Bukan tidak mungkin jika sudah menjadi makanan kelas dunia, Indonesia bahkan akan mengimpor tempe dan tahu (tofu) dari Amerika dan China.
Jika kita mengingat lagi janji swasembada kedelai di periode pertama Jokowi,2014-2019, tentu saja kita merasa semuanya hanya tinggal janji. Buktinya saat ini kita kembali didera krisis kedelai.
Pilihan untuk berswasembada belum menjadi prioritas, meskipun sebenarnya kedelai lokal lebih unggul dari impor dalam hal bahan baku pembuatan tahu. Rasa tahu lebih lezat, rendemennya pun lebih tingi, dan resiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik.
Sementara kedelai impor sebaliknya. Sekalipun unggul sebagai bahan baku tahu, kedelai lokal punya kelemahan untuk bahan baku tempe.Â
Memang kualitas ukuran kecil atau tidak seragam dan kurang bersih, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, proses peragiannya pun lebih lama. Lalu setelah berbentuk tempe, proses pengukusan lebih lama empuknya. Bahkan bisa kurang empuk.
Dalam hal budidaya kedelai baik lokal maupun impor punya kelebihan masing-masing. Kedelai lokal memeliki umur tanaman lebih singkat 2,5 - 3 bulan daripada impor yang mencapai 5 - 6 bulan. Benihnya pun lebih alami dan non-transgenik. Akan tapi dalam hal produktivitas dan luas lahan, kedelai impor lebih tinggi.Â
Jadi dalam urusan modernisasi pertanian, intensifikasi atau diversifikasi, kita tertinggal jauh. Mau tidak mau kita terpaksa memilih jenis transgenik yang sebenarnya juga tidak lebih sehat dari kedelai alami. Tapi mau bagaimana lagi.
Bahkan kegagalan swasembada itu sebenarnya karena para petani juga berpikir pragmatis dan rasional. Â Jika pemerintah tidak sanggup mendukung produktivitas kedelai lokal skala besar, tidak didukung oleh industri perbenihan yang kuat, mekanisasi usaha tani berskala besar serta efisien, dan juga lahan khusus kedelai yang luas, dari pada menanam kedelai, ya lebih baik menanam beras dan jagung. Kecuali ada intervensi khusus dari pemerintah.Â
Menurut para peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), salah satu penyebabnya adalah luas lahan panen yang terus menyusut dari 660,8 ribu ha pada 2010 menjadi 285,3 ribu ha pada 2019. Hal ini juga dipengaruhi perubahan fungsi lahan ke sektor non-pertanian karena tuntutan ekonomi dan laju pertumbuhan.Â
Tingginya ketergantungan bahan baku impor dapat menyebabkan harga tempe dan tahu tak stabil. Sebagaimana barang impor yang terpengaruh fluktuasi nilai tukar. Sejumlah perajin mengantisipasi tingginya harga bahan baku dengan menaikkan harga atau mengecilkan volume tempe dan tahu yang mereka produksi.
Sejauh ini susah rasanya mencari makanan substitusi yang bentuk dan citarasanya seperti tempe. Jika itu realitasnya selama kita masih bisa menikmati, tak apa jika ukurannya menipis atau mengecil, selama produknya masih tempe, atau keripik tempe.Â