bola.com
Fenomena ini, sebenarnya super menarik. Tentang tendangan-tendangan ala "tarkam-pertandingan antar kampung" yang selalu dilakukan oleh para pemain timnas kita ketika berada di posisi kotak 12 pas alias kotak pinalti. Apalagi di luar itu dan tengah di desak lawan. Pangkal dari "penyakit" ini, apalagi kalau bukan soal mentalitas. Bukan semata soal teknik.
Cara menendangnya pun khas sekali. Menendang sekeras-kerasnya tidak tentu arah, tanpa ancang-ancang, Â yang penting kuat dan keras. Bisa jadi mata tertutup ketika tendangan dilakukan.
Jika dilakukan oleh para pemain yang tidak diseleksi secara nasional, direkrut dadakan, tidak pernah latihan secara intensif, tidak diberi asupan gizi yang ditakar, mungkin kita akan maklum.
Agaknya keberadaan jenis tendangan, yang tidak terarah didepan gawang ada sebab musababnya. Mungkin harus ada sebutan yang tepat untuk menyebut kejadian yang sepertinya terus berulang dan selalu terjadi di depan gawang. Seperti "sindrome kotak pinalti" atau "sindrom 12 pas".
Mentalitas Jungkir Balik
Masih tentang mentalitas, menarik mencermati apa kata Shin Tae-yong soal kebiasaan timnas yang tak jauh-jauh dari soal mentalitas. Sebenarnya ini kritik internal, karena status STY sebagai pelatih timnas, namun ini juga menjadi kritik lebih luas, bagi dunia persepakbolaan kita, termasuk bagaimana stakeholder mengambil kebijakan untuk mendorong sepakbola menjadi lebih punya kualitas.
Pertama soal sikap pemain timnas yang lambat.
Kedua, soal pemain yang terbudaya melewati lawan, ketimbang mengoper bola ke teman.
Ketiga, soal pemain timnas yang kebanyakan gaya saat passing.Â
Dan, keempat soal pemain depan yang harus turun membantu pertahanan.
Dalam banyak sesi laga tanding, kita sering melihat teman sibuk menggocek bola, pemain lainnya berdiri hampir mematung, tidak bergerak gesit, apalagi ketika berada di area gawang. Sehingga beberapa peluang yang membutuhkan sentuhan kecil saja, sering terlewat begitu saja.
Sekali lagi, memang sulit menjadi penonton, hanya bisa mengkritik dan bilang ini dan itu, tapi tidak bisa merasakan sendiri.Â
Bagaimana sensasi dada gemetar bergemuruh, mata gelap berkunang-kunang, panik tak jelas justrungan, ketika menggiring bola ke gawang dan disana sudah bersiap "palang bis berjajar", dengan penjaga gawang yang bergerak ke kanan-ke kiri, seolah mengikuti gerakan pemain penyerang. Karena ia memang dilatih untuk bergerak se-refleks mungkin. apalagi jika diberi kesempatan sebagai penendang, pinalty kick, bisa ngompol barangkali.
Akibatnya, mentalitas jatuh, fokus hilang dan strategi apapun bentuknya buyar dari ingatan. Maka jejak latihan-latihan itu akan hilang, yang dibuktikan dengan tendangan keras seperti sambil menutup mata, melambung ke angkasa, bukan ke mulut gawang.Â
Gol-gol berkualitas, lebih terjadi karena spontanitas. Sehingga keseimbangan mental ketika itu sangat stabil. Sementara gol yang diikuti proses menggocek bola yang panjang dari lapangan tengah atau pinggir lapangan, dijadikan asist ke arah penyerang, sering berakhir dengan "tendangan lambung".
Kenapa Pemain Eropa Bisa?
Mengapa fenomena tendangan tarkam, jarang dan bahkan hampir tidak kita lihat dalam pertandingan di liga-liga Eropa dan bahkan liga Afrika? Mereka mereka hampir tidak mengenal istilah tendangan "tarkam", mungkin sangat tabu dan menunjukkan rendahnya performa seorang pemain.
Karena tendangan lambung yang tidak dimaksudkan untuk membuang bola, berarti membuang kesempatan dan melakukan kesia-siaan, tendangan tanpa teknik, alias "tendangan tarkam".
