Bagi saya dan orang-orang yang peduli masa depan bangsa Indonesia, kebijakan itu tidak bisa diterima ! Karena tinjauannya hanya dilihat dari kepentingan pemerintah, para peserta TA, juga perhitungan teoritis dari kajian ekonomi. Tidak melihat kepentingan  secara komprehensif dan dampak secara luas terhadap rakyat umum (hukum, sosial, dll). Apalagi  ketika sosialisasi  TA tersebut,  untuk yang di Jakarta, Pak Jokowi  bahkan mendatangkan Kapolri, Jaksa Agung dan Pimpinan PPATK, yang katanya sebagai jaminan biar calon peserta TA bertambah yakin. Bu Sri Mulyani juga telah melakukan koordinasi dengan mereka. Itu maksudnya apa ? Pungutan pajak kan tidak ada kaitannya dengan mereka sama sekali.
Hendrawan (Anggota DPR dari PDIP)
Beliaunya yang berlatar belakang ekonomi itu mengatakan, bahwa saat ini kalau tidak ada tambahan pajak berarti negara harus utang. Juga TA itu merupakan bagian dari reformasi perpajakan.  Tentang keuntungan TA, itu sudah dikalibrasi berulang –ulang terhadap azas-azasnya, yaitu : adil, manfaat, kepentingan nasional dan kepastian hukum. Tetapi yang dijelaskan  pada saat itu cuma 2, yaitu dari sisi kepastian hukum dan manfaat.
Dari kepastian hukum, menurut beliaunya, TA merupakan hak bukan kewajiban. Jadi TA ini akan memberikan  benefit /keuntungan bagi ybs.  Kalau sebagai kewajiban, berarti Wajib Pajak akan keluar biaya/cost lagi.
Katakanlah benar itu merupakan hak, kenapa harus ditakut-takuti, kalau tidak ikut  nantinya bisa dikenakan denda berlipat. Sampai hal ini membuat keresahan dimana-mana. Namun,  untuk para pensiunan atau yang tidak punya penghasilan, ini sudah diralat, boleh tidak ikut TA, tapi perbaiki SPT saja. Sedangkan  untuk yang lainnya, para pengusaha kecil dan menengah, bagaimana ?
Padahal di tengah-tengah  lesunya perekonomian, seharusnya mereka ini justru didorong agar bisa tetap eksis atau terus berkembang. Kalau mereka justru dikejar-kejar pemerintah, mereka  yang masih bisa bernafas tentu akan memilih ikut TA untuk bertahan. Padahal yang dibutuhkan oleh pemerintah, mereka itu tidak sekedar bertahan tetapi terus berkembang agar pemerintah juga mendapatkan manfaatnya, yaitu perluasan lapangan kerja.
Lalu dari sisi manfaat, menurut Pak Hendrawan,  TA ini akan mendorong orang untuk berlaku jujur. Benarkah TA ini bisa  mendorong orang untuk berlaku jujur ? Kejujuran  seperti apa yang dimaksudkan ? Kalau orang jujur  (tidak terkait tindakan asusila) itu tidak akan takut diketahui semua orang. Tetapi di sini, kejujurannya harus dirahasiakan agar tidak diketahui banyak orang. Padahal, tentang memiliki harta yang banyak itu sebenarnya bukanlah hal yang memalukakan, dan perlu ditakuti. Bahkan sekarang sudah diumumkan orang-orang terkaya di berbagai negara.
Sebaliknya, untuk para penyelenggara TA-nya , justru di ancam dengan hukuman pidana kalau mereka mau jujur. Salahnya apa, kalau mereka mau memberitahukan ada indikasi tindak kejahatan yang perlu ditindak-lanjuti oleh para penegak hukum. Apa mereka melakukan tindak kejahatan, sampai-sampai harus dipidanakan ? Kalau mereka diam, padahal mereka mencurigai adanya sesuatu yang jahat,  misalnya terkait korupsi, narkoba, perdagangan manusia, terorisme, perusakan lingkungan;  maka berarti ini justru  melindungi  perbuatan yang tidak benar. Ekstrimnya berarti mereka telah melindungi para pelaku tindak kejahatan yang seharusnya menjadi musuh kita semua. Kalau kenyataannya  demikian,  apa UU yang  seperti ini masih bisa dibenarkan ?
Yustinus Prastowo
Beliaunya mengatakan bahwa Tax Amnesty  ini sudah adil, karena mengampuni orang yang memiliki simpanan di luar negeri dan di dalam negeri . Dan, TA ini bukan aib,  karena itu pejabatnya  diharapkan mau memberikan contoh.  Juga dalam hal ini ada kepentingan yang lebih lebih besar yang harus dijaga. Demikian juga menurut Pak Hendro (Humas Kemenkeu): TA ini adil karena  Wajib Pajak  yang besar dan yang kecil sama-sama akan dapat hak untuk mengukuti TA.
Benarkah  kebijakan TA ini adil ?