"Aku gak liburan, apalagi dinas mas. Mana ada wanita seperti aku bisa liburan. Atau dinas luar kota. Tidak masuk akal" jawabnya masih dengan dingin, tapi menuju ke hangat lagi.Â
"Aku pulang kampung mas, dan sepertinya untuk selamanya. Dan tidak kepikiran lagi untuk kembali ke Jakarta" jawab wanita itu seperti ingin segera menyudahi percakapan.Â
"Pulang kampung? Tapi pakaian Mbak seperti orang kantoran yang mungkin lagi liburan atau mau dinas luar kota" jawabku heran sambil menyimpan ribuan tanda tanya di kepala.Â
"Begini ya mas, setiap orang berhak menampilkan dirinya tidak seperti kenyataannya" katanya dengan nada yang terasa dan terdengar sumbang.Â
Wanita di kereta malam itu seketika memecah kebekuan malam di kereta itu. Dia hangatkan suasana malam di kereta dengan deras kisah dirinya dan deras hujan yang hangat rintiknya dari kedua matanya.Â
Ia membaca Lubang dari Separuh Langit, karena ada sebagian kisahnya yang hadir pada dirinya. Meskipun dia tentu saja bukan Candi yang memperjuangkan kaum miskin kota.Â
Wanita di kereta malam itu, tidak mewakili kaum proletar yang hidup di kampung di bantaran sungai di pinggiran Jakarta.Â
Kehidupan yang mewakili zamannya, waktu itu. Dulu, zaman kehidupan Candi di novel itu. Â
Ia hanya seorang wanita yang menceritakan tentang dirinya sendiri dan tak mewakili siapapun. Ia tinggal di kontrakan kecil dan murah di Jakarta, selama bekerja untuk dirinya dan keempat anaknya. Sebagai buruh pabrik.Â
Ia tidak bicara tentang gerakan kaum miskin kota. Zaman sekarang sudah tidak ada! Pada zaman, dimana kemenangan ditentukan oleh kemampuan bersaing di era serba digital.Â
Zaman, ketika di kota sudah tidak terlihat lagi orang miskin dan gelandangan ada di jalanan atau emperan.Â