Saya kembali teringat dengan kisah Pele-pemain legendaris asal Brazil, diawal karirnya sebagai pemain bola. Dari jalanan hingga menjadi anggota skuad terbaik Brazil.Â
Dalam sesi seleksi, Pele, bahkan gagal dari mentalitas dan performa fisik, karena selama laga-laga jalanan, ia tak menyadari bisa berakibat fatal bagi fisik atau anggota khusus yang dijadikan "mesin" seorang pemain bola.Â
Hanya sebuah keberuntungan yang kemudian membuatnya tetap bertahan di Timnas Brazil, dan gaya Samba Brazilian-nya yang membuatnya menjadi seorang legenda.
Bambang Pamungkas pun pernah di tolak oleh Klub di Eropa, karena ternyata performanya tidak dapat digunakan selama satu laga penuh, 2 kali 45 menit, walaupun tubuhnya sixpack.Â
Persoalan mendasar soal kekuatan dan daya tahan, berdasarkan ukuran-ukuran stamina dan asupan makanan ternyata sangat berpengaruh, bagi pola permainan. Sehingg mentalitasnya tetap bisa fokus dalam setiap pertandingan.
Jadi pemain sepak bola tidak hanya sekedar, di beri makanan Soto Medan, sate Padang, Mie Aceh, Tempe, Tahu, Ayam ukuran jumbo, lantas bisa kuat lari. Lantas jika hanya makan ikan asin, lalapan, dan nasi putih tidak kuat lari. Semua ada takarannya. Itulah yang terjadi dengan Bambang Pamungkas, dalam sepotong kisah hidupnya.
Sekali lagi, selain fisik dan asupan gizi yang membantu membentuknya, mentalitas juga lahir bersamaan disana. Tak ada halangan soal "lain-lain", bisa membuat  seorang pemain bola fokus pada strategi, bermain dan bagaimana ia menggocek bola.
Sehingga pertanyaan pentingnya, bagaimana mentalitas timnas kita seharusnya dibangun? Apakah ada latihan khusus mentalitas bagi individu dan tim. Atau hanya bermain sebanyak-banyaknya dalam turnamen atau liga apapun sebagai cara melatihnya.
Apakah keikutsertaan timnas Indonesia dalam Piala AFF selama 6 kali bukan salah satu langkah itu? Apakah ritme dan jarak antar pertandingan itu terlalu jauh, sebagai sarana latihan mental? Apakah mentalitas itu sebuah stereotip? Mengapa ada "orang Indonesia" di liga-liga Eropa berperforma top markotop?
Begitu banyak pertanyaan, begitu banyak yang harus dipersiapkan untuk mematahkan "sindrom kotak pinalti", yang bahkan berkontribusi utama dalam kekalahan kita terakhir di Piala AFF 2020 kemarin. Akurasi gol menuju gawang lebih dari cukup, begitu juga serangannya, hanya eksekusi yang "gatot-gagal total".Â
Termasuk bagaimana kita menginstrospeksi diri, atas empat kritik pedas yang dilayangkan oleh STY selama menjadi pelatih timnas. Lakukan solusi empat kritik itu, dan kita lihat hasilya. Jangan-jangan nanti kita sadar, bahkan Naturalisasi, bukan cara instans yang baik untuk membuat timnas sembuh dari "penyakit" mentalitasnya itu. Seperti kata orang bijak, tak ada yang baik dengan segala sesuatu yang instans, bahkan "mie instant" saja harus direbus atau di goreng, biar lebih nikmat.
Saya teringat dengan sebuah film tentang bola, ketika si bintang utama ditanya sang pelatih, apa yang dilakukan jika di depan gawang kita berpeluang memasukkan gol namun teman terdekat justru lebih berpeluang lagi untuk melakukannya. Apakah kita mau membaginya?. Jika berhasil, gol itu tetap gol kita, meskipun menggunakan kaki teman, karena dalam sebuah pertandingan, kita adalah tim, bukan individu. Barangkali mentalitas para pemain timnas, masih enggan berbagi untuk soal yang satu ini, ini masih tentang "gengsi", bukan tentang kemenangan sebuah tim- ini tentang, "One Man Show".
Masih bisa bersiapkah kita untuk Piala Asia 2023, Babak Kualifikasi Piala Dunia 2026, konon lagi Piala Dunia 2026 itu sendiri?. Cukupkah setahun lagi dan lima tahun dari sekarang untuk menjangkau dua laga tanding bergengsi itu?.
Referensi; 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H