Mohon tunggu...
Eko Prabowo
Eko Prabowo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

http://wustuk.com\r\n\r\nhttps://soundcloud.com/rakjat-ketjil-music

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Musik 2009: PJId on ICE, Shaken not Stirred

30 April 2011   17:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:13 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi PJId, pameran komunitas bertajuk ICE 2009 berakhir di tengah rintik hujan kemarin sore, ketika Perfect Ten dengan Nito dan Olitz sebagai gitaris tamu selesai meluluhlantakkan audiens di depan panggung utama. Namun bagi sebagian lost dogs yang baru saja menemukan rumahnya di pameran ini, petualangan baru saja dimulai.

Selamat datang kepada kalian semua. Siapkan diri untuk menceburkan jiwa dan raga dalam perjalanan mewujudkan mimpi yang tak kenal berhenti ini: “Bring Pearl Jam to Indonesia!”

Hari Ke-1

Sabtu, 21 November. Hari masih pagi ketika saya terjebak macet di Taman Ria. Jam tangan murahan saya baru menunjukkan pukul 07:08. Pintu masuk menuju Plaza Timur Senayan, lokasi ICE 2009, mampet karena ada tes CPNS dan wisuda. Jakarta, oh Jakarta, kemana ahlimu yang gagah berkumis itu?

Ega dan Davro sudah di lokasi ketika saya tiba. Menyusul kemudian adalah Ipab dan Awang. Farry datang belakangan dengan tivi-nya.

Satu per satu komponen booth PJId tersusun. Koleksi cd, dvd, dan buku dipajang di meja utama. Poster disandarkan di tiang booth dan kaki meja, sementara baju digantung di langit-langit serta rak display. Banner besar bergambar logo PJId disematkan di dinding. Semua dimasukkan kedalam booth berukuran 3x3 meter. Bukan booth yang paling bagus, memang. Juga bukan yang paling menarik. Tapi jelas, sama sekali tidak mengecewakan, apalagi memalukan.

PJId mendapat lokasi di zona musik bersama komunitas Koes Ploes, The Beatles, Young Offender, Black Hole, Solucite, I-Rock, Guitar Forum, Dream Theatre, Pecinta Musik Indonesia, dan D’Massiver.

ICE 2009 sendiri, yang diprakarsai oleh Universitas Prasetiya Mulya, diikuti oleh 150 komunitas. Mulai dari perkumpulan pecinta bis hingga rombongan emak-emak hobi memasak. Penggemar sepak bola hingga gerombolan tukang lompat jendela seperti dalam film Yamakazi. Kelompok pengendara motor hingga sepeda onthel. Pengamat lingkungan sampai pengamat UFO. Penggemar kostum tentara Jerman sampai kostum tokoh kartun Jepang. Dan masih banyak lagi. Yang tidak ada hanya perkumpulan pendonlot Miyabi saja!

Jadual pertama bagi PJId pagi itu adalah upacara pembukaan. Dan setelah lima belas tahun tanpa upacara, rasanya upacara kali ini berlangsung sangat lama! Panas mentari menambah keluh-kesah saya dan Davro.

Untung disebelah saya berdiri seorang anggota Young Offender lengkap dengan bendera, topeng berduri, dan gelang tangan selengan penuh. Jadilah dia saya interogasi mengenai punk dan gerakannya di Jakarta. Dengan berapi-api dia menjelaskan. Sayang, keterbatasan pemahaman saya menyebabkan sebagian besar penjelasannya tidak saya mengerti sama sekali.

Selanjutnya pertandingan futsal melawan Jak On-Line, komunitas on-line penggemar Persija.
Terlepas dari kualitas tim yang diturunkan oleh mereka, tanpa terduga PJId mampu memetik kemenangan dengan skor 3-0! Jadilah uang saya melayang untuk membayari semua anggota tim futsal PJId es duren buatan Denny, sebagaimana janji saya jika mereka mampu memenangkan pertandingan yang mustahil ini. Damn!

Menjelang tengah hari pengunjung semakin ramai. Mini stage di zona musik menampilkan beberapa band dari komunitas The Beatles dan sekumpulan bocah cilik dari komunitas Koes Ploes.

