Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sekarang Impor Kedelai, Berikutnya Impor Tempe Made in Amerika

21 Februari 2022   22:33 Diperbarui: 27 Februari 2022   10:08 1341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RRI

Bermaksud menegaskan agar tidak jadi "bangsa tempe", semata agar tidak "dijajah" bangsa lain, sayangnya, narasi pidato Bung Karno, kini justru menjadi sebuah kenyataan.

Mungkin kata lain dari "ketergantungan akut" pada impor kedelai kurang lebih, bisa bermakna "terjajah". Ironis jadinya, jika awalnya dimaksudkan agar tidak terjajah, justru ketergantungan impor, makin menegasi bahwa kita bangsa "penghasil tempe" yang "terjajah" oleh bahan baku tempe itu sendiri.

Namun ada analisis berbeda yang menarik dalam memahami frasa "bangsa tempe". Karena "bangsa tempe" sebenarnya hendak dikonotasikan sebagai bangsa yang tidak membutuhkan bantuan siapapun. 

infotip
infotip
namun dalam proses pembuatan tempe dengan menggunakan "bantuan" ragi, untuk menghasilkan seperti yang diinginkan, menjadi bertolak belakang maknanya. 

Indonesia adalah negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China. Sebagian besar kedelai terserap untuk kebutuhan produksi tahu dan tempe. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,24 triliun (kurs Rp 14.200). Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari Amerika Serikat (AS).

Di tanah air kita sendiri, kebun-kebun kedelai, produktivitasnya berkisar 1,5-2 ton per hektar, sedangkan produktivitas di AS mencapai 4 ton per hektar. Produktivitas di AS lebih tinggi lantaran tanaman kedelai mendapatkan penyinaran matahari sekitar 16 jam, sedangkan Indonesia berkisar 12 jam. 

Sehingga kekurangan itu harus ditutup impor, mencapai 2 juta-2,5 juta ton per tahun. Dari total volume impor itu, sekitar 70 persen di antaranya dialokasikan untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain. 

tofu-801ff0ce63104a6daf9aa565fd43a27b-6215d7128700647432280232.jpg
tofu-801ff0ce63104a6daf9aa565fd43a27b-6215d7128700647432280232.jpg
verywellfit

Mengapa Kita Impor Kedelai?

Berapa banyak sebenarnya  rata-rata kebutuhan kedelai kita?. Ternyata tidak kurang dari 2,8 juta ton per tahun. Kisah Indonesia pernah menjadi swasembada kini hanya tinggal kenangan, karena menyebut kata "pernah swasembada" seperti mengungkit romantisme sejarah yang tidak lagi terbukti. Menyakitkan!

Faktanya, produksi kedelai menyusut drastis tinggal di bawah 800.000 ton per tahun dengan kebutuhan nasional sebesar 2,5 juta ton. Sangat jauh panggang dari api. Uniknya lagi, meski kita paham begitu, kekurangan, dalam nota keuangan tahun anggaran 2021, pemerintah baru bisa menargetkan produksi kedelai 420.000 ton.

Mengapa bangsa kita disebut "bangsa tempe", karena begitu merakyatnya kedua makanan ini. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Rata-rata setiap penduduk Indonesia mengonsumsi 0,152 kg tahu dalam sepekan. 

Sedangkan tempe sebanyak 0,139 kg. Menurut Statista, konsumsi kedelai per kapita Indonesia sebesar 2,09 kg pada 2019. Angka ini memang turun 5,85% dibandingkan 2018 yang sebesar 2,22 kg. 

Namun konsumsi diperkirakan meningkat mulai 2020 hingga 2029. Dalam Outlook Kedelai 2020, Kementerian Pertanian menyebutkan, peningkatan konsumsi kedelai didorong turunnya daya beli masyarakat. Resesi ekonomi menyebabkan kemampuan masyarakat membeli protein hewani menurun. 

Alhasil tempe dan tahu adalah alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein. Selain itu, peningkatan konsumsi kedelai diprediksi karena masyarakat menengah ke atas makin banyak yang menerapkan gaya hidup vegan.

BBC
BBC


Sudah jatuh tertimpa tangga

Apalagi analogi yang tepat menjelaskan nasib "bangsa penghasil tempe", yang justru harus mencari bahan baku melalui impor. Dan itu artinya, jika kebutuhan dunia mulai beralih untuk penggunaan medis atau bahan bakar nabati-biodisel, alamat nasib pengrajin tempe tambah runyam nasibnya.

Dalam waktu dekat ini perajin tempe dan tahu bahkan akan melakukan aksi mogok produksi. Aksi mogok para perajin di Pulau Jawa ini merupakan respons terhadap mahalnya harga kedelai di pasaran. 

Sekaligus ini menjadi bentuk protes mereka kepada kesigapan pemerintah yang dinilai lamban dalam urusan soal logistik bahan baku kuliner tradisi tersebut.Memang ironi terbesar itulah yang sedang disuarakan para pengrajin tahu dan tempe. 

Para pengrajin pastilah tak berurusan dengan besaran angka-angka statistika, yang penting bagi mereka adalah ketersediaan bahan baku di pasaran secara normal.

Padahal data termutakhir produksi kedelai Indonesia kembali turun 3,05% menjadi 594,6 ribu ton pada 2022. Setahun setelahnya, produksi kedelai bakal berkurang 3,09% menjadi 576,3 ribu ton. Sementara, kedelai yang berasal dari Indonesia turun 3,12% menjadi 558,3 ribu ton pada 2024. Dengan kondisi kelangkaan bahan baku kedelai, inilah saatnya mereka "meminta "pertanggungjawaban pemerintah.

Dan anehnya, Indonesia sebenarnya mulai "candu impor kedelai" dengan membuka keran impor kedelai secara deras sejak 1998. Pemerintah tidak berupaya serius untuk mengatasi ketergantungan ini. 

Bahkan dalam beberapa resesi ekonomi yang melanda kita, krisis kacang kedelai juga pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari 90% kedelai di Indonesia digunakan sebagai bahan pangan, terutama pangan olahan, yaitu sekitar 88% untuk tahu dan tempe dan 10% untuk pangan olahan lainnya serta sekitar 2% untuk benih !.

Tantangan mendatang akan lebih besar lagi, jika kebutuhan kacang tersebut tidak melulu hanya untuk kebutuhan bahan baku kuliner, tapi berkembang pada pemanfaatan lain seperti bahan bakar nabati.

Bukan tidak mungkin jika sudah menjadi makanan kelas dunia, Indonesia bahkan akan mengimpor tempe dan tahu (tofu) dari Amerika dan China.

kompas.com
kompas.com
Ironi Berkepanjangan

Jika kita mengingat lagi janji swasembada kedelai di periode pertama Jokowi,2014-2019, tentu saja kita merasa semuanya hanya tinggal janji. Buktinya saat ini kita kembali didera krisis kedelai.

Pilihan untuk berswasembada belum menjadi prioritas, meskipun sebenarnya kedelai lokal lebih unggul dari impor dalam hal bahan baku pembuatan tahu. Rasa tahu lebih lezat, rendemennya pun lebih tingi, dan resiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik.

Sementara kedelai impor sebaliknya. Sekalipun unggul sebagai bahan baku tahu, kedelai lokal punya kelemahan untuk bahan baku tempe. 

Memang kualitas ukuran kecil atau tidak seragam dan kurang bersih, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, proses peragiannya pun lebih lama. Lalu setelah berbentuk tempe, proses pengukusan lebih lama empuknya. Bahkan bisa kurang empuk.

Dalam hal budidaya kedelai baik lokal maupun impor punya kelebihan masing-masing. Kedelai lokal memeliki umur tanaman lebih singkat 2,5 - 3 bulan daripada impor yang mencapai 5 - 6 bulan. Benihnya pun lebih alami dan non-transgenik. Akan tapi dalam hal produktivitas dan luas lahan, kedelai impor lebih tinggi. 

Jadi dalam urusan modernisasi pertanian, intensifikasi atau diversifikasi, kita tertinggal jauh. Mau tidak mau kita terpaksa memilih jenis transgenik yang sebenarnya juga tidak lebih sehat dari kedelai alami. Tapi mau bagaimana lagi.

Bahkan kegagalan swasembada itu sebenarnya karena para petani juga berpikir pragmatis dan rasional.  Jika pemerintah tidak sanggup mendukung produktivitas kedelai lokal skala besar, tidak didukung oleh industri perbenihan yang kuat, mekanisasi usaha tani berskala besar serta efisien, dan juga lahan khusus kedelai yang luas, dari pada menanam kedelai, ya lebih baik menanam beras dan jagung. Kecuali ada intervensi khusus dari pemerintah. 

Menurut para peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), salah satu penyebabnya adalah luas lahan panen yang terus menyusut dari 660,8 ribu ha pada 2010 menjadi 285,3 ribu ha pada 2019. Hal ini juga dipengaruhi perubahan fungsi lahan ke sektor non-pertanian karena tuntutan ekonomi dan laju pertumbuhan. 

Tingginya ketergantungan bahan baku impor dapat menyebabkan harga tempe dan tahu tak stabil. Sebagaimana barang impor yang terpengaruh fluktuasi nilai tukar. Sejumlah perajin mengantisipasi tingginya harga bahan baku dengan menaikkan harga atau mengecilkan volume tempe dan tahu yang mereka produksi.

Sejauh ini susah rasanya mencari makanan substitusi yang bentuk dan citarasanya seperti tempe. Jika itu realitasnya selama kita masih bisa menikmati, tak apa jika ukurannya menipis atau mengecil, selama produknya masih tempe, atau keripik tempe. 

Yang pasti kita tak hanya kurang dalam intensifikasi, modernisasi lahan, pemilihan bibit, lebih dari itu kita butuh lahan yang luas melalui pola diversifikasi lahan.

Jika melihat keseriusan dan optimisme Pak Joko Widodo ketika mendorong Mentan dalam Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta pada 11 Januari 2021, menyiapkan lahan sebagai sentra produksi kedelai, sebagai satu-satunya cara yang bisa dilakukan agar Indonesia bisa swasembada kedelai, siapa sebenarnya yang harus disalahkan.

Pemberi otoritas atau yang menjalankan otoritas itu, karena demi swasembada kedalai, dibutuhkan lahan yang luas. Setidaknya dibutuhkan 3 kali luas Jakarta, jangan hanya 10 ha atau 100 ha, tapi 500 ribu atau 1 juta ha. Cari!.

Referensi: 1,2,3,4,5,6,7,8,9

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun