Sebagai orang yang salut melihat prestasi-prestasi Pak Ahok (tetapi tidak membabi buta), saya termasuk orang yang harap-harap cemas juga melihat perkembangan kasus Sumber Waras. Benarkah Pak Ahok yang “baik” itu ternyata juga terlibat korupsi ? Itulah yang selalu berada dalam benak pikiran saya. Kalau memang Pak Ahok itu korupsi = menerima uang/barang untuk kepentingannya pribadi dan keluarganya, hilanglah harapan orang Indonesia. Berarti pejabat sama saja munafiknya. Tak terkecuali PakAhok yang berani menunjukkan harta kekayaannya.
Lalu ketika di Kompasiana ada postingan P. Eddy (namanya saya tidak terlalu ingat dengan pasti) yang membuat postingan tentang Sumber Waras diawali dengan gambar peta Sumber Waras, dan kemudian di pengantar artikelnya dijelaskan bahwa beliaunya sebenarnya ingin mengeluarkan postingan tersebut lebih awal tetapi karena harus menunggu bantuan dari kerabatnya, maka baru dikeluarkanlah saat itu (Mungkin ada teman-teman yang sempat mengkopinya ?)
Saya sangat berterima kasih dengan adanya postingan tersebut, karena saya jadi paham dimana posisi Pak Ahok, BPK, KPK, BPN dan Dirjen Pajak. Sayapun ingin merespon artikel tersebut. Namun sayangnya, besoknya ketika mau saya baca ulang artikel tersebut, saya cari-cari sudah menghilang. Kenapa ya ? Apa saya yang tidak bisa menemukannya ?
Namun saya masih ingat beberapa hal penting yang diulas di artikel tersebut. Ditambah dengan pengetahuan dari ILC semakin gamblanglah persoalannya.
Intinya menurut saya, kesalahan fatal diawali oleh BPK karena telah melakukan audit investigasi hanya berdasarkan fakta (fakta lapangan maksudnya) tanpa menggunakan logika. Mereka mengatakan tidak melihat dokumen-dokumen yang ada, tetapi hanya mencari informasi dari lapangan ??!!
Namanya audit investigasi itu seharusnya yang dicari adalah kebenaran. Karena mencari kebenaran, maka semua informasi yang ada harus menjadi masukan. Dalam hal ini dokumen dan informasi lapangan sama-sama memiliki peranan yang sangat penting. Informasi lapangan dan dokumentasi keduanya bisa salah, bisa juga benar, bisa saling mendukung, bisa juga saling menegasikan. Kalau kemudian BPK ngotot hanya mau melakukan investigasi berdasarkan data lapangan saja, ini patut dipertanyakan: Motifnya apa ? Apa dokumen negara itu bukan bagian dari fakta ? Ini mau mencari kebenaran yang sejati atau menggiring pendapatnya supaya diakui benar ?
Karena kalau data berupa fakta dokumen negara dan fakta lapangan itu dipadukan terdapat realita sbb.:
Fakta Peraturan :
- Ada 2 peraturan yaitu: Perpres No. 71/2012 dan Prepres No.40/2014 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah
- UU nomor 19/2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013
- Permendagri Nomor 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
- Surat Kepmendagri tertanggal 22 September 2014 isinya permintaan evaluasi APBD-P DKI
- Pergub No. 175/2013 tentang NJOP Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan untuk tahun 2014
- Keputusan Gubernur No. 2136tentang Pembelian Lahan Sumber Waras
Fakta dokumen :
- Ada dokumen sertifikat tanah Sumber Waras yang dikeluarkan BPN beralamat di Jl. Kyai Tapa
- Ada dokumen tagihan pajak dari Dirjen Pajak dimana lokasi tanah yang dibeli Pemprop DKI beralamat di Jl. Kyai Tapa
- Ada dokumen ( atau informasi ?) kesepakatan jual-beli YKSW (Yayasan Kesehatan Sumber Waras ) dengan PT CKU
Fakta yang diperoleh dari lapangan:
- Kondisi lokasi memiliki 2 sertifikat, yaitu: SHM dengan bagian depan Jl. Kyai Tapa dan HGB dengan bagian depan Jl. Tomang Utara.
- Ada cerita bahwa tanah HGB yang akan dibeli Pemprop DKI saat itu masih dalam transaksi jual-beli dengan PT CKU sudah dibayar 50 M dari penawaran 500-an M.
- Tanah yang dibeli baru dimiliki Pemprop DKI 2 th lagi
- Tanah dengan sertifikat HGB tersebut menunggak pajak sekitar 6 M
- Ada tindakan-tindakan yang dinilai tidak sesuai prosedur yaitu: melengkapi persyaratan dengan membuat dokumen fiktif, mengabaikan DPRD, pembayaran yang terkesan dipaksakan pada tgl 31-12-2014 malam
- Memaksakan diri membeli lahan Sumber Waras walaupun ada tanah yang lainnya
- Ada penawaran langsung sepakat pembelian tanah seharga NJOP
- Tidak ada evaluasi yang disarankan oleh Mendagri
Fakta informasi yang tidak diekspos:
- Pak Ahok pada tanggal 2 Desember 2013 menolak perubahan peruntukan lahan yang akan dibeli PT KCU
- Ada kesepakatan membuat akses jalan ke Kyai Tapa
- Di atas tanah Sumber Waras tersebut akan dibangun Rumah Sakit untuk penyakit kanker dan jantung yang berkualitas, karena Pak Ahok melihat rumah sakit di Jakarta itu merupakan rujuakan nasional, namun 40%-nya sudah dihuni warga Jakarta sendiri.
Namun karena BPK sengaja mengabaikan fakta dokumen sertifikat dari BPN dan dokumen tagihan pajak dari Dirjen Pajak (entah maksudnya apa), ini yang perlu dicurigai ! Kenapa BPK tidak mau mengklarifikasi adanya dokumen tersebut kepada BPN, siapa yang memberi alamat Kyai Tapa ? Juga klarifikasi kepada Dirjen Pajak, siapa yang menentukan NJOP ? Apakah gubernur DKI ? Karena kunci permasalahan dan kebenarannya justru di sini. Sepertinya Pergub tentang NJOP diduga dibuat oleh gubernur, sehingga mereka tidak mau melakukan klarifikasi. Padahal gubernur itu hanya mengumumkan adanya perubahan kenaikan NJOP kepada pihak yang terkait.
Katakanlah Pak Ahok melakukan kesalahan tidak menjalani prosedur pengadaan barang, walaupun sebenarnya ini masih diperdebatkan dengan adanya 2 Perpres tersebut. Tetapi Pak Ahok itu membayar tanah seharga NJOP, karena sertifikat tanah yang dibeli tersebut alamatnya memang berada di Jl. Kyai Tapa dengan NJOP-nya sekitar Rp 20 jutaan, walaupun dari fakta lapangan seharusnya alamatnya Jl. Tomang Utara. Inilah andil BPN dalam kasus terjadinya “kasus Sumber Waras”. Tidak melihat fakta lapangan ketika memecah sertifikatnya. Dan, mungkin Pak Ahokpun sebelumnya tidak tahu kalau kedua sertifikat tersebut pemiliknya berbeda. Apalagi ketika kunjungan ke lokasi tentunya akan lewat Jl. Kyai Tapa. Akhirnya yang menjadi “korban atau dikorbankan”, yaitu Pak Ahok.
Tuduhan Merugikan Negara
Pak Ahok dituduh membeli tanah dengan harga yang terlalu mahal. Sampai-sampai Pak Prijanto mantan Wagub DKI yang mundur itu mengatakan seharusnya Pak Ahok bisa membeli tanah tersebut dengan harga di bawah NJOP. Apa beliaunya tidak pernah beli tanah, sehingga tidak tahu kalau harga NJOP itu biasanya dibawah harga pasar dan akan menjadi rebutan banyak pihak. Lalu, kalau membelinya di bawah harga NJOP, menghitung pajaknya bisa memakai harga pasar yang lebih murah dari yang tertera dalam NJOP, begitu ? Kemudian yang tombok kekurangan bayar pajak atas harga NJOP siapa ?