Namun siang itu yang jadi bintang adalah Van Java. Lima anak muda super metal ini dengan gagah berani, dan sangat sukses, membawakan interpretasi mereka terhadap Enter Sandman, Foxy Lady, dan sebuah nomor milik Yngwie Malmsteen, serta beberapa nomor karya sendiri.

Gelegar Enter Sandman membuat sebagian anak motor yang tengah berteduh merapat ke mini stage. Dan Foxy Lady, lengkap dengan duel kedua gitaris mereka di penghujung lagu, membuat audiens yang memenuhi lapangan di depan mini stage ternganga. Tepuk tangan dan encore membahana dari audiens ketika mereka menyelesaikan setlist di siang hari yang luar biasa panas itu.

Matahari telah tergelincir ke Barat ketika saya kembali ke lokasi pameran. Jam setengah lima dan mini stage penuh dengan audiens. Gerimis dan sedikit angin tidak mengganggu keasyikan mereka bernyanyi. Rupanya Bittertone sudah main. Shit!

Berdasarkan keterangan dari warga PJId yang menyaksikan Bittertone secara utuh, mereka memainkan Supersonic, Amongst The Waves, Jeremy, Daughter, Porch, Alive, Given to Fly, Animal, Yellow Ledbetter, dan sebuah lagu karya sendiri.

Saya hanya kebagian Given to Fly, Alive, dan Yellow Ledbetter. Sungguh saya rugi besar tidak sempat menyaksikan mereka memainkan Amongst The Waves yang merupakan kali pertama lagu itu dibawakan oleh warga PJId. Dua jempol untuk Bittertone, terutama di bagian akhir Alive. Kick ass!

Ngomong-ngomong, seharian itu rasanya baru Bittertone saja yang vokalisnya turun ke tengah audiens dan mengajak mereka bernyanyi bersama. Dan setelah beberapa tahun tercebur di komunitas ini, saya tahu pasti bahwa ajakan untuk bernyanyi bersama itu akan disambut hangat. Jika tidak mau dibilang berapi-api.

Hujan sedikit membesar ketika Bittertone menyelesaikan setlist mereka. Langit sudah gelap. Selepas magrib booth dibereskan dan kami pun pulang ke rumah masing-masing. Menyiapkan energi untuk esok hari...

Hari Ke-2

Minggu siang dan matahari seolah ngotot ingin menunjukkan bahwa dialah yang paling panas. Mengalahkan rombongan gadis enerjik berpakaian mini yang tengah bersaing memperebutkan tahta pemandu sorak di panggung Yamaha. Mengalahkan barisan SPG berkaki jenjang yang hilir mudik memasarkan produk. Mengalahkan cewek-cewek gila bola yang manis dan berkeringat.

Booth PJId dikunjungi banyak orang. Mereka bertanya, bertukar cerita, dan membeli merchandise. Ternyata banyak diantaranya adalah lost dogs, jamily yang demikian lama tidak menemukan rumahnya. Dan di booth sederhana itulah mereka berlabuh. Bagaikan pengelana yang nyaris mati kehausan, dan tiba-tiba terdampar di sebuah oase kecil yang menyejukkan.

Pukul 10:30, tim futsal PJId dihentikan ICI, kelompok fans Inter Milan, dengan skor 2-4 di perempat final. Setelah itu, agenda utama adalah nongkrong di booth menunggu sore. Menunggu tampilnya Perfect Ten di panggung utama.

Dan senja pun datang bersama angin serta butir-butir hujan. Tapi senja tidak membawa Nito bersamanya. Jadilah Irsya kebakaran jenggot mencari lead guitarist pengganti. Saya tidak bisa membayangkan berapa kali nadinya berdetak dalam satu menit saat itu.

Longok kiri, longok kanan, dan itulah dia! Sosok tinggi menjulang. Rambut gondrong berkibar. Dengan topi yang seolah jatuh ke kepala entah dari mana. Dan diapun membawa gitar bersamanya. Cucok tenan! Ladies and gentlemen, Mr. Olitz!

Jadilah formasi Perfect Ten sore itu menjadi Irsya pada drum, Ronny menggantikan Arie yang sedang mengurus pernikahannya pada rythm guitar, Ino pada bass, Olitz pada lead guitar, dan Hasley pada vocal. Tidak terduga, mereka malah memainkan lagu yang biasanya jadi penutup konser Pearl Jam di bagian awal setlistnya. Yellow Ledbetter.

Warga PJId, yang saat itu sudah berbaur dengan para lost dogs, pengunjung pameran lainnya, dan juga fans bola dari berbagai klub besar Eropa, bernyanyi bersama! Sungguh mengejutkan! Siapa bilang Pearl Jam sudah masuk kotak dan dilupakan?

Alive, Given to Fly, Why Go, Animal, dan Porch menghantam panggung utama. Tak dapat dipungkiri bahwa energi Hasley, yang selalu pecicilan sepanjang pertunjukan, membakar rekan-rekannya dan audiens.

Reza, lost dog asal Makasar yang saat ini tinggal di Tebet, yang juga merupakan drummer di sebuah band bernama Ten Club, bahkan sampai nekat naik ke panggung dan berduet dengan Hasley di nomor Animal. Lebih gila lagi, anjing yang tersesat ini memanjat tiang panggung dan lompat dari sana!

Saya memandang sekilas pada perempuan berjilbab yang dengan cemas mengamati dari bawah. Sesekali dia mengambil foto. Saya menduga ini adalah istrinya. Dalam hati saya berkata, harap maklum mbak, memang begitu itu kelakukannya lost dog kalau menemukan rumahnya.

Sesi dengan Olitz sebagai gitaris utama diakhiri di nomor Porch. Hasley, tanpa ragu, menjatuhkan diri ke atas audiens. Selama beberapa saat tubuhnya terombang-ambing diatas kepala audiens. Diusung oleh tangan-tangan yang saling menyokong. Yang sudah melewati demikian banyak pertunjukan dan tantangan. Yang kini menyambut datangnya tangan-tangan baru. Demi terciptanya sebuah tangan maha kuat yang bisa menarik sebuah legenda hidup ke negeri ini.

Angin senja yang semakin dingin dan kencang akhirnya berbaik hati menerbangkan Nito dan menghadirkannya ke panggung. Untuk menghemat waktu, dia meninggalkan gitar kesayangannya tak tersentuh dan meminjam gitar putih milik Olitz, yang sebelumnya memainkan lead dari Alive dengan dahsyat.

Maka mengalunlah Kebyar Strike dalam kegelapan senja yang merayap menjadi malam. Lagu Kebyar-Kebyar karya almarhum Gombloh yang dimainkan dalam aransemen Hunger Strike jebolan Temple of The Dog. Dua lagu yang sarat muatan sejarah menjadi satu.

Irsya menambahkan sedikit pukulan, sementara Nito membubuhkan beberapa bar melodi sebagai penguat lagu itu. Jadilah ia lagu yang mampu menjembatani audiens yang buta Pearl Jam dengan jamily yang luar biasa ngelotok. Sama sekali tidak jelek!

Dan karena sore itu panggung utama sudah sah menjadi lokasi pertunjukan musik rock, dimana performer dan audiens menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, maka tunduklah MC kepada audiens yang meneriakkan encore.

Tak sia-sia Irsya membawa serta sound engineer-nya sore itu. Pukulan drum-nya terdengar penuh tenaga dan solid ketika membuka encore yang sekaligus merupakan penutup penampilan Perfect Ten di ICE 2009. Got Some!

Nito lincah menyayat gitarnya, mengiringi dentuman bass Ino yang sepanjang pertunjukan lebih memilih diam dan terlihat sedikit murung. Ronny sedikit lebih enerjik di sisi kiri panggung. Irsya, seperti biasa, selalu tersenyum lebar saat memainkan lagu-lagu Pearl Jam. Dan Hasley, seolah memiliki dua pasang paru-paru, masih sanggup pecicilan sembari berteriak lantang: “Got some if you need it! Got some! Carry on! Let’s go!”

Yah, pada akhirnya kita memang tidak punya pilihan selain terus berjalan. Sebagai sebuah upaya untuk menarik audiens yang lebih besar, mengumpulkan lost dogs yang tersebar di penjuru negeri ini, kehadiran PJId di ICE 2009 adalah upaya terbaik yang bisa kita lakukan. Sebagai bagian dari upaya mewujudkan mimpi “Bring Pearl Jam to Indonesia”, ini adalah pilihan terbaik yang tersedia. Saat ini.

Again, everybody carry on, carrying on...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun