Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pahami Pentingnya "Cross Culture Understanding" Dalam Pendidikan

18 Januari 2022   11:45 Diperbarui: 18 Januari 2022   20:55 2008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

riaueksis.com

studydiaustralia
studydiaustralia
Teh hitam atau putih?, cerita seorang mahasiswa Indonesia di Australia ini menarik. 

Kejutan budaya, menjadi salah satu pengalaman awal saat menjejakkan kaki di Bandara Ausie. Ketika masuk dalam barisan antrian pembeli kopi di sebuah coffee shop, ia dihampiri seorang waiter yang akan mencatat orderannya. Ketika ditanyakan, jenis pesanannya, dan menjawab "teh", ia lantas bingung dengan pertanyaan waiter, "tehnya hitam atau putih"?. Dan saat ia masih dilanda kebingungan, waiter itu keburu pergi. Sebagai mahasiswa dengan nilai IALF-Indonesia Australia Language Foundation baik, ia merasa tak paham arti "teh hitam dan putih". Belakangan ia tahu maksud pertanyaan waiter itu, bahwa black tea adalah teh 'asli', dan white tea adalah teh dengan tambahan susu. Sesederhana itu!.

Dan tahukah Anda, kebiasaan di Ausie untuk menyebut ajakan makan malam (dinner) dengan "tea time". Jadi, "It's cuppa time", bukan sekedar ajakan minum segelas teh!.

Bukan Tentang Bercakap Saja

Mengapa belajar budaya penting, karena  tiap budaya  punya interpendensi, sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, tapi punya karakteristik  beda. Wujudnya bisa berupa bahasa, pola interaksi manusia yang tersembunyi, ekspresi, nilai budaya, perbedaan cara pandang orang karena, beda bangsa, suku, dan agama. Wujud lainnya, cara berkomunikasi verbal maupun non-verbal, berupa tanda, dan simbol.

Budaya juga punya aturan yang lebih lunak seperti soal bahasa. Mengapa?. Karena bahasa tidak bisa digeneralisasi atau jadi stereotif belaka. Tidak  ada  kebenaran  yang  absolute  atau  kesalahan absolute  dalam  budaya. 

Bisa jadi yang ada, apakah budaya kita cocok atau tidak dengan budaya orang. Maka, memahami silang budaya atau Cross Cultural Understanding (CCU), menjadi sebuah jalan keluarnya. Karena budaya bisa diserap, dipelajari dan diadaptasi.

Memang ada kelompok Etnosentris, dan penyakitnya adalah Xenophobia, menganggap kelompoknya lebih daripada yang lain, dan benci dengan orang asing. Demikian juga ada kelompok In-group dan Out-group. Di Aceh ada istilah; menyoe khon ie, leuhop-jika bukan air, pastilah lumpur, untuk mengkategorikan siapa kita, siapa mereka.

Lainnya, berupa anggapan Self Awareness;  menganggap  budaya  sendiri  paling  tinggi  secara moral di banding yang lain. Sementara yang lain berpihak pada Cultural Relativism,  menolak cara ethnocentrisme dan menekankan bahwa, tidak ada standar perbandingan budaya. Budaya kelompok tidak bisa digunakan untuk mengevaluasi budaya lain, karena jelas berbeda.

Apa Pentingnya CCU Dalam Pendidikan?

Budaya adalah "perekat" yang mengikat sekelompok orang menjadi satu pemahaman. Jadi setiap kelompok memiliki identitasnya sendiri, dan akan bereaksi jika bertemu dengan budaya lain. Beda budaya atau silang budaya bisa dalam perspektif lintas budaya, antara dua negara dalam media massa atau medium lain yang bisa saling berinteraksi.

Ketika kita melanjutkan pendidikan tinggi ke negara lain, kita belajar bahasa dan budayanya sekaligus. Seperti pengalaman ADS di Ausie. Bahwa budaya "nge-teh" di luar, ternyata ada "black dan white", sementara di Indonesia, juga punya budaya yang sama, tapi beda sebutan dalam bahasa. "Teh susu" (white tea), "teh hitam" (bisa jadi teh pahit atau teh olong, China), atau "teh saja", sebutan teh (normal). Satu saja dalam "urusan' teh bisa ribut, konon lagi beda substansial-cara pikir, politik.

