Meski demikian, korupsi tidak bisa dikatakan sebagai budaya, lalu diwariskan hingga kini. Praktik-praktik korupsi yang sudah ada sejak awal sejarah itu, tetap harus ditempatkan sebagai perilaku menyimpang.Â
Lalu, tidak bisa secara gegabah dimasukkan budaya. Penjelasan praktik korupsi sebagai budaya, selain salah kaprah dan rancu, juga tidak bisa didefinisikan secara operasional.Â
Korupsi di satu sisi dan budaya di sisi lain, keduanya bertolak belakang secara makna tekstualnya. Juga konteks dan prakteknya.
Bahasa yang lebih sederhana budaya dan praktek korupsi tidak bisa disandingkan dalam satu frasa kata. Selain rancu, bertolak belakang juga mengaburkan makna harfiahnya.Â
Bagaimana mungkin budaya sebagai perilaku yang didasari keluruhan Budi disandingkan dengan korupsi, sebuah perilaku yang menyimpang dan manipulatif.Â
Soal ini apa yang dikatakan Mahfud MD, kiranya bisa jadi rujukan. Juga beberapa tahun lalu, seorang budayawan Sulawesi Selatan, Ishak Ngeljaratan (almarhum) pernah mengatakan bahwa Korupsi itu budayan budaya, tapi penyimpangan.Â
Demikian juga Mahfud MD mengatakan hal yang sama. Â
"Korupsi tidak bisa disebut budaya, melainkan harus dipandang sebagai kejahatan yang jika berkembang di dalam masyarakat harus diluruskan melalui politik kebudayaan dan politik hukum," tegas Mahfud dalam keterangan tertulis, Jumat (3/7/2020, Kompas).Â
Lebih gamblang lagi kalau kita ingat pernyataan J.E Sahetapy, seorang begawan hukum Indonesia. Dia katakan dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika penulis pernah mengikuti seminar beliau di Makassar tahun 2005.Â
Sahetapy katakan, bahwa korupsi itu seperti lingkaran setan. Untuk membasminya ya harus mencari setannya di pusat lingkaran.Â
Sepertinya beliau ingin mengatakan, bahwa korupsi itu sebuah bentuk penyimpangan dalam sebuah sistem kelembagaan atau organisasi.Â