Seandainya BPK mau menginvestigasi data yang lengkap, baik dokumen negara dan informasi lapangan tentu tidak akan salah dalam mengambil kesimpulan. Tetapi karena investigasinya ditengarai disesuaikan dengan hasil audit keuangan yang sebelumnya, terbukti menolak adanya data dokumen resmi negara berupa sertifikat dan tagihan pajak, dengan dalih tidak menggunakan logika, maka hasilnya menjadi jauh berbeda bahkan bertolak belakang, yaitu dari tidak korupsi menjadi ada korupsi. Itupun kalau kita memaksakan diri mengikuti pengertian yang dibuat oleh DPR bahwa walaupun hanya menguntungkan orang lain sudah bisa dikatakan korupsi.
“Kalau definisinya seperti itu, bisa jadi semua transaksi beli tanah oleh pejabat dimanapun bisa dikatakan akan menguntungkan pihak lain.” Seharusnya definisi tersebut direvisi: menguntungkan pihak lain dan diri sendiri atau keluarganya. (Ada kerja sama saling menguntungkan, dengan merugikan pihak tertentu).
Mestinya sebelum sampai pada kesimpulan Pak Ahok telah merugikan negara sebesar 191 M, BPK harus menginvestigasi BPN-nya terlebih dahulu. Mengapa bisa terjadi perbedaan fakta lapangan dengan dokumen sertifikat tersebut ? Siapa yang salah dalam hal ini ? Apakah ada “permainan” di sini, atau murni keteledoran dari pihak BPN? Karena, kalau benar yang dikatakan BPK, berarti pemilik sertifikat ini bisa menggugat BPN karena dia telah memiliki kelebihan bayar (walaupun faktanya bayarnya masih nunggak ya.., karena mungkin harganya kemahalan).
Sebab informasi yang saya tahu dari Pak Prijanto di ILC , NJOP Jl. Tomang Utara hanya Rp 7 juta-an per m2, sedangkan NJOP Jl. Kyai Tapa sekitar 20 jutaan/m2. Selisihnya jauh sekali ! Dan, ini tentunya akan merugikan penerimaan pajak negara. Pada sisi lain, ada pertanyaan mengapa PT KCU tidak juga menawar mendekati harga NJOP Tomang Utara, tetapi menawar Rp 15 juta-an per m2, dimana tawaran ini justru melebihi NJOP Kyai Tapa yang saat itu masih Rp 12 juta-an per m2 ?
Kalau benar apa yang dikatakan BPK, berarti Pemprop DKI jadi kelebihan bayar dan nantinya harus meminta kelebihan bayarnya pada YKSW. Kalau tidak mungkin, berarti bisa menggugat BPN atas kesalahan alamat pada sertifikat tersebut. Maka yang terlibat dalam kasus “Sumber Waras”, akan semakin banyak pula.
Kalau BPK tidak gegabah dalam melakukan audit investigasi, seharusnya melihat kasus Sumber Waras ini bisa dipetakan menjadi 2 kemungkinan permasalahan:
1. Kalau NJOP- nya dipaksa ikut Jl. Tomang Utara seperti kemauan BPK dan kawan-kawan yang pro- BPK, maka implikasinya BPN harus mengganti alamat sertifikat tanah Pemprop DKI tersebut. Lalu dampaknya:
- BPK telah merugikan pemasukan pajak negara dari Kyai Tapa menjadi Tomang Utara. Artinya akan menampar muka sendiri, yang merugikan pemasukan negara siapa ?
