Mohon tunggu...
Eko Prabowo
Eko Prabowo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

http://wustuk.com\r\n\r\nhttps://soundcloud.com/rakjat-ketjil-music

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Musik 2010: JRL 2010 Hari Ketiga - Into Another Dimension!

1 Mei 2011   00:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:12 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu, 10 Oktober 2010, adalah hari terakhir perhelatan Java Rockingland (JRL). Tidak seperti dua hari sebelumnya yang basah, kali ini cuaca di Ancol sungguh panas. Matahari memanggang semua yang ada dibawahnya. Seolah teracuni Chairil Anwar, cahayanya yang terang-benderang berkata lantang: “Aku!”

Dan inilah saya, bersama Dhia, Dani, serta Ikhwan, berlindung dari sengatan mentari di bawah dedaunan yang tidak memadai, di lahan parkir yang masih kosong.

Belum jam empat sore dan disana hanya ada kami. Genangan air sudah pergi, diganti tanah keras yang sebagian retak dan membentuk cetakan ban, berasal dari ribuan ban mobil yang menggilasnya dua malam terakhir.

Amarula dan sinar mentari ternyata berteman baik. Beberapa teguk dan sampailah kami di pintu itu, jauh sebelum kami mencapai gerbang masuk menuju arena JRL.

Kenangan akan Stereophonics dan segala pesonanya masih lekat di jiwa, membuat semangat kami semua tinggi menyambut menu hari ini. Membuat kami berjalan dengan kepala tegak, meski langkah kaki tidak begitu lurus dan senyum kami terlihat bodoh.

Satu ledakan lagi malam ini, dan kami akan pergi meninggalkan JRL layaknya para peziarah religi yang tuntas menunaikan ibadah haji.

Bagi saya, di meja makan JRL hari itu, tidak ada menu yang lebih besar dari Wolfmother. Hari ini adalah hari dimana saya akan menggadaikan jiwa pada gerombolan serigala dari hamparan gurun Australia itu. Auuuuuuu!!!

Matahari baru bergeser sedikit saja dari atas kepala ketika Besok Bubar memainkan lagu pertamanya di panggung Free Your Soul. Diskriminasi!

Dari seratusan orang yang menyaksikan Besok Bubar di sore yang terik itu, sebagian ternyata memang fans mereka. Beberapa bahkan fasih ikut bernyanyi di setiap lagu.

Amar, yang kali itu benar-benar banyak omong, berkali-kali menyapa dan menanyakan lagu apa yang kira-kira mau dibawakan. Pertanyaan basa-basi, karena dari tempat saya berdiri, dengan jelas saya bisa melihat setlist yang ditempel di samping drummer-nya. Bah!

Sejauh yang pernah saya saksikan, ini adalah panggung dengan sound terbaik yang tersedia bagi Besok Bubar. Setidaknya dari segi kekuatan. Dan mereka memanfaatkannya dengan baik. Politrick, Senjata Pemusnah Massal, dan Pahlawan Bertopeng, semua terdengar sangat bertenaga.

Menu pembuka dengan cita rasa grunge sore itu, kick ass!

A blessing in disguise dalam budaya bule, mestakung dalam pemahaman kita.

Mundurnya jadual manggung justru menjadi berkah bagi Alien Sick. Sebagian audiens yang sudah selesai menikmati Besok Bubar ternyata melanjutkan santapan grunge-nya ke panggung De Majors yang letaknya berdekatan, menambah semarak pesta grunge petang mereka di tepi pantai. Sebagian lainnya bergegas ke panggung Tebs untuk menyaksikan apa yang tersisa dari Seringai.

Beberapa lagu lama dimainkan. Dua materi baru, Teri Kampung dan Terminal Khusus, yang akan masuk ke album kedua mereka, yang katanya akan segera keluar, meluncur mulus. Saya tidak ingat betul apakah Muak, yang juga materi baru, sempat dimainkan.

