Tapi wajah wanita itu menyiratkan kegundahan dan tak ingin diajak bicara. Wajahnya sedingin salju. Beku. Biru. Ungu dan kelu. Seperti warna gincu bibirnya malam itu.
Suasana gerbong kereta yang dingin membeku. Aku bayangkan diriku sedang di kutub utara. Dan takada manusia barang seorang saja. Kecuali diriku yang tinggal menunggu waktu. Membeku digulung selimut salju. Â
Tidak. Aku tak suka dingin dan beku. Aku beranikan diri menyapa wanita itu. Ia menoleh, tatapannya dingin. Sangat. Aku sempat bergidik. Wajah dingin yang seperti tak ingin bicara sama sekali. Apa masalah wanita itu sebenarnya.Â
"Hai mbak, sendirian saja?"
Paras manisnya, tersapu salju. Meninggalkan berkas wajah pucat pasi. Ia hanya menoleh ketika kusapa. Diam. Tak membalas sedikitpun.Â
"Mbak, tujuan kemana?" Tanyaku lagi mencoba menghangatkan suasana. Wanita itu tampak mulai merespon. Dengan sedikit senyuman yang seperti terpaksa. Aih, senyum terpaksa itu cukup menebarkan hawa hangat dalam kereta malam itu.Â
"Pulang kampung mas" jawabnya singkat dan selanjutnya matanya kembali ke buku yang dipegangnya.Â
Ah. Lubang dari Separuh Langit. Novel Afrizal Malna, rupanya yang sedari tadi membuatnya dingin. Atau memang, dia serupa lelaki dan wanita bernama Candi dalam novel itu, yang membuatnya dingin. Atau kehidupan Candi dalam novel itu yang serupa dengan wanita ini, yang membuatnya dingin. Entahlah.Â
Saya sempat tertegun, dan berpikir. Jangan-jangan saya menegur orang yang salah. Seorang laki-laki yang berubah menjadi wanita, seperti tokoh dalam novel itu.Â
Ah, tidak. Tidak mungkin ! Satu-satunya yang mungkin, adalah kehidupan wanita di kereta malam yang ku jumpai ini serupa dengan kisah dalam novel itu. Ah, itupun rasanya tak mungkin.Â
Tak masuk akal, bahkan. Penampilannya sama sekali tak menggambarkan seorang urban poor, sebagaimana tokoh Candi di novel Afrizal Malna itu. Juga gerbong kereta eksekutif ini, sepertinya juga tak mewakili tokoh dalam novel itu.Â