Bagaimana kita menilai sesuatu itu adil ? Keadilan di negara ini diperuntukkan untuk siapa ? Untuk para pejabat, untuk para pengusaha, untuk para wajib pajak atau untuk seluruh rakyat Indonesia ? Kalau berbicara tentang kebijakan negara, seharusnya keadilan itu tentu untuk seluruh rakyat Indonesia bukan hanya berlaku untuk sekelompok golongan tertentu saja.
Sekarang TA 2016 itu, adilkah bagi seluruh rakyat Indonesia ? Tidak, karena TA ini bisa menguntungkan mereka yang mencari kekayaan secara tidak benar (jahat) untuk bisa tetap kaya, sementara yang mencari uang secara benar justru sulit untuk bisa kaya. TA ini, juga hanya menguntungkan mereka yang menunggak pajak dan yang belum membayar pajak. Sementara yang sudah membayar pajak secara benar justru tidak dapat apa-apa. Lalu adilnya di mana ?
Kemudian dikatakan pula, bahwa ikut TA ini bukan aib. Kalau bukan aib, kenapa mesti dirahasiakan ? Bukankah kalau kita bisa menjadi orang yang sukses dengan cara yang benar itu justru bangga ?
Misbakun
Pak Misbakun mengatakan orang yang “mempermasalahkan” TA dicurigai tidak pernah membaca UU-nya. Padahal tujuan TA itu, sbb:
- Mempercepat pertumbuhan dan retstrukturisasi ekonomi dengan pengalihan harta kekayaan WNI yang di luar negeri
- Mendorong reformasi pajak dan basis pajak
- Meningkatkan penerimaan pajak
Masih menurut Pak Misbakun, TA ini hanya terkait dengan pajak saja. Tidak dikaitkan dengan yang lain. Ini juga merupakan solusi untuk meningkatkan stagnasi pertumbuhan wajib pajak, disela-sela naiknya target pajak.
Bagi orang yang tidak cermat, apa yang disampaikan ini seolah-olah seperti sesuatu yang hebat ! Karena ini dianggap sebagai upaya menyelamatkan negara. Benarkah demikian ?
Kalau kita hanya melihat tujuannya saja, semua pasti sepakat. Betul itu, apalagi kalau ditekankan bahwa kita akan mengalihkan kekayaan orang Indonesia yang di luar negeri untuk ditarik kembali ke tanah air. Belum lagi kalau dibumbui ini akan membuat negara tetangga yang selama ini merendahkan negara kita akan menjadi kalang kabut, dll. Pasti kita akan bertepuk tangan dan akan banyak yang akan mendukung.
Yang menjadi permasalahan, yaitu bagaimana caranya untuk bisa mewujudkan tujuan tersebut ? Caranya tepat atau tidak ? Cara yang disodorkan pemerintah dan DPR yaitu dengan pengampunan pajak. Dimana hal tersebut sebenarnya sudah pernah dilakukan pada tahun 1964 dan 1984. Namun cara tersebut dinilai gagal, karena waktu itu memang benar-benar murni pengampunan pajak.
Sementara untuk TA 2016 diberikan tambahan iming-iming tidak dipermasalahkan asal-usul hartanya. Dan, di sinilah justru poin pentingnya. Dampaknya, ini akan memberi celah penyusupan bagi orang yang hartanya memang diperoleh dari tindak kejahatan: korupsi, narkoba, perdagangan manusia, dll. Relakah kita membiarkan orang-orang tersebut tetap atau semakin kaya dengan hasil tindak kejahatannya ? Bolehkan jajaran pajak mengabaikan asal-usul harta peserta TA, sementara kalau mau setor uang di bank di atas 100 juta saja harus disebutkan asal uangnya darimana ? Apalagi kalau kita sadar bahwa harta para “penyusup”yang diikutkan TA itu, sesungguhnya adalah hartanya rakyat Indonesia. Oleh karena itu, maaf, kebijakan ini bodoh, aneh, lucu, atau memiliki agenda tersembunyi ?
Jadi, kalau Pak Misbakun mengatakan bahwa orang-orang yang menolak UU Tax Amnesty ini adalah mereka yang belum membaca UU Tax Amnesty, maka bisa dikatakan bahwa itu hanya tuduhan asal ngomong saja. Sebaliknya bisa ditanyakan kepadanya: “Apakah ketika menyetujui UU Tax Amnesty ini , telah membaca dengan teliti apa yang akan setujuinya itu ? Atau Cuma dilihat judulnya saja ?”