- Pemkot DKI merasa kelebihan bayar kepada YKSW dan harus meminta balik uang lebihnya, atau meminta ganti kerugian kepada BPN atas kelebihan bayar tersebut. Dan, Pak Ahok tetap bebas dari tuduhan korupsi karena kesalahan bukan pada dirinya tetapi pada BPN. Dengan kata lain, Pemprop DKI semakin untung karena dapat harga lebih murah dan nantinya kalau kena pajak juga akan lebih murah.
- Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) bisa menuntut kelebihan bayar kepada Direktorat Pajak
- BPK harus merevisi kerugian dalam audit keuangan dan audit investigasi Pemprop DKI, yaitu harga NJOP Kyai Tapa dikurangi harga NJOP Tomang Utara
2. Kalau NJOP-nya tetap ikut Jl. Kyai Tapa, dampaknya:
- Pak Ahok tidak dituduh korupsi karena telah merugikan keuangan Pemprop DKI dan menguntungkan pihak YKSW.
- BPN harus memastikan adanya akses tanah Sumber Waras ke Jl. Kyai Tapa.
- BPK harus meralat laporan audit keuangan dan audit investigasi dengan menyatakan bahwa Pemprop DKI tidak mengalami kerugian.
Kalau ternyata ada 2 fakta tersebut, kira-kira mana yang akan dipilih BPK ? Melanjutkan tuduhannya dan memaksa KPK untuk membawa Pak Ahok dengan status yang tidak ada unsur merugikan negara dengan kesengajaan (motif tidak baik). Atau, seperti kalau sedang membagun gedung, kemudian terjadi gempa dan hancur. Dimana kerugian bukan karena dikorupsi, tetapi kerugian karena ada “kecelakaan”.
Dalam hal ini kecelakaan itu karena BPN “diharuskan” oleh BPK untuk merevisi alamat tanah yang dibeli Pemprop DKI. Selanjutnya berdasarkan fakta-fakta itu, layakkah kalau kemudian KPK memberikan rompi oranye kepada gubernur DKI yang “bermimpi” membangun Rumah Sakit yang baik untuk masyarakat Indonesia dengan tuduhan korupsi dengan status yang demikian ?
Untung saja KPK-nya lebih cerdas, sehingga tidak terjebak dalam “perangkap BPK” yang ingin memutihkan kesalahannya, dan tidak gentar menghadapi tekanan dari teman-teman yang pro BPK, dengan dalih bahwa yang berhak menyatakan Pak Ahok terbukti bersalah atau tidak bersalah itu hanyalah pengadilan, bukan KPK. Tetapi BPK dan teman-teman yang pro BPK lupa, bahwa yang berhak mentersangkakan dan menterdakwakan seseorang itu adalah KPK. B
olehkah Pak Ahok didakwa dengan bukti tuduhan korupsi, padahal itu tidak pernah dilakukannya ? Ternyata, KPK benar-benar hebat ! Cermat, teliti, tidak mau diperalat oleh lembaga lain, dan tidak mau ditekan oleh siapapun. Jadi kalau Pak Fadli Zon dan teman-teman yang pro BPK, menuduh KPK diintervensi atau dikendalikan oleh invisible hand sehingga memiliki pandangan yang berbeda dengan BPK untuk melindungi Pak Ahok; kita doakan saja semoga Tuhan memaafkan mereka ! Oleh karena itu, KPK tidak boleh ragu lagi, sehingga harus bermain kata-kata tidak/belum ditemukan niat jahat yang merugikan negara, agar permasalahan ini tidak menggantung.
Tuduhan Melanggar Peraturan
Namun demikian, bukan berarti saya tidak memperhatikan bukti-bukti yang ditunjukkan teman-teman yang pro-BPK (saya tidak tahu alasan persisnya dari BPK), yaitu: ada kejanggalan-kejanggalan dokumen yang dibuat jajaran Pemprop DKI, misalnya dokumen-dokumen yang ditengarai fiktif; tidak adanya evaluasi yang diminta Kemendagri, DPR yang merasa ditelikung, dll. Yang semua itu domainnya tentu tidak bisa dibawa oleh KPK lagi, karena hanya bersifat administratif.
Terus terang, saya juga memikirkan akan hal itu. Kenapa Pak Ahok sepertinya berjuang mati-matian untuk menggol-kan pembelian tanah “Sumber Waras” tersebut, sampai-sampai beliaunya (kalau benar) melakukan hal-hal seperti yang dikemukakan itu. Jawabnya ternyata sangat luar biasa !Tidak pernah saya dengar dari “mulutnya” Pak Ahok, tetapi berdasarkan kajian dari berbagai informasi yang ada menunjukkan kesimpulan: Bukan karena untuk menyenangkan Bu Veronika atau menguntungkan pihak yayasan,tetapi demi mengembalikan aset tanah strategis milik Pemprop DKI di Pusat Kota yang hampir habis.
Sekaligus bisa mendirikan rumah sakit kanker dan jantung yang berkualitas serta bermanfaat untuk rakyat Indonesia yang membutuhkannya. Ibaratnya “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”. Artinya dengan membeli tanah yang sangat strategis tersebut, akan banyak keuntungannya. Kesimpulan ini saya rangkum dari pembicaraan banyak pihak, ketika saya menonton ILC di TVone. Berikut ini pertanyaan yang muncul, serta klarifikasi dari teman-teman di ILC, termasuk juga pendapat saya :
1. Mengapa harus beli tanah tersebut ? Bukankah Pemprop DKI memiliki banyak tanah di daerah lain, sehingga uangnya langsung bisa digunakan untuk membangun rumah sakit ? Apalagi Kadinkes merekomendasikan tanah di daerah Sunter ?
- Dengan membeli tanah “Sumber Waras” dan menjadikannya rumah sakit, berarti juga mengembalikan aset tanah strategis yang dimiliki Pemprop DKI, sehingga tidak membiarkan semua wilayah dikuasai pebisnis. Sementara kalau membangun di daerah lain, infrastrukturnya tidak sebaik di daerah Sumber Waras. Tentunya keberadaan infrastruktur yang mendukung ini, sangat diperlukan kalau ingin membangun Rumah Sakit yang memiliki fasilitas lengkap dan terintegrasi dengan hal lainnya.Di samping itu, karena bersebelahan dengan RS Sumber Waras, maka kalaupun harus izin, tidak harus izin amdal lengkap dari awal lagi. Juga lokasinya dekat dengan RS Kanker Dharmais, sehingga hubungan bisa menjadi lebih mudah.
2. Mengapa pembayarannya harus malam hari 31 Desember 2014 ?
- Ini untuk mengejar kepastian bisa memiliki tanah strategis dengan harga yang lebih murah. Kalau sudah ganti tahun tentu harganya akan bisa lebih mahal, atau mungkin tidak jadi dijual atau Pemprop DKI tidak jadi memiliki aset tersebut karena gubernur baru tidak sama visinya karena lebih senang untuk dijadikan mall.
3. Tentang tanah yang baru dimiliki setelah 2 tahun lagi ?
- Dalam dunia bisnis itu hal yang biasa. Bukankah ada akte notarisnya ? Pemprop DKI itu membeli tanah di daerah strategis yang harus berebut dengan kalangan pebisnis. Kalau tidak masuk dahulu, tanah itu bisa dibeli pihak lain, dan nilai ekonomisnya akan semakin mahal. Ini tidak sama dengan kalau Pemprop DKI membeli mobil dinas yang dikhawatirkan nantinya akan cepat rusak kalau tidak dipakai sekarang.
4. Tentang beli tanah HGB ?
- Kebetulan saya juga pernah beli tanah yang statusnya HGB, tetapi harganya tetap harga pasar dan ketika beli bisa langsung diubah sertifikatnya menjadi SHM. Jadi pemahaman kalau HGB habis berarti jadi milik negara, sepertinya memang tidak berlaku. Seharusnya BPN perlu memahamkan tentang hal ini kepada masyarakat luas. Yang benar seperti apa ?
5. Tentang seharusnya pembelian tanah itu tidak bisa dimasukkan dalam APBD-P karena tidak ada kriteria yang mendukung ?
- Untuk bisa masuk APBD-P harus ada syaratnya, yaitu:: tercantum dalam KUA-PPAS (Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara), ada pergeseran anggaran, masuk dalam kategori luar biasa, dan masuk dalam kategori “gawat darurat”. Kalau mempertimbangkan apa yang sudah dikemukakan di atas, maka pembelian tanah sumber waras itu bisa dimasukkan dalam APBD-P DKI dengan kategori luar biasa atau gawat darurat. Sebab selama ini aset tanah strategis yang dimiliki Pemkot DKI hampir habis karena berubah fungsi menjadi kawasan bisnis. Jadi kalau tanah tersebut tidak dibeli sekarang, dikhawatirkan gagal memilikinya. Pemikiran Pak Ahok itu sangat “luar biasa”, beliaunya ini melihat jauh ke depan.
6. Mengapa beli tanah sengketa ?
- Padawaktu pembelian berlangsung tidak termasuk tanah yang menjadi sengketa. Terbukti pihak Perhimpunan Sosial Candra Naya (PSCN) baru mengajukan gugatan pada 3 Juni 2016. Karena misi pembelian tanah tersebut untuk kebaikan, maka hal ini akan dilindungi oleh negara. Jadi kalau kemarin di ILC sempat ada yang menyebut Pak Ahok ini penadah dan orang korupsi seolah jadi pahlawan, sebaiknya beliaunya ini minta maaf kepada Pak Ahok dan seluruh peserta dan pemirsa ILC kemarin.
7. Mengapa proses penawarannya begitu cepat ? Sedang PT KCU saja mau bayar dengan dicicil sementara Pemprop DKI langsung lunas ?
- Proses jual-belinyaberlangsung cepat dan tidak ada penawaran lagi, karena harganya sudah rendah yaitu sudah pada batas NJOP, yaitu nilai jual yang jadi perhitungan pemerintah untuk menentukan pajaknya. Penawaran di harga NJOP itu sudah sama dengan standar ganti rugi yang berlaku selama ini. Kalaupun rakyat bisa menikmati adanya keuntungan kenaikan NJOP, itu adalah rejeki mereka, Pemprop DKI tidak berhak dan tidak boleh merampasnya. Lalu, mengapa Pemprop DKI langsung membayarnya lunas, walaupun kepemilikannya menunggu 2 tahun lagi ? Karena dengan membayar lunas berarti urusan kepemilikan tanah tersebut sudah selesai, tinggal menunggu waktu serah terima sesuai dengan perjanjian notaris yaitu 2 tahun lagi. Kalau bayarnya mencicil, dan di tengah jalan ada masalah, maka akan membuat kepemilikan tersebut menjadi tidak ada kepastian. Apalagi, Pemprop DKI memiliki dana yang tidak terpakai.
8. Mengapa harganya tidak seperti yang ditawarkan PT KCU Rp 15 juta per m2 ?
- Harga penawaran PT KCU itu terjadi pada tahun 2013 ketika NJOP-nya masih Rp 12 jutaan per-m2. Jadi mereka menawar di atas harga NJOP waktu itu. Sementara Pemprop DKI beli dengan harga NJOP 2014, dimana harga ini sudah naik menjadi Rp 20 jutaan per-m2, dan yang menaikkan NJOP itu Dirjen pajak bukan gubernur DKI. Jadi penawaran Pemprop DKI justru lebih murah dibandingkan dengan penawaran PT KCU yang di atas NJOP waktu itu.
9. Membuat dokumen fiktif ?
- Sebenarnya administrasi fiktif di negeri ini sudah menjadi hal yang biasa, bukan sesuatu yang tabu. Barangkali Pak Ahok memanfaatkan kebiasaan tersebut. Yang penting, bukan untuk kejahatan atau tidak membahayakan, sepertinya masih bisa diterima. Atau juga, barangkali Pak Ahok tidak mengetahui akan hal ini ?
10. Menunggak PBB ?
- Itu merupakan bagian dari penyebab mengapa tanah tersebut dijual, karena mereka tidak mampu membayar pajak yang mahal. Kalau tidak pasti akan dipertahankan demi investasi yang lebih lama lagi, dan kalaupun mau dijual nanti kalau harganya sudah sangat tinggi lagi. Justru karena mereka butuh uang itulah jadi peluang Pemprop DKI untuk bisa membelinya.
11. Bukankah masih terikat kontrak perjanjian dengan PT KCU ?
- PT KCU mau membeli dengan syarat kalau Pak Ahok mengizinkan untuk dibuat kepentingan bisnis atau mall. Karena itu ketika izinnya ditolak Pak Ahok pada 2 Desember 2013, maka transaksinya menjadi tidak dilanjutkan. Barangkali, PT KCU menunggu gubernur baru saja, siapa tahu ada perubahan sikap. Uangnya yang sudah masuk, tentunya terserah pada kesepakatan mereka.
12. Harga ditentukan sebelum APBN-P ?
- Harganya sesuai NJOP jadi itu sudah yang paling murah, karena perhitungan pajak juga atas dasar NJOP. Kalau Pemprop DKI memaksa dengan harga di bawah NJOP berarti Pemprop DKI “memeras rakyatnya”. Lalu yang disuruh membayar atas perhitungan kekurangan pajaknya siapa ?
13. Tidak ada evaluasi seperti yang diminta Kemendagri ?
- Pak Ahok harus mengejar waktu maksimal akhir Desember 2014, kalau ingin mendapatkan harga yang murah. Sebab kalau ganti tahun berikutnya dikhawatirkan harganya sudah naik lagi. Sebagai gambaran NJOP tahun 2012 Rp 7 jutaan/m2 , NJOP tahun 2013 Rp 12 jutaan/m2, NJOP tahun 2014 Rp 20 jutaan/m2. Bisa terbayang berapa besar kenaikannya ? Kemudian, kalau melihat kondisi tidak harmonisnya hubungan gubernur DKI dengan DPRD, maka kalau harus menunggu evaluasi dengan DPRD bisa-bisa justru gagal, karena banyaknya kepentingan yang akan bermain. MUNGKIN, pertimbangan seperti itulah yang jadi “kenekadannya”.
Kalau demikian halnya, sekarang kita bisa menjawab dengan tegas pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan hati nurani kita yang paling dalam:
- Masih tepatkah rekomendasi BPK yang meminta Pemprop DKI mem batalkan pembelian tanahnya ATAU meminta Pak Ahok segera memulihkan kerugian 191 M, meminta tanah “Sumber Waras” segera diserahkan, dan menagih tunggakan pajak YKSW (pasti sudah dibayar sebelum penanda-tanganan kontrak jual-beli di notaris) ? Bahkan, Pak Ahok ditakut-takuti dengan ancaman pidana 1 tahun 6 bulan atau denda 500 juta, kalau tidak mau melaksanakan rekomendasi dari BPK tersebut ?
- Masih layakkah hasil audit keuangan dan audit investigasi BPK yang tidak profesional itu untuk ditindak-lanjuti oleh KPK, apalagi ternyata perbedaan hasil audit itu menurut Pak Abdullah Hemahuha sudah pernah terjadi sebelumnya yaitu di Kasus Century dan Hambalang ? Hanya saja kasusnya tidak sampai mencuat seperti ini, karena mungkin perbedaannya tidak kontradiktif seperti sekarang.
- Bolehkanh hasil audit BPK yang sesat (tidak profesional) itu dianggap benar dan dijadikan alat bukti KPK menjerat seseorang untuk menjadi tersangka dan terdakwa, kemudian keputusannya nanti diserahkan pada pengadilan ?
Bisa dipastikan jawaban hati nurani kita yang paling dalam akan mengatakan secara berturut-turut: tidak tepat, tidak layak, dan tidak boleh.
Lalu, bagaimana kalau Pak Fadli Zon yang merupakan Wakil Pimpinan DPR RI bisa mengatakan, bahwa hasil audit BPK itu harus dianggap benar sampai bisa dibuktikan salah oleh pengadilan. Tidak peduli walaupun cara kerja tim auditor BPK tersebut tidak profesional , dan kalah dengan auditor awam seperti ini. Tentunya kita akan mengatakan ”kalau yang terkena kasus itu Pak Fadli Zon, dkk silahkan diseret ke pengadilan dengan cara tersebut, yaitu:dengan bukti hasil audit yang sesat. Tetapi, kalau untuk rakyat Indonesia yang lainnya, harus dilakukan dengan proses yang benar !”
****
Itulah pemikiran-pemikiran yang bisa saya paparkan, untuk mencari jawaban mengapa Pak Ahok seolah-olah mati-matian dengan berbagai cara, termasuk “cara nakal” agar bisa segera mendapatkan tanah “Sumber Waras” tersebut. Intinya karena Pak Ahok tidak ingin tanah strategis di DKI ini habis untuk kawasan bisnis, dan Pak Ahok menolak berkolusi untuk menjadikan tanah “Sumber Waras” menjadi mall/kawasan bisnis. Itulah permasalahan yang sesungguhnya, yaitu demi memperjuangkan kebenaran yang diyakininya akan membuat rakyat Indonesia bisa hidup lebih sejahtera.
Sehingga kalau Prof . Romli menegaskan bahwa niat baik itu harus dilalui dengan prosedur yang baik pula, mungkin dalam kasus ini tidak berlaku. Karena kalau harus menunggu proses yang benar, padahal kondisi DPRD-nya tidak mendukung, maka niat baik itu akan menjadi gagal dan yang rugi sebenarnya juga rakyat Indonesia. Oleh karena itu, terpaksalah prosedur yang tidak baikpun harus ditempuh, demi menyukseskan niat agung tersebut. Yang penting, caranya tidak jahat atau membahayakan orang lain.
Sebab kalau niat baik itu tertunda, maka peluang emasnya bisa hilang begitu saja. Mau cari gantinya, belum tentu ada lagi. Jadi demi misi yang mulia ini, Pak Ahok sampai saat ini rela dicap sebagai ”pembangkang” oleh BPK. Pak Ahok tidak takut dengan ancaman yang sudah disebar-luaskan, karena berdasarkan keyakinannya hal itu harus dilakukan.
Akhirnya saya berpikir, kalau kondisinya seperti itu, kemudian Pemprop DKI-pun terpaksa harus menanggung kerugian sebesar 191 M sebagaimana yang dituduhkan BPK, ataupun bisa kehilangan 750 M seperti yang dikatakan oleh Pak Prijanto; seharusnya masyarakat DKI tetap rela. Karena kerugian tersebut bukan disebabkan oleh korupsinya Pak Ahok, namun disebabkan oleh keteledoran BPN. Bukankah Pak Ahok juga telah berhasil menyelamatkan dana trilyunan rupiah dari bancaan korupsi birokrasi dan anggota legislatif ?
Selanjutnya apapun yang terjadi ke depan ini, tergantung pilihan BPK. Apakah BPK akan “memaksa” BPN untuk mengubah alamat tanah Sumber Waras itu sehingga negara harus mengalami kerugian, atau meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan oleh tim auditornya. Karena hal ini menurut mantan auditor di acara ILC tersebut, juga memungkinkan. Kita tunggu saja !
Untuk Pak Ahok, saya harus mengakui sekali lagi, bahwa Anda memang orang hebat ! Terus berjuang, Pak Ahok ! Indonesia memang membutuhkan orang-orang sepertimu ! Semoga Tuhan selalu melindungi Anda sekeluarga !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H