Melihat Alien Sick dengan kekuatan sound maksimal seperti ini, setidaknya di lima lagu terakhir, jauh lebih mengesankan dibanding melihat penampilan terakhir mereka di kantor Rolling Stone Indonesia beberapa minggu yang lalu. Kali ini, kekuatan Hendra sebagai penggebuk drum boleh dibilang mendapat fasilitas yang sepantasnya.

Saya meninggalkan Alien Sick sesaat setelah Jessy mengirim salam pada Billy, dalam bentuk Zero. The Vines di panggung Langit Musik adalah tujuan selanjutnya.

Tiga lagu pertama The Vines ternyata tidak terlalu menggugah selera. Craig Nicholls bermain gitar dan bernyanyi seperti orang setengah mabuk, jika tidak bisa dibilang mabuk beneran. Yah, itu memang sudah gayanya. Gaya yang membuatnya selalu dibandingkan dengan almarhum Kurt Cobain.

Bagaimanapun, di sore yang hangat itu, saya mengharapkan sajian rock yang sedikit lebih dinamis. Udara gerah, bir dingin segar, dan perempuan cantik nan seksi berlalu-lalang. Tidakkah semua itu akan sempurna jika dipadukan dengan hentakan ceria dari sub-genre rock yang sedikit berbau pesta?

Akhirnya saya menerapkan strategi hari kemarin. Bersama Dani, saya ngemper di sekitaran panggung utama sembari menikmati sajian di panggung Langit Musik yang memang nyaris saling berhadapan. Konsekuensi strategi ini: Konspirasi, yang ternyata tetap tampil meski Edwin sang gitaris sedang terserang Tipus, terlewati!

Langit semakin gelap, segelap wajah dan suasana hati Nicholls. Namun kegelapan itu justru mencerahkan permainan musiknya.

Craig Nicholls, sang Mr. Moody Kedua, yang dua malam sebelumnya kedapatan (via twitter) menghabiskan waktu berkualitas bersama si Mr. Moody Pertama, Billy, terasa semakin menyatu dengan musiknya. Tidak lagi terdengar asal-asalan seperti di tiga lagu pertama, musiknya kini terdengar, terlihat, dan terasa eksperimental. Seperti sebuah lorong pelepasan. Seolah Nicholls sedang membangun portal. Sebuah gerbang yang akan membawanya ke dimensi lain.

Ride dan Get Free yang kemudian disusul oleh FTW, maka terbukalah gerbang itu!

Seperti orang gila, Nicholls menghantamkan gitarnya ke lantai panggung! Tak puas dengan hasilnya, dia menghantamkannya lagi ke drum set! Berkali-kali! Berulang-ulang! Sampai semuanya berantakan. Sampai jeritan audiens dan tepuk tangan mereka mereda karena lelah...

Akhir dari sesi pembuka bernuansa grunge sore menjelang malam itu, lagi-lagi, kick ass!

Sementara panggung Langit Musik masih bercahaya dan The Vines sedang memberi salam perpisahan, serombongan gadis belia menyerbu ke tempat saya dan Dani berdiri. Tentu saja bukan menyerbu kami, melainkan berebutan posisi di bibir panggung utama, dimana Wolfmother sebentar lagi akan melolong.

Dibelakang mereka ikut bergegas bocah-bocah lelaki yang seumuran. Saya terkekeh karena menduga mereka adalah pacar sehari para gadis belia itu. Bocah-bocah ingusan yang dijadikan layanan antar-jemput, merangkap pengawal bagi mereka di JRL ini. Atau, lebih sadis lagi, sekalian yang membelikan tiket juga. Hahahaha, life is a bitch!

Musik Wolfmother, yang terdengar sangat Led Zeppelin itu, apakah tidak terlalu tua bagi ratusan, bahkan mungkin ribuan, ABG wangi ini? Jika kita memasukkan film berjudul 500 Days of Summer, sentimen sangat positif pada segala yang berbau Aussie, dan beberapa game PC serta online kedalam pemahaman itu, maka jawabannya adalah: tentu tidak!

Lampu di panggung utama dimatikan. Teknisi yang semula sibuk mendadak hilang. Hening. Semua menahan nafas.