Tidak itu saja, belajar bahasa dan budaya juga sama artinya kita belajar menguasai empat keterampilan; berbicara, menyimak, menulis dan keterampilan menulis dan kemampuan membaca.

Pemahaman lintas budaya tidak hanya mengacu pada kemampuan dasar orang untuk mengenali, menafsirkan, dan bereaksi dengan benar terhadap orang. Bisa berupa kejadian atau situasi yang dapat memicu timbulnya debat kesalahpahaman karena perbedaan budaya.

Mungkin sebagian kita punya pengalaman meskipun dalam konteks lelucon. Apa kata pertama yang diajarkan teman asing, ketika belajar bahasa, selain ucapan selamat datang, selamat pagi,siang dan malam?. Bisa jadi kata-kata "aneh dan jorok". Bayangkan jika kata aneh tersebut kita gunakan untuk menyapa orang yang baru kita kenal, padahal arti sebenarnya "jorok", bisa timbul huru hara.

Ada aturan main dalam penggunaan bahasa secara efektif dan peka untuk memfasilitasi komunikasi yang sensitif, yaitu;

Pertama; waspada, memilih kata dengan hati-hati, menghindari idiom, bahasa gaul, jargon, akronim, menghormati kaidah dasar tata bahasa dan sintaks standar yang benar, bersikap sopan dan formal.

Kedua; menghindari informalitas, hindari lelucon dan humor, dengarkan, dan berusaha menjadi pendengar yang baik sambil meresapi ilmu barunya. Kunci ini untuk menghindari kejutan budaya dan kesalahpahaman yang tidak perlu.

Tentang Cross Cultural Understanding

Pentingnya mempelajari cross cultural understanding dalam konteks pendidikan, paling tidak membangun perspektif tentang budaya dan bahasa, yang tidak sempit. Sejenius apapun jika tak paham budaya juga akan menghadapi masalah, minimal masalah sosial.

Meskipun budaya bukan dasar dari pembelajaran bahasa, namun lebih pada memahami konteks, bagaimana berkomunikasi dengan pemilik bahasa ibu, karena ekspresi yang berbeda-beda, kita tidak bisa menerjemahkan satu persatu atau leksikal, karena sangat erat kaitannya dengan adat dan budaya serta situasi dan kondisi. 

Semuanya bertujuan untuk mengurangi "rasa malu dan rasa bersalah", dalam memahami beda budaya. Terutama untuk menghindari miskomunikasi dan kesalahpahaman.

Seserius apa bahasa bisa menjadi blunder dalam hubungan budaya?. Sebagai alat transmisi dan interaksi budaya, bahasa juga mewakili karakteristik khas dari pemilik budaya itu. 

Dalam bahasa Aceh, kata "ie" artinya air, namun "ie" disertai tekanan pengucapan pada vokal "e", seperti bunyi "iek", berarti "air seni". Kata penyebutan AC-Air Conditioner, jika disebutkan dengan logat bahasa Aceh, bisa jadi menjadi "Asee" yang artinya "anjing", seperti halnya kata "Asu" di Jawa, yang bisa saja digunakan sebagai kata simbol "makian". 

Sehingga peristiwa insiden budaya dalam perspektif yang berbeda bisa menimbulkan rasa tersinggung, jengkel, bingung, atau bahkan putus hubungan.

Tidak heran ada sebuah buku semacam "table manner" tapi isinya mengulas tentang interaksi orang dengan orang lain dalam konteks budaya. Di dalamnya memuat tata cara beraktifitas sehari-hari. 

Menggunakan water-close Jongkok, adab mandi, makan, minum, berkendara. Bahkan seluk beluk lain yang terkadang sangat remeh, seperti bolehkan kita menggunakan tusuk gigi dalam suasana makan di kampung?.

Jamaknya, calon mahasiswa sebelum berangkat studi di negara lain, memang dipersiapkan belajar tentang budaya dalam masa "karantina" mereka. Hanya saja pengalaman dari "dunia Barat" ke "dunia Timur" lebih kompleks karena ada beda tingkat kemajuan pembangunan dan kesenjangan sosial-ekonominya, begitu juga sebaliknya.

Referensi; 1, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun