Pukul 10:30, tim futsal PJId dihentikan ICI, kelompok fans Inter Milan, dengan skor 2-4 di perempat final. Setelah itu, agenda utama adalah nongkrong di booth menunggu sore. Menunggu tampilnya Perfect Ten di panggung utama.
Dan senja pun datang bersama angin serta butir-butir hujan. Tapi senja tidak membawa Nito bersamanya. Jadilah Irsya kebakaran jenggot mencari lead guitarist pengganti. Saya tidak bisa membayangkan berapa kali nadinya berdetak dalam satu menit saat itu.
Longok kiri, longok kanan, dan itulah dia! Sosok tinggi menjulang. Rambut gondrong berkibar. Dengan topi yang seolah jatuh ke kepala entah dari mana. Dan diapun membawa gitar bersamanya. Cucok tenan! Ladies and gentlemen, Mr. Olitz!
Jadilah formasi Perfect Ten sore itu menjadi Irsya pada drum, Ronny menggantikan Arie yang sedang mengurus pernikahannya pada rythm guitar, Ino pada bass, Olitz pada lead guitar, dan Hasley pada vocal. Tidak terduga, mereka malah memainkan lagu yang biasanya jadi penutup konser Pearl Jam di bagian awal setlistnya. Yellow Ledbetter.
Warga PJId, yang saat itu sudah berbaur dengan para lost dogs, pengunjung pameran lainnya, dan juga fans bola dari berbagai klub besar Eropa, bernyanyi bersama! Sungguh mengejutkan! Siapa bilang Pearl Jam sudah masuk kotak dan dilupakan?
Alive, Given to Fly, Why Go, Animal, dan Porch menghantam panggung utama. Tak dapat dipungkiri bahwa energi Hasley, yang selalu pecicilan sepanjang pertunjukan, membakar rekan-rekannya dan audiens.
Reza, lost dog asal Makasar yang saat ini tinggal di Tebet, yang juga merupakan drummer di sebuah band bernama Ten Club, bahkan sampai nekat naik ke panggung dan berduet dengan Hasley di nomor Animal. Lebih gila lagi, anjing yang tersesat ini memanjat tiang panggung dan lompat dari sana!
Saya memandang sekilas pada perempuan berjilbab yang dengan cemas mengamati dari bawah. Sesekali dia mengambil foto. Saya menduga ini adalah istrinya. Dalam hati saya berkata, harap maklum mbak, memang begitu itu kelakukannya lost dog kalau menemukan rumahnya.
Sesi dengan Olitz sebagai gitaris utama diakhiri di nomor Porch. Hasley, tanpa ragu, menjatuhkan diri ke atas audiens. Selama beberapa saat tubuhnya terombang-ambing diatas kepala audiens. Diusung oleh tangan-tangan yang saling menyokong. Yang sudah melewati demikian banyak pertunjukan dan tantangan. Yang kini menyambut datangnya tangan-tangan baru. Demi terciptanya sebuah tangan maha kuat yang bisa menarik sebuah legenda hidup ke negeri ini.
Angin senja yang semakin dingin dan kencang akhirnya berbaik hati menerbangkan Nito dan menghadirkannya ke panggung. Untuk menghemat waktu, dia meninggalkan gitar kesayangannya tak tersentuh dan meminjam gitar putih milik Olitz, yang sebelumnya memainkan lead dari Alive dengan dahsyat.
Maka mengalunlah Kebyar Strike dalam kegelapan senja yang merayap menjadi malam. Lagu Kebyar-Kebyar karya almarhum Gombloh yang dimainkan dalam aransemen Hunger Strike jebolan Temple of The Dog. Dua lagu yang sarat muatan sejarah menjadi satu.