Dalam sebuah konser musik, detik-detik penantian seperti itu terasa sangat mendebarkan, sekaligus menyenangkan. Dalam hati kita memang tahu bahwa sebentar lagi musisi yang kita cintai akan muncul. Tapi kapan pastinya? Seperti apa wujudnya kali ini? Lagu apa yang akan dijadikan pembuka? Dan seribu pertanyaan konyol lainnya, seperti yang menggayut di hati remaja yang kali pertama berkencan.

Dalam detik-detik penantian itu, umur, besarnya otot, sangarnya wajah, dan banyaknya uang di bank, sama sekali tidak relevan.

Maka tidak perlu heran ketika kemudian belasan ribu audiens, termasuk saya yang baru dua kali menginjak masa remaja, menjerit gembira ketika tirai di belakang drum set menyala dengan tulisan besar berbunyi WOLFMOTHER!

Jeritan dan tepuk tangan semakin menggila ketika gerombolan serigala dari Australia itu akhirnya benar-benar muncul. Andrew Stockdale, dengan kaki kecilnya yang lincah dan rambut kribonya yang besar, menyapa kami semua sambil tertawa. Nyengir serigala, tepatnya.

Tak pakai lama, mereka langsung meniupkan badai kekacauan. “Waaaaaaa....!!!! I felt down in the desert baybe, uh-yeah!”

Maka kami pun jejingkrakan sambil bernyanyi bersama. Tentu saja dengan nada yang sepuluh kali lebih rendah dari Andrew, dan luar biasa fals.

Seperti apakah bunyi belasan ribu suara tercekat dan fals? Saya kasih tahu ya! Seperti bunyi degup jantung seorang ibu yang baru saja melahirkan anaknya. Seperti bunyi nadi seorang pria yang baru saja diterima lamarannya. Seperti bunyi gemericik air sungai yang menemui muaranya. Bunyi kebahagiaan...

Verse pertama terlewati dan mendadak musik berhenti. Andrew mengangkat tangannya ke arah kami, mengerlingkan mata cokelatnya dan menebar senyum usil, dan kami pun menyambutnya dengan koor: “...Into another dimension!!!” Loncat lagiii!

Hahaha! Benar-benar suguhan konser rock yang menyenangkan!

Bahkan di lagu pertamanya mereka sudah mampu menjadikan kami, belasan ribu manusia yang jelas berbeda kemampuan dan pemahaman musikalnya, sebagai bagian dari mereka. Bagian dari konser rock ini. Bagian dari Wolfmother itu sendiri, untuk malam ini.

Jika Dimension adalah lolongan tanda berkumpul, maka Woman adalah lolongan tanda pesta sudah mencapai puncaknya! Lagu pemenang Grammy 2007 untuk kategori Best Hard Rock Performance ini sungguh terdengar seksi.

“She’s a woman, you know what I mean... You better listen, listen to me! She’s gonna set you free... Yeaaaahhh!!!”

Yeah, woman. I know some...

Berbeda dari Stereophonics yang bermain rapi jali dengan banyak sekali pergantian gitar, Wolfmother malah bermain bebas penuh improvisasi dengan alat yang minim. Dalam beberapa kesempatan, basis Ian Peres bahkan meletakkan begitu saja basnya di lantai panggung, pada saat dia asik menghajar Korg-nya seperti kesetanan.

Improvisasi ini menjadi bonus tersendiri bagi saya. Juga bagi audiens lain yang umurnya sama, atau malah lebih tua. Apa pasal? Mereka memasukkan Riders on The Storm yang legendaris itu kedalam aransemen White Unicorn!

Ah-ah-ah! Konser rock brutal ini mendadak jadi psikadelik dan hening. Hening karena tak satu pun dari ribuan ABG wangi dan pacar seharinya itu mengenali lagu apa yang sedang mengangkasa. Ahay!

Kebengongan mereka semakin parah pada saat Ian Peres, lagi-lagi, mengeluarkan bunyi aneh dari Korg-nya. Aneh bagi mereka yang muda ceria. Bagi saya, Dhia, Dani, Davro, Reza, Egha, Farry, dan Ikhwan, bunyi itu adalah intro yang sungguh mendebarkan jantung. Intro dari sebuah lagu tua yang sangat sering muncul dalam setlist band impian kami semua, Pearl Jam.

Ya, tuan dan nyonya sekalian, sambutlah... Baba O’Riley!

Kiamaaattt!!!

Seperti gila, kami meloncat dan bernyanyi sekuat tenaga. Tak peduli leher tercekik dan paru-paru keriput kekurangan oksigen, dengan semangat berani mati, melawan ribuan mata sirik yang mencemooh dalam keheranan, kami bereriak lantang, berulang-ulang. “Tenage wastelaaand... Tenage wastelaaannnddd!!!”

Vagabond meluncur dan ABG wangi serta pacar seharinya mengambil alih arena.

Tapi kami semua kembali menyatu di nomor pamungkas yang luar biasa brutal, Joker and The Thief!

Bahkan kali ini, karena merasa inilah lagu penghabisan, remaja-remaja cantik itu tak sungkan untuk ikutan moshing. Tentu saja dalam skala yang sopan. Memaksa saya, dan semua generasi tua lain yang masih normal pikirannya, untuk memberi ruang dan membiarkan mereka bersenang-senang.

Tapi saya sama sekali tidak memberi ruang pada copet keparat yang mencoba peruntungannya dengan robot ijo dalam kantung celana saya. Dia saya cekik dan nyaris mendapat bonus sudut kamera poket digital di pelipis matanya, sebelum dua temannya datang dan menghalangi.

Tiga manusia terkutuk itu segera ngacir setelah saya ancam untuk saya teriaki dan gebuki ramai-ramai. Siapa tahu disekitar situ ada yang doyan copet bakar lada hitam? Hmmm... Late supper, anyone?

Sungguh bukan kejadian yang tepat untuk mengakhiri sajian memukau dari Wolfmother. Damn!

Demi keamanan bersama, segera setelah Wolfmother melolong undur diri dari panggung, saya melaporkan kehadiran tiga copet jahanam itu ke beberapa polisi muda yang bertugas di sepanjang pagar pembatas. Semoga mereka segera tertangkap dan menerima hukuman yang setimpal.

Bagi saya, usailah JRL 2010...

Mutemath yang langsung menyala di panggung Langit Musik hanyalah bonus. Stryper yang akan menghajar di panggung utama satu jam kemudian juga akan saya tonton sambil lalu, sekedar memenuhi rasa ingin tahu.

Sambil bermalas-malasan di depan panggung utama yang kini terlihat lengang, bersama yang lainnya saya menyaksikan Mutemath dari jauh. Hanya Ikhwan yang semangat menyaksikan mereka dari dekat. Pergilah dia kedalam kerumunan yang tengah asyik bergoyang menikmati suguhan techno-rock, yang ternyata dimainkan dengan mumpuni itu.

Seusai acara, Ikhwan bercerita bahwa Julie Estelle ternyata menonton Mutemath. Sayangnya, dia digandeng Elo. Dan, tak disangka, salah satu keluarga Azhari yang sehat itu pun hadir. Ah, rupanya ini alasan dia begitu semangat merangsek ke depan panggung Langit Musik. Mencari yang mulus-mulus! Dasar Kuda!

Sembari menunggu Stryper, saya mencari makanan. Kali ini bakso dan teh manis panas jadi pilihan. Tak ada lagi minuman cantik. Mari makan dan minum seperti orang biasa saja.

Sebentar lagi pagi. Sebentar lagi Senin, yang artinya kembali ke kantor. Pengalaman membuktikan, hangover dan data survey bukan kombinasi yang baik untuk kesehatan otak saya.

Sepuluh menit sebelum Stryper tampil dan semua berubah.

Audiens yang berdiri di bibir panggung utama sungguh berbeda profilnya dibanding yang saya temui ketika menonton Smashing Pumpkins, Stereophonics, atau Wolfmother. Dimana bedanya? Di umur, gan! Dan, eh, mungkin, sedikit di ukuran perut para prianya...

Satu minggu sebelum JRL, saya lebih buruk dari idiot jika bicara soal Stryper. Dan kini, saat keempat rocker yang sudah berumur itu berdiri di panggung dengan anggun, dengan 4.000-an audiens fanatik mengacungkan kedua tangan di hadapan mereka, tetap saja, saya tidak tahu apa-apa soal mereka!

Adalah drum set mereka yang saya perhatikan. Alih-alih menghadap audiens, tumpukan drum yang sepertinya lebih banyak dari jumlah normal itu menghadap ke samping. Orang di sebelah saya menyeletuk, “Itu sengaja, ngadep kiblat, gan!” Hahaha, ya, dan saya adalah Eddie Vedder

Mungkin memang sudah karakter dari konser dalam sebuah festival, tidak banyak menit-menit dibuang untuk basa-basi. Setelah bernyanyi bersama sebentar, seolah memberi pemanasan dan mengetes pengetahuan audiens, Stryper langsung menghantam dengan Murder by Pride.

Sungguh saya tidak tahu bagaimana bunyi lagu tersebut di versi rekamannya. Namun malam itu, lagu tersebut, dan lebih dari 15 lagu lainnya yang juga mereka bawakan, terdengar sangat solid dan nikmat didengar.

Permainan gitar melodi kembar Michael Sweet yang merangkap jadi vokalis utama dengan Oz Fox yang memang berperan sebagai gitaris utama sungguh memukau. Dengan kecepatan seperti itu, bahkan lebih cepat dari gerakan jemari saya mengetik kalimat dalam notes ini, mereka bisa memainkan nada yang sama persis timing-nya, tanpa saling melihat. Gilak!

Tak jarang posisi keduanya terpisah sangat jauh, saat Michael Sweet menghampiri penonton di sisi kanannya, dimana memang ada semacam jembatan kecil yang menurun, menghubungkan panggung yang tinggi dengan bibir panggung yang menempel langsung ke audiens. Disini jugalah ia memberikan syal yang dikenakannya kepada salah satu audiens.

Di mata saya, bahkan mungkin bagi penggemar sejatinya juga, permainan musik mereka sempurna. Lagu-lagu mengalir mulus dan bertenaga. Komunikasi dengan audiens sangat luwes dan enak diikuti. Bahkan saya ikut-ikutan teriak “...Loud!... Clear!” setelah Mike memberi contoh. Hahaha, what a poser!

Yang paling saya nikmati adalah keanggunan Michael Sweet. Suaranya memang tinggi dan keras, permainan gitarnya juga cepat beringas, namun keanggunan gaya berjalan, gaya mengibas rambut, dan gaya memegang mikrofonnyalah yang luar biasa.

Dalam balutan jins model lama dan jaket beludru hitam, dia bergerak kesana-kemari, seperti merak bersuara emas. Menebar pesona melalui lengkingan gitar maupun pita suaranya.

Dan termehek-meheklah semua om-om serta tante-tante yang malam itu hadir disana, ketika Mike menyanyikan Honestly sendirian di panggung. Korek menyala. Tangan melambai. Saya berani bertaruh, pasti banyak air mata terjatuh!

Satu jam setengah berlalu dan mereka undur diri. Yellow and Black attack menutup JRL 2010 dengan manis. Sangat manis.

Maka bersama banyak teman yang semua sumringah meski lelah, dini hari itu saya pergi meninggalkan arena JRL. Meninggalkan tanah becek, yang kini sudah mengering, yang penuh dengan kenangan. Sebagian buruk, sebagian lagi luar biasa indah. Seperti cahaya.

Seperti yang dituliskan oleh Johan Huzinga, profesor kebudayaan asal Belanda, dalam bukunya di tahun 1938, kita semua, saya dan Anda, pada hakikatnya adalah homo ludens. Manusia yang bermain. Dan sejatinya, tiga hari penuh bersama Java Rockingland kemarin adalah taman bermain rock n’ roll yang sungguh luar biasa.

Rock on, baybeh! Sampai berjumpa tahun depan, dengan bintang rock yang lebih terang! Auuuuuu!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun