguhnya adalah hartanya rakyat Indonesia. Oleh karena itu, maaf, kebijakan ini bodoh, aneh, lucu, atau memiliki agenda tersembunyi ?
Jadi, kalau Pak Misbakun mengatakan bahwa orang-orang yang menolak UU Tax Amnesty ini adalah mereka yang belum membaca UU Tax Amnesty, maka bisa dikatakan bahwa itu hanya tuduhan asal ngomong saja. Sebaliknya bisa ditanyakan kepadanya: “Apakah ketika menyetujui UU Tax Amnesty ini , telah membaca dengan teliti apa yang akan setujuinya itu ? Atau Cuma dilihat judulnya saja ?”
Refli Harun
Pasal 20 UU Tax Amnesty
Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang initidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.
Penjelasan Pasal 20
Tindak pidana yang diatur meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain.
***
Menurut Pak Refli Harun, pasal 20 itu tidak bisa menjadi jalan “melenggang” untuk para koruptor. Sebab di pasal tersebut hanya melarang Penyelenggara Tax Amnesty memberikan informasi ke siapapun, tetapi kalau Kepolisian ternyata menemukan sendiri data peserta TA yang bermasalah, maka akan tetap bisa bertindak.
Artinya apa ? Selama Polisi belum mampu memburu data sendiri, maka peserta TA yang bermasalah masih aman. Pada sisi lain, ada data-data harta yang mencurigakan di Perpajakan diabaikan saja, bahkan justru dikenai pajak. Apa ini namanya tidak menjadi tempat persembunyian yang kasat mata ? Bank saja kalau menerima setoran uang lebih dari 100 juta harus menjelaskan dananya berasal dari mana, supaya nantinya bisa diselidiki kalau ternyata ada permasalahan.
Lalu, kalau selanjutnya Kepolisian, Kejaksaan dan PPATK berhasil mengungkap indikasi adanya tindak kejahatan oleh mereka yang sudah mengikuti program TA; apa yang akan terjadi ? Apakah pajak yang sudah digunakan oleh pemerintah itu akan disita oleh aparat ? Apa pemerintah tidak akan menanggung malu, kalau kasus ini terjadi ?
Atau hal tersebut sudah dibahas dalam koordinasi menyamakan persepsi antara Menkeu, Kepolisian, Kejaksaan dan PPATK ? Sehingga ketika sosialisasi TA di Jakarta yang dihadiri sekitar 10.000 orang itu, Pak Jokowi juga menghadirkan Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua PPATK, yang dikatakannya itu sebagai jaminan supaya calon-calon peserta TA benar-benar percaya kepada pemerintah.
Artinya tidaklah salah, kalau hal ini kemudian dicurigai sebagai agenda tersembunyi atau jalur kompromi pihak-pihak yang berkepentingan untuk bisa aman dalam waktu 3 tahun. Kalau tidak, buat apa pemerintah memaksakan diri pemberlakuan TA menjelang era keterbukaan informasi 2017 ? Bukankah mereka justru akan bisa dikejar hartanya? Apalagi nama, alamat, paspornya sudah berada “di kantongnya” Pak Jokowi. Kenapa mesti diberikan TA ? Pernahkan para pembuat kebijakan atau Pak Refli Harun dkk memikirkan hal ini ?
Manfaat Umum yang Diekspos
Manfaat yang diekpos oleh pihak yang menyetujui Tax Amnesty 2016 hanya menonjolkan dari sisi penerimaan negara dan perekonomian. Nanti kalau program TA ini berhasil, berarti kita semua akan dapat manfaatnya, sbb.: negara dapat uang tebusan, ada investasi baru, nilai tukar rupiah menguat, industri berkembang, pembangunan infrastruktur jalan, pertumbuhan ekonomi meningkat, lapangan kerja /tenaga kerja bertambah, daya beli meningkat, muncul subjek dan objek pajak baru, dan ujungnya penerimaan negara meningkat. Betapa indahnya rangkaian harapan tersebut. Dan, yang lebih penting lagi namun tidak ditonjolkan, yaitu bisa menyelamatkan APBN 2016 yang terancam gagal.
Mereka tidak peduli bahwa manfaat yang didapatkan itu akan berbenturan dengan kepentingan yang lainnya, misalnya dari sisi hukum. Bagaimana mungkin orang yang seharusnya bisa diduga sebagai pelaku tindak kejahatan, justru dapat kemudahan minimal aman selama 3 tahun ? Bahkan kemudian dianggap sebagai pahlawan ? Dari sisi keadilan, ini akan memicu kecemburuan pihak yang lainnya, “ Enak ya, orang kaya boleh tidak membayar pajak, sementara yang pas-pasan dikejar-kejar dengan denda yang berlipat.” Dari sisi sosial, sesama rakyat Indonesia ternyata diperlakukan berbeda-beda. Dari sisi budaya dan pendidikan non formal, pemerintah justru mengajari rakyatnya bahwa kita boleh menghalalkan segala cara (menerabas hukum), kalau kita sudah dalam kondisi “terpaksa”. Dimana hal ini akan membentuk mindset yang buruk bagi anak bangsa, yaitu melakukan “dosa” itu tidak apa-apa, dan tidak perlu malu, karena pemerintahpun melakukan hal seperti itu.
Belum lagi dampak dari kebijakan ini, para penegak hukum dan PPATK bisa jadi serba salah. Pak Tito yang oleh banyak orang “dikagumi”, sekarang jadi dipertanyakan. Sekarang kenapa tidak terdengar lagi gaungnya ? PPATK, jadi tidak bisa bekerja secara maksimal. Kejaksaan dan kehakimanpun jadi berkurang pekerjaannya.
Andaikan TA itu sukses 100%, sehingga negara dapat tebusan 165 T dan dana deklarasi 1000 T, dan dana Repatriasi 4000 T yang bisa digunakan untuk investasi selama 3 tahun di Indonesia. Artinya APBN 2016 selamat, rupiah menguat, Investasi meningkat, basis pajak meningkat, pemasukan pajak meningkat, lapangan kerja bertambah, pendapatan rakyat meningkat, dll. Negara lainpun “kelabakan” karena dana WNI-nya sudah pulang ketanah air. Selanjutnya kira-kira, kalau manusia yang normal, “iri” atau tidak dengan nasib orang-orang yang beruntung berkat TA ini ?
Lalu, pernahkah terpikirkan dampak lain yang bisa terjadi akibat dari “kesuksesan” program TA 2016 tersebut, dimana ini juga akan membuat kesenjangan sosial semakin tinggi, kemunafikan semakin parah karena orang baik dan orang jahat semakin tidak bisa dibedakan, ketidak-adilan dilakukan secara kasat mata, hedonisme semakin meraja-lela, ibadah hanya jadi sekedar topeng. Di samping itu, tentunya kita juga akan “mendapatkan perlawanan” atau “serangan balik” dari negara yang terkena dampaknya. Serta image negara kita di mata internasionalpun buruk, karena kita menerapkan model TA yang berbeda.
Apalagi kalau kita lihat realita yang terjadi di negara ini selalu aneh. Gaji dinaikkan korupsi semakin besar, bahkan ibadah keagamaanpun dijadikan sarana untuk bisa korupsi. Teknologi dan infrastruktur semakin maju, justru kejahatan semakin meningkat kualitas dan kuantitasnya, tindakan amoral semakin luar biasa, suap dan pemalsuan semakin merambah semua sektor. Bandar narkoba dihukum mati, narkoba semakin marak bahkan pejabat negarapun kena. Seremonial ibadah luar biasa, tetapi kemunafikannya semakin parah. Juga mafia hukumnya semakin luar biasa.
Kalau TA 2016 ini terus dipaksakan, maka harga diri pemerintah di mata rakyatnya, bagaimana ? Sudahkah pemerintah , DPR, dan pihak yang setuju dengan TA 2016 ini membuat antisipasi untuk mengatasi semua hal yang bisa terjadi ? Dengan apa ? Dengan sistem hukum yang sudah carut marut ini ?
Mohon untuk direnungkan ! Sebandingkah besarnya uang tebusan 165 trilyun itu dengan kerusakan sistem hukum yang akan terjadi ? Sebandingkah dampak investasi portofolio 4000 trilyun, kalau ancaman kerusakan moral justru di depan mata ? Sebandingkah itu semua dengan hilangnya wibawa pemerintah ?
Upaya Selain Tax Amnesty
Semua orang yang mendukung TA 2016 berdalih, bahwa itulah satu-satunya kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan negara (APBN 2016) dan meningkatkan investasi. Benarkah demikian ?
Tidak adakah kebijakan lain yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan APBN 2016 dan meningkatkan investasi di masa depan? Jawabnya: ada. Selain apa yang sudah dilakukan oleh Bu Sri Mulyani dengan potong anggaran, sebenarnya masih ada cara-cara lain yang bisa dilakukan. Tetapi saya tidak mungkin bisa mengungkapkan semuanya di sini. Karena, ibarat “strategi perang”, sejatinya itu harus dirahasiakan bukan ?
Cara yang lain, saya pernah mengusulkan konsep UU Pembuktian Terbalik, dan sudah saya kirimkan kepada presiden, komisi III, dan DPD sebelum UU Tax Amnesty ini disetujui. Sayangnya, tidak direspon ! Padahal kalau yang dipilih itu UU Pembuktian terbalik, maka nantinya negara ini bisa memiliki uang yang banyak. Rakyat, pengusaha, aparat pemerintah serta pejabatnya jadi banyak yang bersih. Dan negara kita bisa cepat bangkit menuju Indonesia yang sejahtera. Tapi, di negeri kita memang penuh misteri, kalau ada solusi yang baik justru diabaikan, sementara kalau solusinya menyesatkan justru dijadikan pilihan. Lihat ini.
Sebenarnya untuk memperjuangkan UU Pembuktian Terbalik ini, saya juga menggalang dukungan masyarakat luas melalui https://www.change.org/p/presiden-ri-perjuangkan-konsep-uu-pembuktian-terbalik-ini-menjadi-ruu . Tetapi hasilnya, sangat memprihatinkan. Responnya minim sekali, hanya 37 orang yang mendukung. Padahal yang tahu, lebih dari 1300 orang.
Ada yang mengatakan bahwa hal itu sulit untuk dilakukan, karena nantinya harus dapat persetujuan dari DPR dahulu ! Kenapa sulit dilakukan ? Bukankah Pak Jokowi banyak didukung rakyat ? Kalau mau “berkomunikasi” dengan mereka, pasti akan didukung. Jadi tak perlu khawatir, sebagian besar anggota DPR itu akan menghadang atau menolaknya. Kalau rakyat mendukung, apa yang akan mereka lakukan ?
Apakah kita tidak tahu adanya kasus Pak Ahok dengan DPRD DKI ? Beliaunya tetap bisa menjalankan pemerintahan yang membuat banyak orang menjadi “angkat topi”, walaupun sama DPRD-nya dihadang sedemikian rupa. Bahkan warga berusaha mencarikan solusinya, ketika beliaunya ini mendapat tekanan dari berbagai penjuru. Kalau masyarakat luas sudah mengetahui, bahwa pemimpinnya benar-benar melakukan yang terbaik buat rakyatnya, maka kebijakan yang seolah tidak menarik, misalnya penggusuran-penggusuran rumah, akhirnya jadi didukung. Demikian juga seandainya Pak Jokowi mau memilih menerapkan UU Pembuktian Terbalik ini. Pak Jokowi harus tampil di depan untuk menjadi panutan rakyatnya. Tetapi syaratnya memang Pak Jokowi harus memiliki kemampuan “lebih”, atau paling tidak ada teman yang bisa diajak tukar pikiran untuk bisa menemukan terobosan-terobosan kebijakan yang mampu menjadi jalan keluar dari berbagai kesulitan yang ada.
Jadi kalau sampai saat ini saya terus memperjuangkan “tolak Tax Amnesty model 2016” ini, bukan berarti saya ingin menggagalkan program pemerintah untuk menyelamatkan APBN 2016. Juga bukan karena saya telah menjadi antek asing. Hal ini terus saya lakukan, karena saya bisa menunjukkan solusi lainnya yang tidak “membahayakan” negara, kalau pemerintah memang mau. Di sini. Dan yang saya lakukan ini, semata karena ingin menyelamatkan Pak Jokowi (aset bangsa) dari permasalahan yang lebih rumit lagi. Ingat "kengototan-kengototan" beliaunya yang sudah berakibat negatif: BBM naik yang kemudian terselamatkan dengan turunnya harga minyak dunia, utang luar negeri yang berbuah terancamnya kedaulatan bangsa, Tol Brebes yang membawa korban, dll. Andaikan saat itu, kita bisa “mencegah” pilihan-pilihan kebijakan yang tidak tepat tersebut, tentu permasalahan bangsa Indonesia bisa terurai lebih cepat, dan kondisi bangsa kita bisa lebih baik lagi. Jadi, agar Indonesia tidak dijuluki sebagai "bangsa keledai" akibat terus terperosok berkali-kali pada lubang yang sama, makanya kita semua perlu memperjuangkan hal ini.
Semoga Kepala BIN yang baru mampu menemukan paradigma baru, dan mau menyampaikan hal ini kepada Pak Jokowi !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H