Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Menimba Pengalaman Masa Lalu untuk Mitigasi Bencana Gempa di Indonesia

15 Januari 2022   12:42 Diperbarui: 26 Februari 2022   07:11 1249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu rumah di Desa Kaduagung Timur, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, ambruk saat gempa M 6,6 mengguncang Banten, Jumat (14/1/2022).(KOMPAS.COM/ACEP NAZMUDIN)

Sejarah bencana, terutama gunung meletus, gempa dan tsunami di nusantara sebenarnya sudah tercatat sejak masa yang sudah sangat lampau. 

Sebenarnya menyangkut isu kebencanaan purba sudah ditulis dengan sangat detail melalui beyond jurnalisme, Ekspedisi Cincin Api Media Kompas. 

Ekspedisi Kompas yang dipimpin oleh Ahmad Arif itu kemudian dituliskan dalam buku Ekspedisi Kompas Hidup Mati di Negeri Cincin Api. 

Buku tersebut mendokumentasikan perjalanan jurnalistik tim ekspedisi ke berbagai daerah untuk menyingkap fenomena Cincin Api dari berbagai aspek.  

Bencana gempa dan mitigasi gempa Banten, dengan demikian harus didudukkan sebagai bagian dari jalur cincin api di nusantara. 

Bencana Banten, mungkin hanya sebagian kecil saja bencana gempa dan tsunami di nusantara. Hal ini karena nusantara yang terdiri dari ribuan pulau ini, memang terbentuk dan dilingkari jalur gempa paling aktif di dunia yaitu, Cincin Api Pasifik.

Di negeri ini terjadi tumbukan tiga lempeng benua yaitu Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. 

Kondisi tersebut mengakibatkan wilayah nusantara selalu berada dalam bencana akibat letusan gunung api, gempa, dan tsunami.

Bencana gempa Banten adalah salah satu dari sekian banyak kebencanaan yang terjadi di seluruh nusantara. 

Di jalur cincin api, yang terkenal dengan Palu Koro, menyebabkan gempa dahsyat dan tsunami di Sulawesi Tengah tahun 2018 lalu. 

Kita juga pasti tidak akan pernah lupa tsunami Aceh tahun 2004 yang menelan korban jiwa hingga ratusan ribu jiwa. 

Bencana tersebut dipandang sebagai salah satu bencana terburuk di dunia selama beberapa abad terakhir.

Tsunami Aceh adalah bencana paling dahsyat yang akan terus dikenang dunia. Dimulai dari gempa dahsyat di Samudera Hindia, dengan kekuatan 9.1 Richter, kemudian memicu gelombang raksasa yang menghantam pesisir barat Pulau Sumatera. Tinggi gelombang dilaporkan mencapai hingga 30 meter di beberapa titik. Banda Aceh, Meulaboh dan kota-kota di pantai barat nyaris dibenamkan gelombang raksasa (Arif, 2006). 

Pada tahun 2006, bencana gempa, memporak porandakan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), bahkan kota-kota satelitnya. Korban nyawa, harta benda dan perumahan penduduk yang hancur, juga berimbas pada trauma penduduk yang juga membuat miris. Itu semua adalah pengalaman berharga dalam rentang waktu yang berentetan.  

Menimba Pengalaman dari Sejarah Masa Silam Kebencanaan

Yang pasti jejak purba kebencanaan nusantara sudah tercatat dalam sejarah dan ingatan umat manusia di bumi nusantara ini. 

Para ilmuwan termasuk bidang arkeologi juga sejak lama menelisik tentang kebencanaan purba yang terjadi di masala silam nusantara. 

Di Maluku, menurut catatan arkeolog Maluku, sahabat saya, Marlon Ririmasse, setidaknya dimulai oleh seorang naturalis Eropa yang bermukim di Ambon pada abad 17. Rumpius mencatat gempa dashyat di abad 17 M, yang meluluhlantakkan Ambon hingga rata dengan tanah (Ririmasse, 2014). 

Selain itu sejarah dan ingatan kolektif masyarakat Maluku juga merekam peristiwa gempa dan tsunami dahsyat di Pulau Seram di pertengahan abad 19. Bahkan kemudian masyarakat mengenal istilah " Bahaya Seram" yang sangat populer disertai berbagai mitos yang melingkupinya. 

Di Pulau Banda, Gunung Api Banda juga aktif bahkan diperkirakan masih aktif hingga kini. Letusan terakhir pernah terjadi pada tahun 1986, yang menyebabkan relokasi penduduk di Kota Banda Naira, Kepulauan Banda secara besar-besaran. 

Bahkan di abad 19, tepatnya peristiwa tsunami di tahun 1852 menyebabkan korban jiwa penduduk Banda Naira yang tidak sedikit. 

Bahkan menurut catatan Peter Lape, arkeolog yang melakukan penelitian arkeologi di Kepulauan Banda, sejak 1998-2000, menuliskan dalam laporannya bahwa kurun waktu sejak abad 17-19, serangkaian bencana gempa dan tsunami melanda penduduk Banda Naira.  

Ilustrasi Gempa Banten. Sumber : Kompas
Ilustrasi Gempa Banten. Sumber : Kompas

Serangkaian bencana gempa dan tsunami itu menyebabkan perubahan pola pemukiman penduduk besar-besaran. 

Perpindahan penduduk, hilang dan timbulnya kampung-kampung baru terjadi pada kurun waktu selama kurun waktu dua abad itu. 

Jauh sebelumnya, kalau kita sempat membaca catatan sejarah, timbul tenggelamnya peradaban di dunia dan dan khususunya nusantara, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh bencana. 

Letusan Gunung Merapi yang membuat Kerajaan Mataram Kuna berpindah ke Jawa Timur adalah salah satu yang terkenal. 

Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, hilangnya peradaban Kerajaan Tambora, diakibatkan oleh letusan Gunung Tambora yang tak kalah dahsyat. 

Jika kita daftar semua fenomena kebencanaan di nusantara sejak masa purba hingga yang baru-baru ini terjadi, rasa-rasanya takkan cukup lembaran manapun untuk mengulasnya secara detail. 

Pengetahuan kebencanaan purba hingga yang baru-baru ini terjadi, yakni gempa Banten adalah fenomena kebencanaan yang terjadi karena faktor kondisi alam yang tak bisa dicegah. 

Pencegahan atau mitigasi, sepanjang yang kita ketahui adalah mitigasi untuk menghindari lebih banyak jatuhnya korban, baik nyawa maupun harta benda. Juga mitigasi melalui cara adaptasi terhadap kondisi alam yang rentan menyebabkan bencana itu sendiri. 

Dalam kacamata arkeologi, sebagaimana ditulis oleh Ririmasse (2014), fenomena bencana masa lalu melalui studi arkeologi dapat memberi kontribusi bagi pengetahuan mitigasi bencana di masa kini.

Baca juga : Banjir Sudah Sejak Dulu, Mitigasi Mestinya Belajar dari Masa lalu.   

Melalui studi arkeologi kita dapat menemukan elemen-elemen prinsip yang menyebabkan bencana; merekonstruksi kejadian bencana secara fisik; menemukenali kerusakan fisikal yang terjadi; dan memahami strategi tanggap darurat masyarakat dalam konteks budayanya pada masa silam. 

Yang terpenting adalah, kenyataan bahwa pengetahuan arkeologi dibentuk dalam cakupan waktu yang panjang dan luas, kondisi ini dapat menjadi faktor yang membantu pemahaman atas dampak bencana dalam jangka panjang. Situasi yang dipandang belum diakomodasi dalam kajian modern tentang bencana. 

Kongkretnya begini, pengalaman masa lalu kita sudah mengajarkan dan memberikan pengalaman bencana dari perisitiwa ke peristiwa, dari waktu ke waktu dari masa silam hingga masa kini. 

Arif Bijaksana Menyikapi Kondisi Alam

Kita harus arif dan bijak memperlakukan lingkungan, memanfaatkan alam dan peka terhadap cara adaptasi. Bencana karena faktor alam yang tak dapat dihindari, namun kita bisa mencegah timbulnya banyak korban. Dengan bagaimana, tentu dengan adaptasi terhadap kondisi alam. 

Lebih konkret lagi, gambarannya begini, di daerah jalur cincin api nusantara yang hampir melingkupi seluruh perairan di nusantara, kita harus waspada dan tanggap darurat terhadap fenomena kebencanaan. 

Itu kenapa, reklamasi pantai banyak menimbulkan gelombang protes, karena seperti melawan kondisi alam. Reklamasi pantai kemudian membangun kota-kota baru, pusat-pusat perniagaan, pusat bisnis dan perumahan penduduk, di daerah rawan gempa dan tsunami seperti hendak menyodorkan nyawa. Ini contoh yang paling konkret saja. 

Di sisi lain ada contoh fenomena yang berbeda misalnya, relokasi penduduk atau perkampungan di tempat yang kini dibangun Bandara Yogyakarta Internasional Airport (YIA). 

Awalnya mendapat pertentangan dari masyarakat, karena dianggap mengancam hajat hidup penduduk di lokasi itu. Namun di sisi lain sebenarnya bisa dilihat dalam kacamata mitigasi, yakni melindungi jatuhnya lebih banyak korban jiwa penduduk. 

Meskipun di sisi lain dalam berbagai pandangan publik, Bandara YIA tidak aman dari ancaman gempa dan gelombang tsunami di pantai selatan Jawa. 

Adaptasi dan kearifan melihat alam, dalam konteks kekinian misalnya juga tidak membangun kota dengan konsep water front city bagi kota-kota di wilayah rawan gempa dan tsunami, yang beberapa waktu lalu konsep pembangunan kota water front city sempat digandrungi oleh pembuat kebijakan. 

Selain itu mitigasi dengan cara adaptasi terhadap kondisi alam, yang sudah jamak diperbincangkan adalah membuat rumah yang ramah gempa, sebagaimana teknologi rumah-rumah tahan gempa yang sudah diterapkan oleh negara-negara maju. 

Ohya, jangan lupa juga argumen pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Panajam Paser Utara di Kalimantan Timur juga didasari pula oleh fenomena kebencanaan gempa dan tsunami yang mengancam Jakarta dan sekitarnya. Fenomena itu meskipun debatable, perlu pula dilihat dalam kacamata mitigasi bencana. 

Bicara tentang fenomena kebencanaan dan mitigasinya memang persoalan yang kompleks. Hal ini karena gempa yang diakibatkan faktor alam tidak bisa dicegah. Kehendak alam yang sulit dijangkau oleh pemikiran manusia, secanggih apapun teknologi yang dibuat untuk itu. 

Tindakan mitigasi dipahami sebagai tindakan pencegahan atau menghindari jatuhnya lebih banyak korban. 

Kemampuan manusia melalui pikiran dan kecanggihan teknologinya hanya mampu membaca potensi terjadinya kebencanaan, kalaupun mampu pula membuat prediksi, tetap saja tidak bisa terukur dan tak bisa memastikan kapan datangnya bencana itu. 

Fenomena kebencanaan adalah rahasia alam. Oleh karenanya kearifan kita membaca tanda-tanda alam, belajar dari masa lalu dan kearifan masa lalu untuk lebih mampu tanggap darurat dan adaptif untuk menyikapi gejala dan tanda-tanda alam itu. 

Demikian. Salam hangat 

***

Mas Han. Manado, 15 Januari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun