Karena tendangan lambung yang tidak dimaksudkan untuk membuang bola, berarti membuang kesempatan dan melakukan kesia-siaan, tendangan tanpa teknik, alias "tendangan tarkam".
Saya kembali teringat dengan kisah Pele-pemain legendaris asal Brazil, diawal karirnya sebagai pemain bola. Dari jalanan hingga menjadi anggota skuad terbaik Brazil.Â
Dalam sesi seleksi, Pele, bahkan gagal dari mentalitas dan performa fisik, karena selama laga-laga jalanan, ia tak menyadari bisa berakibat fatal bagi fisik atau anggota khusus yang dijadikan "mesin" seorang pemain bola.Â
Hanya sebuah keberuntungan yang kemudian membuatnya tetap bertahan di Timnas Brazil, dan gaya Samba Brazilian-nya yang membuatnya menjadi seorang legenda.
Bambang Pamungkas pun pernah di tolak oleh Klub di Eropa, karena ternyata performanya tidak dapat digunakan selama satu laga penuh, 2 kali 45 menit, walaupun tubuhnya sixpack.Â
Persoalan mendasar soal kekuatan dan daya tahan, berdasarkan ukuran-ukuran stamina dan asupan makanan ternyata sangat berpengaruh, bagi pola permainan. Sehingg mentalitasnya tetap bisa fokus dalam setiap pertandingan.
Jadi pemain sepak bola tidak hanya sekedar, di beri makanan Soto Medan, sate Padang, Mie Aceh, Tempe, Tahu, Ayam ukuran jumbo, lantas bisa kuat lari. Lantas jika hanya makan ikan asin, lalapan, dan nasi putih tidak kuat lari. Semua ada takarannya. Itulah yang terjadi dengan Bambang Pamungkas, dalam sepotong kisah hidupnya.
Sekali lagi, selain fisik dan asupan gizi yang membantu membentuknya, mentalitas juga lahir bersamaan disana. Tak ada halangan soal "lain-lain", bisa membuat  seorang pemain bola fokus pada strategi, bermain dan bagaimana ia menggocek bola.
Sehingga pertanyaan pentingnya, bagaimana mentalitas timnas kita seharusnya dibangun? Apakah ada latihan khusus mentalitas bagi individu dan tim. Atau hanya bermain sebanyak-banyaknya dalam turnamen atau liga apapun sebagai cara melatihnya.
Apakah keikutsertaan timnas Indonesia dalam Piala AFF selama 6 kali bukan salah satu langkah itu? Apakah ritme dan jarak antar pertandingan itu terlalu jauh, sebagai sarana latihan mental? Apakah mentalitas itu sebuah stereotip? Mengapa ada "orang Indonesia" di liga-liga Eropa berperforma top markotop?
Begitu banyak pertanyaan, begitu banyak yang harus dipersiapkan untuk mematahkan "sindrom kotak pinalti", yang bahkan berkontribusi utama dalam kekalahan kita terakhir di Piala AFF 2020 kemarin. Akurasi gol menuju gawang lebih dari cukup, begitu juga serangannya, hanya eksekusi yang "gatot-gagal total".Â