Wanita di kereta itu, hanyalah sebagian kecil orang. Yang mengisahkan derita dirinya menghidupi keempat anaknya di kampung.Â
Dia sedang memperjuangkan anak-anaknya. Bukan kaum miskin kota sebagaimana tokoh Candi di novel Afrizal Malna itu.Â
Wanita itu juga, bukan Candi yang apa adanya. Tapi dia adalah wanita yang tak ingin tetangganya tahu kalau dia hanya bekerja sebagai buruh pabrik yang diberhentikan saat pandemi Covid lalu.Â
Kemudian menyambung hidup menjadi penjaga toko, demi keempat anaknya. Dan akhirnya dirumahkan juga, karena toko tempatnya bekerja gulung tikar, setelah dua tahun dihantam pandemi Covid.Â
Wanita yang tak pernah tercatat namanya di kelurahan sebagai penerima dana BLT. Seorang wanita yang tinggal di sebuah rumah milik orang tuanya, tempat menitipkan keempat anaknya yang tak pernah tersentuh dan tak memenuhi syarat program bedah rumah.Â
Dia juga tak mau dilihat sebagai wanita yang pernah menjadi istri simpanan seorang gembong narkoba yang sangat baik hati. Yang mau mengirimkannya jatah bulanan meski baru bertemu sekali.Â
Lalu dia terpaksa, menelan pil pahit, aliran dana setiap bulan tak pernah lagi diterimanya. Karena seminggu lalu, suami simpanannya itu ditangkap pihak berwajib.Â
Penampilannya dan juga kereta malam eksekutif ini adalah bagian dari kamuflase dirinya. Walaupun dia akhirnya menyerah.Â
Setelah berpuluh tahun hidup di Jakarta dengan segala bentuk kamuflase yang terpaksa dia lakukan. Akhirnya harus ia akhiri.Â
Wanita yang tak pernah merasa kalah. Meski kini, satu-satunya perjuangan yang mampu dia lakukan adalah pulang kampung.Â
Ia yang selama ini menjadi buruh pabrik, tetangga di kampung hanya tahu bahwa ia kerja sebagai karyawan bank. Paras manisnya mendukung kamuflase itu.Â