Mohon tunggu...
Y ANISTYOWATIE
Y ANISTYOWATIE Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Berusaha menemukan solusi permasalahan bangsa, blog saya: www.anisjasmerah.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tuduhan BPK: Salah Alamat?

24 Juni 2016   13:04 Diperbarui: 25 Juni 2016   05:45 1922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun karena BPK sengaja mengabaikan fakta dokumen sertifikat dari BPN dan dokumen tagihan pajak dari Dirjen Pajak (entah maksudnya apa), ini yang perlu dicurigai ! Kenapa BPK tidak mau  mengklarifikasi adanya dokumen tersebut kepada BPN,  siapa yang memberi  alamat Kyai Tapa ? Juga klarifikasi kepada Dirjen Pajak, siapa yang menentukan NJOP ? Apakah gubernur DKI ? Karena kunci permasalahan dan kebenarannya justru di sini. Sepertinya Pergub tentang NJOP diduga dibuat oleh gubernur, sehingga mereka tidak mau melakukan  klarifikasi. Padahal gubernur itu hanya mengumumkan adanya perubahan kenaikan NJOP kepada pihak yang terkait.

Katakanlah Pak Ahok melakukan kesalahan tidak menjalani prosedur pengadaan barang, walaupun sebenarnya ini masih diperdebatkan dengan adanya 2 Perpres tersebut. Tetapi Pak Ahok  itu membayar tanah seharga  NJOP,  karena sertifikat tanah yang dibeli tersebut alamatnya memang berada di Jl. Kyai Tapa dengan NJOP-nya sekitar Rp 20 jutaan, walaupun dari fakta lapangan seharusnya alamatnya Jl. Tomang Utara. Inilah andil BPN dalam kasus terjadinya “kasus Sumber Waras”. Tidak melihat fakta lapangan ketika memecah sertifikatnya. Dan, mungkin Pak Ahokpun sebelumnya tidak tahu kalau kedua sertifikat tersebut pemiliknya berbeda. Apalagi ketika kunjungan ke lokasi tentunya akan lewat Jl. Kyai Tapa. Akhirnya yang  menjadi “korban atau dikorbankan”, yaitu Pak Ahok.

Tuduhan Merugikan Negara

Pak Ahok dituduh membeli tanah dengan harga yang terlalu mahal. Sampai-sampai Pak Prijanto mantan Wagub DKI yang mundur itu mengatakan seharusnya Pak Ahok bisa membeli tanah tersebut dengan harga di bawah NJOP. Apa beliaunya tidak pernah beli tanah, sehingga tidak tahu kalau  harga NJOP itu biasanya  dibawah harga pasar dan akan menjadi rebutan banyak pihak. Lalu,  kalau membelinya di bawah harga NJOP, menghitung pajaknya  bisa memakai harga pasar yang lebih murah dari yang tertera dalam NJOP, begitu ? Kemudian  yang tombok kekurangan bayar pajak atas harga NJOP siapa ?

Seandainya BPK mau menginvestigasi  data yang  lengkap, baik dokumen negara dan informasi lapangan tentu tidak akan salah dalam mengambil kesimpulan. Tetapi karena investigasinya ditengarai disesuaikan dengan hasil audit keuangan yang sebelumnya, terbukti menolak adanya data dokumen resmi negara berupa sertifikat dan tagihan pajak, dengan dalih tidak menggunakan logika, maka hasilnya menjadi jauh berbeda bahkan bertolak belakang, yaitu dari tidak korupsi menjadi ada korupsi. Itupun kalau kita memaksakan diri mengikuti pengertian yang dibuat oleh DPR bahwa walaupun hanya  menguntungkan orang lain sudah bisa dikatakan korupsi.

“Kalau definisinya seperti itu, bisa jadi semua  transaksi beli tanah oleh pejabat dimanapun bisa dikatakan akan menguntungkan pihak lain.” Seharusnya definisi tersebut direvisi: menguntungkan pihak lain dan diri sendiri atau keluarganya. (Ada kerja sama saling menguntungkan, dengan merugikan pihak tertentu).

Mestinya  sebelum sampai pada kesimpulan Pak Ahok telah merugikan negara sebesar 191 M,  BPK harus menginvestigasi  BPN-nya terlebih dahulu. Mengapa bisa terjadi  perbedaan fakta lapangan dengan  dokumen sertifikat tersebut ? Siapa yang salah dalam hal ini ? Apakah ada “permainan” di sini, atau murni keteledoran dari pihak BPN? Karena, kalau benar yang dikatakan BPK, berarti pemilik sertifikat ini bisa menggugat BPN karena dia telah memiliki kelebihan bayar (walaupun faktanya bayarnya masih nunggak ya.., karena mungkin harganya kemahalan). 

Sebab informasi yang saya tahu dari Pak Prijanto di ILC , NJOP Jl. Tomang Utara hanya Rp 7 juta-an per m2, sedangkan  NJOP Jl. Kyai Tapa sekitar 20 jutaan/m2. Selisihnya jauh sekali ! Dan,  ini tentunya akan merugikan penerimaan pajak negara. Pada sisi lain, ada pertanyaan mengapa PT KCU tidak juga menawar  mendekati harga NJOP Tomang Utara, tetapi  menawar Rp 15 juta-an per m2,  dimana tawaran ini justru melebihi NJOP Kyai Tapa yang saat itu masih Rp 12 juta-an per m2 ?

Kalau benar apa yang dikatakan BPK, berarti Pemprop DKI jadi kelebihan bayar dan nantinya harus meminta kelebihan bayarnya pada YKSW.  Kalau  tidak mungkin, berarti bisa menggugat BPN atas kesalahan alamat pada sertifikat tersebut. Maka yang terlibat dalam kasus “Sumber Waras”, akan semakin banyak pula.

Kalau  BPK tidak gegabah dalam melakukan audit investigasi, seharusnya melihat kasus Sumber Waras ini bisa dipetakan menjadi 2 kemungkinan permasalahan:

1. Kalau NJOP- nya dipaksa ikut Jl. Tomang Utara seperti kemauan BPK dan kawan-kawan yang pro- BPK, maka implikasinya BPN harus mengganti alamat sertifikat tanah Pemprop DKI tersebut. Lalu dampaknya:

  • BPK telah merugikan pemasukan pajak negara dari Kyai Tapa menjadi Tomang Utara. Artinya akan menampar muka sendiri, yang merugikan pemasukan  negara siapa ?
  • Pemkot DKI merasa kelebihan bayar kepada YKSW dan harus meminta balik uang lebihnya, atau meminta ganti kerugian kepada BPN atas kelebihan bayar tersebut. Dan,  Pak Ahok tetap bebas dari tuduhan korupsi karena kesalahan bukan pada dirinya tetapi pada BPN. Dengan kata lain, Pemprop DKI semakin untung karena dapat harga lebih murah dan nantinya kalau kena pajak juga akan  lebih murah.
  • Yayasan  Kesehatan Sumber Waras (YKSW) bisa menuntut kelebihan bayar kepada Direktorat Pajak
  • BPK harus merevisi kerugian dalam audit keuangan dan audit investigasi Pemprop DKI, yaitu harga NJOP Kyai Tapa dikurangi harga NJOP Tomang Utara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun