Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Seorang Wanita di Kereta Malam

21 Desember 2021   22:30 Diperbarui: 22 Desember 2021   09:50 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukul tujuh malam, kereta api membawaku pada perjalanan yang temaram. Perjalanan mencari rindu meski juga sudah meninggalkan rindu. Beberapa waktu yang sudah berlalu.

Kereta melaju. Udara dingin menyapu jendela kereta. Meninggalkan berkas embun yang semakin menebal. Dan menutupi pandangan. 

Ku seka dengan telapak tangan. Wajah kota di luar jendela terlihat dingin. Sedingin malam dan wajah orang-orang di dalam kereta. 

Sekumpulan orang dalam gerbong yang sama, namun tanpa percakapan. Bagiku itu sangat mengherankan. Mereka sepertinya asyik dengan pikiran dan lamunannya sendiri-sendiri. 

Wajah-wajah terasing di dunianya sendiri. Begitu juga aku, sendiri dan asyik dalam lamunan malam. Temaram dan terus melaju ke masa lalu. 

Ingin rasanya menyapa meski seorang saja. Namun kuurungkan niat itu. Jam segini mereka tampak sudah mulai terlelap. 

Entah tidur atau hanya memejamkan mata, melepas penat keseharian yang suntuk. Wajah-wajah lelah dengan harapan yang sepertinya masih jauh dari kenyataan. 

Hanya seorang wanita di kursi seberang, yang tampaknya masih terjaga. Ia seperti terbawa dalam lamunan. Meski sesekali matanya membaca halaman demi halaman buku di tangannya. Wajahnya juga dingin. 

Membuatku terasa berhadapan dengan sesosok es batu, berukuran sebesar manusia. Membuat badanku terasa menggigil ditambah hawa dingin AC kereta gerbong eksekutif yang memang menusuk tulang. 

Ingin rasanya aku membuat perapian, walaupun tak mungkin, karena tak masuk akal. Dingin. Ya sangat dingin. Ingin rasanya membuat suasana hangat dengan percakapan. 

Tapi wajah wanita itu menyiratkan kegundahan dan tak ingin diajak bicara. Wajahnya sedingin salju. Beku. Biru. Ungu dan kelu. Seperti warna gincu bibirnya malam itu.

Suasana gerbong kereta yang dingin membeku. Aku bayangkan diriku sedang di kutub utara. Dan takada manusia barang seorang saja. Kecuali diriku yang tinggal menunggu waktu. Membeku digulung selimut salju.  

Tidak. Aku tak suka dingin dan beku. Aku beranikan diri menyapa wanita itu. Ia menoleh, tatapannya dingin. Sangat. Aku sempat bergidik. Wajah dingin yang seperti tak ingin bicara sama sekali. Apa masalah wanita itu sebenarnya. 

"Hai mbak, sendirian saja?"

Paras manisnya, tersapu salju. Meninggalkan berkas wajah pucat pasi. Ia hanya menoleh ketika kusapa. Diam. Tak membalas sedikitpun. 

"Mbak, tujuan kemana?" Tanyaku lagi mencoba menghangatkan suasana. Wanita itu tampak mulai merespon. Dengan sedikit senyuman yang seperti terpaksa. Aih, senyum terpaksa itu cukup menebarkan hawa hangat dalam kereta malam itu. 

"Pulang kampung mas" jawabnya singkat dan selanjutnya matanya kembali ke buku yang dipegangnya. 

Ah. Lubang dari Separuh Langit. Novel Afrizal Malna, rupanya yang sedari tadi membuatnya dingin. Atau memang, dia serupa lelaki dan wanita bernama Candi dalam novel itu, yang membuatnya dingin. Atau kehidupan Candi dalam novel itu yang serupa dengan wanita ini, yang membuatnya dingin. Entahlah. 

Saya sempat tertegun, dan berpikir. Jangan-jangan saya menegur orang yang salah. Seorang laki-laki yang berubah menjadi wanita, seperti tokoh dalam novel itu. 

Ah, tidak. Tidak mungkin ! Satu-satunya yang mungkin, adalah kehidupan wanita di kereta malam yang ku jumpai ini serupa dengan kisah dalam novel itu. Ah, itupun rasanya tak mungkin. 

Tak masuk akal, bahkan. Penampilannya sama sekali tak menggambarkan seorang urban poor, sebagaimana tokoh Candi di novel Afrizal Malna itu. Juga gerbong kereta eksekutif ini, sepertinya juga tak mewakili tokoh dalam novel itu. 

Suasana kembali dingin dan semakin beku. Aku pesan dua gelas kopi pada pramugari kereta. Segelas kopi panas untukku dan wanita di kursi seberang itu.

Setelah itu, kali ini suasana benar-benar lebih hangat. Bukan hanya dari dua gelas kopi panas itu. Tapi juga obrolan dengan wanita itu. 

Dia tak sedingin perkiraanku rupanya. Atau karena sebagai tanda terima kasih, karena kubelikan kopi. Hmmm..kadang kala, rasa terima kasih harus ditunjukkan kepada si pemberi. 

Dan si pemberi, pasti ada pamrih, sekecil apapun pamrihnya. Seperti pamrihku kepada wanita dingin di kereta malam itu. 

Pamrihku, berharap dia mau diajak ngobrol. Itu saja. Dan rupanya benar, segelas kopi membuat suasana hangat. Dan percakapan mengalir, sangat. 

Dari pakaian yang dikenakan wanita itu, kalau bukan pegawai kantoran mungkin karyawan bank. Pakaiannya tampak rapi dan necis. Menyiratkan dia wanita sosialita metropolitan Jakarta.  

Apalagi dengan kereta eksekutif, pilihan yang sangat wajar untuk dia. Aih, berarti aku juga pria necis seperti wanita itu kalau ukurannya karena naik kereta eksekutif. 

"Liburan Mbak atau karena dinas luar kota?" Tanyaku kemudian dengan lebih rileks. Dengan segelas kopi panas, sepertinya modal keberanianku untuk lebih leluasa mengajak ngobrol wanita itu. 

"Liburan? Dinas? Mas ini yang nggak-nggak aja. Pan sudah kubilang pulang kampung" jawab wanita itu ketus. 

Mendadak cairan es meleleh dari sudut-sudut jendela, kursi, atap kereta dan tentu saja AC di kereta itu. Suasana dingin kembali dan lebih beku. Hampir-hampir aku terasa seperti akan mati kedinginan. 

" Oh maaf, lupa Mbak, aku gak dengar baik-baik. Maaf ya mbak" jawabku sesegera mungkin, walaupun terbata-bata. 

"Aku gak liburan, apalagi dinas mas. Mana ada wanita seperti aku bisa liburan. Atau dinas luar kota. Tidak masuk akal" jawabnya masih dengan dingin, tapi menuju ke hangat lagi. 

"Aku pulang kampung mas, dan sepertinya untuk selamanya. Dan tidak kepikiran lagi untuk kembali ke Jakarta" jawab wanita itu seperti ingin segera menyudahi percakapan. 

"Pulang kampung? Tapi pakaian Mbak seperti orang kantoran yang mungkin lagi liburan atau mau dinas luar kota" jawabku heran sambil menyimpan ribuan tanda tanya di kepala. 

"Begini ya mas, setiap orang berhak menampilkan dirinya tidak seperti kenyataannya" katanya dengan nada yang terasa dan terdengar sumbang. 

Wanita di kereta malam itu seketika memecah kebekuan malam di kereta itu. Dia hangatkan suasana malam di kereta dengan deras kisah dirinya dan deras hujan yang hangat rintiknya dari kedua matanya. 

Ia membaca Lubang dari Separuh Langit, karena ada sebagian kisahnya yang hadir pada dirinya. Meskipun dia tentu saja bukan Candi yang memperjuangkan kaum miskin kota. 

Wanita di kereta malam itu, tidak mewakili kaum proletar yang hidup di kampung di bantaran sungai di pinggiran Jakarta. 

Kehidupan yang mewakili zamannya, waktu itu. Dulu, zaman kehidupan Candi di novel itu.  

Ia hanya seorang wanita yang menceritakan tentang dirinya sendiri dan tak mewakili siapapun. Ia tinggal di kontrakan kecil dan murah di Jakarta, selama bekerja untuk dirinya dan keempat anaknya. Sebagai buruh pabrik. 

Ia tidak bicara tentang gerakan kaum miskin kota. Zaman sekarang sudah tidak ada! Pada zaman, dimana kemenangan ditentukan oleh kemampuan bersaing di era serba digital. 

Zaman, ketika di kota sudah tidak terlihat lagi orang miskin dan gelandangan ada di jalanan atau emperan. 

Wanita di kereta itu, hanyalah sebagian kecil orang. Yang mengisahkan derita dirinya menghidupi keempat anaknya di kampung. 

Dia sedang memperjuangkan anak-anaknya. Bukan kaum miskin kota sebagaimana tokoh Candi di novel Afrizal Malna itu. 

Wanita itu juga, bukan Candi yang apa adanya. Tapi dia adalah wanita yang tak ingin tetangganya tahu kalau dia hanya bekerja sebagai buruh pabrik yang diberhentikan saat pandemi Covid lalu. 

Kemudian menyambung hidup menjadi penjaga toko, demi keempat anaknya. Dan akhirnya dirumahkan juga, karena toko tempatnya bekerja gulung tikar, setelah dua tahun dihantam pandemi Covid. 

Wanita yang tak pernah tercatat namanya di kelurahan sebagai penerima dana BLT. Seorang wanita yang tinggal di sebuah rumah milik orang tuanya, tempat menitipkan keempat anaknya yang tak pernah tersentuh dan tak memenuhi syarat program bedah rumah. 

Dia juga tak mau dilihat sebagai wanita yang pernah menjadi istri simpanan seorang gembong narkoba yang sangat baik hati. Yang mau mengirimkannya jatah bulanan meski baru bertemu sekali. 

Lalu dia terpaksa, menelan pil pahit, aliran dana setiap bulan tak pernah lagi diterimanya. Karena seminggu lalu, suami simpanannya itu ditangkap pihak berwajib. 

Penampilannya dan juga kereta malam eksekutif ini adalah bagian dari kamuflase dirinya. Walaupun dia akhirnya menyerah. 

Setelah berpuluh tahun hidup di Jakarta dengan segala bentuk kamuflase yang terpaksa dia lakukan. Akhirnya harus ia akhiri. 

Wanita yang tak pernah merasa kalah. Meski kini, satu-satunya perjuangan yang mampu dia lakukan adalah pulang kampung. 

Ia yang selama ini menjadi buruh pabrik, tetangga di kampung hanya tahu bahwa ia kerja sebagai karyawan bank. Paras manisnya mendukung kamuflase itu. 

Satu-satunya yang tak bisa disembunyikan adalah, ia menikahi seorang laki-laki yang tak bertanggung jawab. Yang sudah tiga tahun ini, meninggalkannya seorang diri dengan  keempat anaknya yang harus dihidupi. 

Tapi semua orang di kampungnya tahu, sebagai wanita terhormat yang bekerja di sebuah bank, ia mampu menghidupi anak-anaknya. 

Tanpa perlu tahu belakangan ia menjadi istri simpanan seorang gembong narkoba yang baik hati dan sekarang sudah menjadi lelaki yang kalah. 

Wanita di kereta malam itu menyudahi kisahnya. Tanpa terasa, saking asyiknya ngobrol alias mendengar kisahnya. Ternyata saya sudah pindah tempat duduk di sebelahnya. 

***

Salam hangat 

Mas Han. Di sebuah kereta malam, pada perjalanan 19 Desember 2021. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun